KEBIJAKAN PAJAK

Banyak Pengecualian PPN di Indonesia, Ini Penjelasan Dirjen Pajak

Muhamad Wildan | Selasa, 11 Mei 2021 | 09:25 WIB
Banyak Pengecualian PPN di Indonesia, Ini Penjelasan Dirjen Pajak

Dirjen Pajak Suryo Utomo. 

JAKARTA, DDTCNews – Pengecualian serta fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) yang berlaku di Indonesia relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan di negara-negara tetangga.

Dalam ketentuan yang berlaku saat ini, ada 4 kelompok barang yang tidak dikenakan PPN. Selain itu, ada 17 kelompok jasa yang tidak dikenakan PPN. Otoritas mengaku akan meninjau ulang ketentuan yang berlaku sebagai salah satu pertimbangan dalam perubahan kebijakan PPN.

"Ini kondisi yang saat ini kita alami. Jadi, sampai saat ini, kami sedang mendiskusikan cara mencari sumber baru untuk penerimaan," ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo, Senin (10/5/2021).

Baca Juga:
Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

Adapun 4 kelompok barang tidak dikenakan PPN adalah pertama, barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, kecuali batu bara. Kedua, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak (beras, gabah, jagung, daging, ikan, dan lainnya).

Ketiga, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan usaha jasa boga atau katering. Keempat, uang, emas batangan, dan surat berharga.

Sementara 17 kelompok jasa tidak dikenakan PPN meliputi:

Baca Juga:
Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru
  1. jasa pelayanan kesehatan medis;
  2. jasa pelayanan sosial;
  3. jasa pengiriman surat dengan perangko;
  4. jasa keuangan;
  5. jasa asuransi;
  6. jasa keagamaan;
  7. jasa pendidikan;
  8. jasa kesenian dan hiburan;
  9. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
  10. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
  11. jasa tenaga kerja;
  12. jasa perhotelan;
  13. jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
  14. jasa penyediaan tempat parkir;
  15. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
  16. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
  17. jasa boga atau katering.

Adapun pengecualian yang berlaku di negara lain tercatat sangat sedikit. Sebagai contoh, barang yang dikategorikan sebagai bukan barang kena pajak (non-BKP) di Singapura tercatat hanya mencakup properti, logam berharga, dan barang untuk keperluan investasi.

Sementara itu, jasa yang tergolong bukan jasa kena pajak (non-JKP) hanya terbatas pada jasa keuangan dan sewa properti untuk tempat tinggal.

China sama sekali tidak menetapkan barang dan jasa yang bukan BKP/JKP. Dengan demikian, semua penyerahan barang dan jasa adalah penyerahan BKP/JKP.

Baca Juga:
Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Selain non-BKP serta non-JKP, sambung Suryo, terdapat pula penyerahan BKP/JKP yang diberikan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan. Seluruh pengecualian dan fasilitas PPN ini berpengaruh terhadap penerimaan PPN yang mampu dipungut pemerintah.

"Sumber penerimaan itu PPh dan PPN. PPN ini yang bagus seperti apa sih? Oleh karena itu, kami terus-menerus melakukan assessment. Kami evaluasi," ujar Suryo. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

13 Mei 2021 | 19:23 WIB

Coba cek capital outflow premi asuransi jumlahnya luar biasa yg seharusnya bisa dikenakan PPN dan PPH 26. Jgn terlalu percaya dengan COD yg sangat mudah didapat. Tugas DJP untuk membenahi double tax treaty

13 Mei 2021 | 18:46 WIB

Gross premi asuransi nasional sekitar 500 trilun pertahun dan sebagian besar direasuransikan ke perusahaan reasuransi di luar negeri. Seharusnya ada penambahan nilai yg bisa dikenakan PPN dan/ atau PPH 23/26. Pengusaha memanfaatkan ketersediaan COD yg sangat mudah didapat. Ini tugas DJP untuk membenahi peraturan double tax treaty

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB UU HKPD

Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:00 WIB PMK 81/2024

Catat! Dokumen WP Badan Era Coretax Diteken Pakai Sertel Pengurus

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 168/2023

Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Analisis Kesebandingan dalam Tahapan Penerapan PKKU

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Maret 2024: Pemerintah Rilis Ketentuan Baru terkait Akuntansi Koperasi

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN DAN CUKAI

Reformasi Berkelanjutan DJBC, Kolaborasi Lintas Sektor Jadi Kunci

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Tahun Baru, PTKP Baru? Catatan bagi yang Baru Menikah atau Punya Anak

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru