UU CIPTA KERJA

Ternyata Begini Dampak Perpajakan UU Cipta Kerja bagi Industri Sawit

Redaksi DDTCNews | Sabtu, 22 Mei 2021 | 16:01 WIB
Ternyata Begini Dampak Perpajakan UU Cipta Kerja bagi Industri Sawit

Kepala Kompartemen Perpajakan GAPKI Yustinus Lambang Setyo Putro (kanan) saat memberikan paparan pada acara Sosialisasi Perubahan UU Pajak PascaUU Cipta Kerja, Jumat (21/5/2021) (Foto: Youtube GAPKI IPOA)

JAKARTA, DDTCNews - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebutkan perubahan kebijakan perpajakan dalam UU No.11/2020 menimbulkan dampak positif dan potensi negatif bagi pelaku usaha pada tahun ini.

Kepala Kompartemen Perpajakan GAPKI Yustinus Lambang Setyo Putro mengatakan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja klaster perpajakan menimbulkan dampak positif dan negatif bagi industri perkebunan kelapa sawit.

Penurunan tarif PPh badan misalnya, memberikan dampak positif. "Pengusaha sawit juga menanggung risiko besar dari penurunan tarif PPh badan atas revaluasi aset pada 2015-2016," katanya dalam acara Sosialisasi Perubahan UU Pajak PascaUU Cipta Kerja, Jumat (21/5/2021).

Baca Juga:
Baru Berlaku 3 Tahun, Pemerintah Revisi PP Soal Izin Berbasis Risiko

Yustinus menuturkan revaluasi aset tanaman yang dilakukan banyak perusahaan perkebunan pada 2015-2016 berpotensi membuat adanya gap antara penghitungan penyusutan aset secara komersial dan ketentuan fiskal.

Dengan demikian, akan meningkatkan potensi terjadinya koreksi dari fiskus dan dikenakan PPh Pasal 19 atas revaluasi aktiva. Kemudian dampak perubahan kebijakan perpajakan dalam UU Cipta Kerja juga berlaku pada aspek perpajakan atas dividen.

Dia menyebutkan dividen bukan sebagai objek pajak merupakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Tantangan bagi pengusaha perkebunan adalah kewajiban melakukan pembukuan terpisah antara pendapatan bukan objek pajak dan pendapatan yang menjadi objek pajak.

Baca Juga:
Reformasi Pajak 1983, RI Ingin Lepas dari Ketergantungan Sektor Migas

Menurutnya, Ditjen Pajak (DJP) perlu memberikan penjelasan yang lebih detail perihal kewajiban melakukan pembukuan terpisah seperti yang diamanatkan oleh PP No.94/2010.

Regulasi tentang pembukuan terpisah ini juga sering kali menimbulkan sengketa pajak dalam hal teknis standar pembuatan pembukuan terpisah, alokasi biaya dan penetapan alokasi biaya untuk mendapatkan penghasilan yang menjadi objek dan bukan objek pajak.

Selanjutnya, tantangan lain yang dihadapi pengusaha perkebunan kelapa sawit adalah tren kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pajak bumi dan bangunan sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (PBB-P3).

Baca Juga:
Upah Minimum Berlaku untuk Pekerja dengan Masa Kerja Kurang Setahun

Yustinus mengatakan perusahaan yang beroperasi di daerah terpencil menghadapi dilema saat hendak membangun infrastruktur umum pendukung kegiatan usaha, karena pada tahun selanjutnya NJOP PBB perkebunan meningkat.

"PBB sektor perkebunan ini akan selalu meningkat setiap tahun. Karena itu, perlu dibuat tata cara penghitungan [NJOP] yang lebih transparan," terang Yustinus.

Ia menambahkan pengusaha perkebunan kelapa sawit secara natural wajib patuh pajak. Pasalnya, model bisnis perkebunan merupakan usaha jangka panjang, padat modal dan menyerap banyak tenaga kerja.

"Kami berusaha selalu patuh karena akan rugi jika tidak patuh pajak. Karena ini merupakan investasi pada tanaman dan pabrik, jadi perusahaan tidak bisa ditutup dan dibuka lagi," imbuhnya. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

24 Mei 2021 | 08:05 WIB

Regulasi terkait pembukuan terpisah harus segera dibuat karena saat terjadi dispute akan memiliki compliance cost yang tinggi bagi WP sektor perkebunan

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 31 Agustus 2024 | 09:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Prabowo-Gibran Diharapkan Lanjutkan Implementasi UU Cipta Kerja

Jumat, 21 Juni 2024 | 15:30 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Baru Berlaku 3 Tahun, Pemerintah Revisi PP Soal Izin Berbasis Risiko

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN