KEBIJAKAN FISKAL

Strategi Antisipasi Risiko Krisis Fiskal

Redaksi DDTCNews | Kamis, 11 Juni 2020 | 15:19 WIB
Strategi Antisipasi Risiko Krisis Fiskal

TERJADINYA krisis fiskal sangat sulit untuk diprediksi karena dapat terjadi kapan saja dan tidak hanya bergantung pada rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Krisis tersebut bahkan dapat terjadi ketika kondisi pasar keuangan sedang relatif stabil (Ferguson, 2013).

Pada awal 2018, pemerintah Amerika Serikat (AS) dihadapkan pada proyeksi 10 tahun yang menggambarkan adanya pertumbuhan defisit anggaran serta utang publik. Penurunan tarif pajak serta tingginya belanja negara berkontribusi terhadap meningkatnya utang tersebut.

Rasio utang terhadap PDB AS diprediksi tumbuh dari 77% pada 2017 menjadi 96% pada 2028. Dengan catatan, proyeksi tersebut mengasumsikan bahwa semua perubahan kebijakan akan berjalan lancar serta tidak adanya resesi yang serius pada rentang waktu 10 tahun tersebut.

Baca Juga:
Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

Pertumbuhan rasio uang tersebut dikhawatirkan menyebabkan timbulnya krisis fiskal, yaitu ketika suatu negara tidak dapat melunasi utang-utangnya. Pada masa krisis tersebut, kondisi pasar finansial umumnya menjadi sangat tidak stabil serta diiringi oleh kenaikan suku bunga yang eksplosif.

Makalah berjudul “A U.S. Fiscal Crisis?” yang dirilis pada 2018 ini membahas adanya potensi krisis fiskal AS tersebut dengan berkaca pada krisis fiskal yang sebelumnya telah menimpa Irlandia dan Yunani.

Di Irlandia, pemerintah dengan cepat memperbaiki prospek anggaran (budget outlook) dengan menaikkan tarif pajak dan mengurangi pengeluaran pemerintah dalam periode konsolidasi dari tahun 2008 sampai dengan 2014.

Baca Juga:
DDTC Gelar Temu Kontributor Buku Gagasan Perpajakan Prabowo-Gibran

Hasilnya, pemerintah berhasil mengurangi defisit hingga 19,8 miliar euro (70% dari nilai tersebut dapat dicapai sebelum 2012). Rasio utang terhadap PDB turun dari 120% pada 2012 menjadi 75,4% pada 2016.

Di sisi lain, Yunani juga menerapkan kebijakan fiskal serupa dengan menaikan tarif pajak di berbagai jenis selama bertahap dari 2010 sampai dengan 2016. Selain itu, terdapat pemotongan gaji dan bonus pegawai sipil negara (ASN), pembayaran pensiun, serta penurunan upah minimum pekerja.

Berbagai kebijakan tersebut sangat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi dan menyebabkan langkah penyelamatan defisit menjadi semakin sulit. Namun, kondisi sulit tersebut membuahkan hasil, yaitu rasio utang terhadap PDB yang menurun sejak 2017.

Baca Juga:
Kurang Kooperatif, Saldo Rekening Penunggak Pajak Dipindahbukukan

Merujuk pada berbagai literatur, permasalahan defisit anggaran AS juga berasal dari permasalahan struktur demografi AS, yang mayoritas adalah orang-orang usia tidak produktif lagi. Dengan demikian, pengeluaran pemerintah AS terhadap jaminan sosial dan jaminan kesehatan, seperti Medicare serta Medicaid, memiliki proporsi lebih dari setengahnya.

Permasalahan tersebut semakin berat dengan adanya generasi baby-boomers yang belum terjamah seluruhnya dan akan masuk ke dalam program-program tersebut di masa mendatang. Masalah lainnya menyangkut semakin mahalnya biaya kesehatan dan pertumbuhan biaya yang semakin tidak proporsional dengan pertumbuhan ekonomi serta penerimaan pajak.

Kebijakan fiskal yang semakin tidak memfokuskan pada penanganan krisis tersebut ditakutkan tidak lagi hanya memperbesar kemungkinanan terjadinya krisis tersebut, tetapi malah akan semakin mempercepat terjadinya krisis.

Baca Juga:
Penduduk Mulai Menua, Thailand Kembali Dorong Reformasi Sistem Pajak

Secara garis besar, makalah ini membandingkan krisis fiskal di Irlandia dan Yunani untuk dijadikan pembelajaran dalam menangani kondisi fiskal AS pada 2018. Selain itu, makalah ini juga memperingatkan kondisi yang akan dihadapi AS apabila tidak dapat mengantisipasi krisis yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan fiskal yang keliru.

Makalah ini layak dibaca oleh berbagai kalangan. Studi kasus mengenai krisis di Irlandia dan Yunani menjadikan permasalahan lebih mudah untuk dipahami dan tidak hanya berupa prediksi dan asumsi semata.

Namun, studi komparasi tersebut tidak dapat dijadikan acuan secara menyeluruh dikarenakan dampak terhadap ekonomi dunia dari dua negara tersebut relatif jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan dampak yang dapat ditimbulkan oleh AS.*


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

Senin, 21 Oktober 2024 | 15:30 WIB HUT KE-17 DDTC

DDTC Gelar Temu Kontributor Buku Gagasan Perpajakan Prabowo-Gibran

Senin, 21 Oktober 2024 | 12:30 WIB KPP PRATAMA NATAR

Kurang Kooperatif, Saldo Rekening Penunggak Pajak Dipindahbukukan

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN