Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak yang terlambat melakukan pembayaran pajak tak perlu khawatir akan langsung dikenakan sanksi pidana.
Kepala Seksi Pemeriksaan Bukper II Ditjen Pajak (DJP) Primadona Harahap mengatakan atas pelanggaran pemenuhan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak tersebut tidak serta-merta dikenakan sanksi pidana. Terdapat penegakan hukum dalam bentuk lain yang dikenakan kepada wajib pajak.
“Jadi, kalau misalnya nih. Kawan pajak ada yang telat bayar pajak. Itu enggak langsung kita tangani secara pidana. Enggak langsung dilakukan pemeriksaan bukti permulaan (bukper),” ujar Primadona dalam TaxLive bertajuk Ada Apa Dengan TIPIJAK?, dikutip pada Jumat (16/12/2022).
Adapun Primadona menyampaikan secara umum terdapat 2 bentuk penegakan hukum yang dilakukan oleh DJP, yakni penegakan hukum administrasi dan pidana. Dalam hal pelanggaran yang dilakukan adalah keterlambatan pembayaran pajak maka akan dikenakan penegakan hukum administrasi terlebih dahulu.
“Jadi, tenang saja. Nanti kita akan melakukan pendekatan administrasi terlebih dulu. Jadi, tidak langsung penegakan hukum pidananya,” jelas Primadona.
Sesuai ketentuan dalam UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, pengenaan sanksi administrasi atas pelanggaran wajib pajak terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Dirjen Pajak melalui penerbitan surat ketetapan pajak (SKP) atau surat tagihan pajak (STP).
Kendati demikian, Primadona menjelaskan terdapat kemungkinan atas pelanggaran pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut nantinya akan dikenakan pidana pajak. Tindak pidana pajak dapat dikenakan apabila tindakan pelanggaran dilakukan secara sengaja atau berulang-ulang.
“Enggak langsung memang kita kenakan [pidananya]. Tetapi ketika dilakukannya itu dengan sengaja, dan berulang-ulang. [Kemudian] sudah dilakukan penegakan hukum administrasi tetapi masih juga bandel. [Maka] itu bisa kena pidana pajak,” jelas Primadona.
Pada kesempatan tersebut, Primadona juga menegaskan penegakan hukum dilakukan DJP sebagai konsekuensi sistem perpajakan di Indonesia yang dijalankan dengan self-assessment. Maka dari itu, diperlukan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak.
Perlu diingat juga, pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) 50/2022 sebagai aturan turunan dari UU HPP klaster KUP. Beleid ini ikut mengatur mengenai penetapan tersangka tindak pidana perpajakan. Hal ini tertuang dalam Bab X tentang Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan.
Pasal 61 ayat (1) PP 50/2022 menyebutkan penetapan tersangka tindak pidana di bidang perpajakan dapat dilakukan tanpa didahului pemeriksaan sebagai saksi. Hal ini berlaku apabila yang bersangkutan telah dipanggil 2 kali secara sah dan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang patut dan wajar. Namun, perlu dicatat bahwa penetapan tersangka tetap harus berdasarkan 2 alat bukti yang sah.
"Penetapan sebagai tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada 2 alat bukti yang sah," bunyi Pasal 61 ayat (2) PP 50/2022, dikutip pada Rabu (14/12/2022). (Fauzara Pawa Pambika/sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.