JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Rabu (24/1) kabar datang dari pemerintah dan DPR yang mulai membahas revisi Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sejumlah hal krusial yang disorot antara lain meliputi tarif PNBP serta objek pungutan non-pajak.
Perihal tarif, RUU PNBP akan memberikan wewenang kepada menteri untuk menentukan tarif PNBP di instansinya melalui peraturan menteri. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, penentuan tarif PNBP harus ditetapkan melalui peraturan pemerintah.
Anggota Komisi XI dari Fraksi Golkar M. Misbakhun khawatir RUU ini akan mendorong menteri berlomba-lomba membentuk Badan Layanan Umum (BLU) untuk memburu setoran PNBP. Alhasil RUU ini justru memicu pungutan di instansi pemerintah.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memiliki pandangan yang berbeda. Dia menegaskan bahwa RUU PNBP justru akan memperketat pengelolaan BLU milik kementerian. Aturan ini akan menjaga agar kementerian dan lembaga negara tidak berlomba-lomba membuat BLU dan mengenakan pungutan PNBP.
Berita lainnya masih mengenai revisi UU PNBP di mana ada sejumlah poin krusial dalam revisi aturan tersebut. Berikut ulasan ringkas beritanya:
Revisi UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tengah di bahas di parlemen. Sejumlah poin krusial terdapat di aturan ini. Selain persoalan tarif, RUU ini memperluas objek pungutan non-pajak. Objek pungutan non-pajak meliputi seluruh aktivitas, hal, benda yang menjadi sumber penerimaan negara di luar perpajakan (pajak dan cukai) dan hibah. Objek itu meliputi pelaksanaan pemerintahan, penggunaan dana APBN, pengelolaan kekayaan negara, hingga penetapan perundang-undangan. Di kategori pelaksanaan pemerintahan, RUU PNBP menambahkan objek pungutan non-pajak, antara lain kesehatan, agama, pendidikan dan perlindungan sosial. Adapula opsi keringanan berupa pengurangan dan pembebasan PNBP yang tercantum di Pasal 59 yang menyatakan, pembayar PNBP dapat mengajukan permohonan keringanan jika menghadapi kondisi kahar, diputus pailit pengadilan, dan kesulitan likuiditas.
Setelah Bank Indonesia (BI), kini giliran pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang melarang penggunaan mata uang virtual berbasis distributed ledger techology seperti bitcoin sebagai alat transaksi. Kemenkeu menilai, potensi risiko penggunaan alat tukar ini cukup besar. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti mengatakan, pemerintah menilai penggunaan mata uang virtual sebagai alat transaksi tidak memiliki landasan hukum formal. Alhasil, setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah Indonesia wajib menggunakan mata uang rupiah.
Selain insentif fiskal, pemerintah tengah merancang pusat distribusi bagi e-commerce atau e-commerce distrubution center (EDC). Upaya tersebut sekaligus untuk mendukung pertumbuhan industri kecil dan menengah. Konsep EDC ini mirip dengan pusat logistik berikat (PLB) yang sudah diterapkan di 76 tempat. Sebagai pusat distribusi, EDC akan menimbun baik barang impor maupun lokal e-commerce yang didalamnya diberikan fasilitas fiskal berupa kemudahan dari aspek pajak, kepabeanan, hingga fleksibilitas operasional. Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi mengatakan konsep itu lahir dari keinginan pemerintah untuk menjadi pusat distribusi dagang elektronik, sama seperti yang sudah dilakukan beberapa negara, salah satunya China. Rencananya aturan tersebut akan diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) mengenai PLB.
Calon jemaah haji pada tahun ini harus merogoh kocek lebih dalam pasca penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh pemerintah Arab Saudi. Tidak hanya penerapan PPN, kenaikan Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPIH) tahun 2018 juga disebabkan oleh pelemahan kurs rupiah serta kenaikan biaya pemondokan. Direktur Pengelolaan Keuangan Haji Kemenag Ramadhan Harisman mengatakan, kenaikan BIPH tahun ini rata-rata sebesar 2,5% atau setara Rp900.670. Estimasi kenaikan harus dibayarkan calon jemaah haji yang akan berangkat tahun ini. Secara total biaya BPIH tahun ini sebesar Rp35.790.982 per jemaah. Sementara pada tahun lalu BPIH untuk setiap jemaah sebesar Rp34.890.312 dengan rincian tiket pesawat Rp26.143.812, biaya pemondokan Rp3.391.500 dan konsumsi Rp5.355.000. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.