Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji.
JAKARTA, DDTCNews – Ketentuan antipenghindaran pajak bersifat umum (general anti-avoidance rule/GAAR) dinilai dapat menjadi solusi alternatif dalam mengantisipasi praktik-pratik penghindaran pajak baru pada masa mendatang.
Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji menganalogikan GAAR sebagai obat generik. Jika ada skema penghindaran pajak yang tidak bisa dicegah dengan antipenghindaran pajak bersifat spesifik maka GAAR bisa menjadi obat untuk menyelesaikan isu tersebut.
“Perkembangan Pilar 1 dan Pilar 2 juga belum tentu bisa mengatasi isu penghindaran pajak. Jadi, GAAR ini menjadi salah satu elemen yang fungsinya bagus,” katanya dalam acara International Tax Forum (ITF) 2023, Rabu (25/10/2023).
Namun, GAAR ini juga dianggap sebagai alat antipenghindaran pajak yang kerap kali menimbulkan ketidakpastian usaha. Oleh karena itu, GAAR perlu didesain sebaik mungkin agar tidak menimbulkan distorsi usaha.
Bawono memerinci sejumlah tantangan terkait dengan penerapan GAAR. Pertama, ketentuan GAAAR yang mengandung elemen pertentangan dengan maksud dibentuknya undang-undang dapat lebih condong menguntungkan pemerintah. Simak Cegah Penghindaran Pajak, DJP Siapkan PMK Baru Soal GAAR
Kedua, adanya kesulitan untuk mendefinisikan penghindaran pajak. Umumnya, di banyak negara, mereka tidak mendefinisikan penghindaran pajak, tetapi menjelaskan karakter-karakter transaksi atau skema yang dianggap sebagai penghindaran pajak.
“Penjelasan karakter transaksi atau skema yang dianggap sebagai penghindaran pajak ini mungkin akan berguna untuk ketentuan GAAR itu sendiri,” tuturnya.
Ketiga, pengujian doktrin substance over form. Salah satu yang diuji adalah motifnya. Apakah kata yang dipakai dalam ketentuan GAAR adalah satu-satunya motif penghindaran pajak atau salah satu motifnya adalah penghindaran pajak atau penghematan pajak.
“Karena begini, bisa saja transaksi yang sebenarnya memiliki substansi usaha atau transaksi bonafide itu punya elemen tax saving. Jadi, pertentangannya disini,” ujar Bawono.
Selanjutnya, pengujian doktrin substance over form biasanya melibatkan artificial test. Jadi, dari tes itu, pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah transaksi dari wajib pajak murni karena sistem pajak atau sengaja dibuat.
“Karena bisa jadi suatu wajib pajak tergerak oleh insentif atau peluang akibat kelemahan ketentuan itu sendiri atau sengaja dibuat. Jadi, ini perlu dipisahkan, apakah sengaja diciptakan sedemikian rupa atau dimotivasi peraturan tersebut,” kata Bawono.
Keempat, masalah pengujian tax benefit. Jadi, GAAR itu harusnya diimplementasikan ketika nyata-nyata ada manfaat pajak yang diperoleh wajib pajak. Jika sifatnya masih berupa rekaan, dugaan, atau belum ada manfaatnya maka hal tersebut masih bisa diperdebatkan.
Bawono menambahkan pemerintah sebenarnya sudah mengatur rambu-rambu untuk melaksanakan ketentuan GAAR, sekaligus perlindungan hak wajib pajak, seperti tertuang dalam Pasal 44 Peraturan Pemerintah (PP) No. 55/2022.
Merujuk pada pasal 44, terdapat 5 hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pencegahan praktik penghindaran dengan prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya (substance over form). Pertama, batasan kewenangan dan prosedur pelaksanaan.
Kedua, kegiatan yang dilakukan wajib pajak masuk dalam cakupan penghindaran pajak. Ketiga, tahapan pengujian formil dan materiil. Keempat, mekanisme penjaminan kualitas. Kelima, perlindungan hak wajib pajak. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.