Managing Partner DDTC Darussalam dan Dosen Ilmu Administrasi Fiskal sekaligus Peneliti Tax Centre FIA Universitas Indonesia Titi Muswati Putranti dalam webinar bertajuk Wacana Pajak Karbon di Indonesia, Kamis (12/8/2021). (tangkapan layar Zoom)
JAKARTA, DDTCNews – Ada beberapa aspek yang perlu menjadi perhatian dalam penyusunan rencana pengenaan pajak karbon.
Saat memberikan opening speech dalam webinar bertajuk Wacana Pajak Karbon di Indonesia, Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan salah satu aspek penting dalam rencana kebijakan tersebut adalah justifikasi diperlukannya pengenaan pajak karbon.
“Jika diperlukan, apa dasar pengenaannya? Siapa subjeknya dan apa yang menjadi objeknya? Lalu, bagaimana dengan pajak karbon ini dapat memastikan upaya penurunan emisi? Bagaimana pula dampaknya terhadap distribusi pendapatan dan ke pelaku usaha?” ujar Darussalam, Kamis (12/8/2021).
Beberapa aspek tersebut perlu mendapat perhatian mengingat emisi karbon telah menjadi salah satu isu lingkungan yang terus dibahas pada tingkat global. Pemerintah Indonesia juga telah mengusulkan pengenaan pajak karbon dalam revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Darussalam mengatakan pajak karbon memang relevan dengan kondisi Indonesia. Berdasarkan pada data BP Statistical Review of World Energy, Indonesia menjadi salah satu dari 20 negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia.
China menduduki posisi tertinggi dengan angka 29%, disusul Amerika Serikat 15%, India 7%, Rusia 4%, Jepang 3%, dan Indonesia 2%. Indonesia bahkan masuk 5 negara penghasil emisi karbon terbesar di Kawasan Asia Pasifik.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam publikasinya berjudul Taxing Energy Use for Sustainables Development menilai negara berkembang dapat meningkatkan penerimaan pajak melalui pemajakan bahan bakar fosil dan pemangkasan subsidi energi.
Pengenaan pajak karbon tersebut, sambung Darussalam, juga dinilai mampu memangkas keluaran emisi karbon dan polusi. OECD mengestimasi penerimaan pajak karbon bisa mencapai sekitar 1% dari produk domestik bruto (PDB) dari negara yang menerapkannya.
Hal tersebut menarik mengingat ada kebutuhan peningkatan penerimaan pajak di Indonesia. Apalagi, ada upaya untuk meningkatkan tax ratio yang saat ini masih rendah ke level ideal 15% sesuai dengan rekomendasi OECD.
“Jadi ini untuk menjamin pendanaan pembangunan dan menutup gap pembiayaan perubahan iklim. Ini akan menjadi menarik untuk didiskusikan,” imbuh Darussalam. Simak pula Fokus ‘Bersiap untuk Pajak Karbon’.
Dalam webinar kali ini, Dosen Ilmu Administrasi Fiskal sekaligus Peneliti Tax Centre FIA Universitas Indonesia Titi Muswati Putranti hadir sebagai narasumber. Webinar yang digelar DDTC Academy ini merupakan salah satu seri dari Webinar Series: University Roadshow. Acara ini juga menjadi bagian dari rangkaian acara untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Rencana untuk mengenakan pajak atas karbon dapat dijadikan sebagai potensi dalam penerimaan pajak saat ini. Tetapi, pengenaan pajak atas karbon ini juga dapat bertujuan untuk mengendalikan atau mengatasi penggunaan emisi karbon yang berdampak negatif terhadap lingkungan.