Menteri Keuangan Sri Mulyani. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.
JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Keuangan menilai reformasi perpajakan sangat diperlukan untuk menutup celah pajak atau tax gap Indonesia yang relatif cukup besar ketimbang negara-negara lain.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tax gap Indonesia setara dengan 8,5% dari PDB pada 2019 dengan rasio perpajakan sebesar 9,76% dari PDB. Menurutnya, angka tax gap di negara-negara lain normalnya sebesar 3,6%.
"Normal tax gap di negara-negara lain sebesar 3,6%. Untuk Indonesia sebetulnya terdapat potensi tax gap yang harus kita kurangi sebesar mendekati 5% dari PDB," katanya saat rapat bersama Komisi XI DPR, Senin (28/6/2021).
Sri Mulyani menjelaskan tax gap dalam suatu sistem perpajakan selalu akan timbul meski kepatuhan pajak hingga 100%. Perlakuan yang sama terhadap semua sektor dan tidak memberikan pengecualian pajak juga tidak bisa mencegah timbulnya tax gap.
Meski demikian, lanjutnya, tax gap tetap perlu dikurangi untuk menciptakan penerimaan pajak yang lebih optimal. "Kemampuan untuk meng-collect pajak memang tidak akan pernah 100%. Selalu ada tax gap," ujarnya.
Berkaca pada tax gap di negara-negara maju yang memiliki tax gap 10—20% dari potensi, Indonesia sebenarnya memiliki ruang yang besar untuk mengurangi tax gap dan menaikkan potensi penerimaan perpajakan ke depan.
"Untuk Indonesia sesungguhnya terdapat potensi tax gap yang bisa dikurangi sebesar 5% dari PDB. Ini yang kami ingin letakkan dalam fondasi reformasi perpajakan untuk dibahas," tutur Sri Mulyani di hadapan Komisi XI.
Menurut menkeu, pondasi ekonomi Indonesia juga harus sejalan dengan praktik global sembari tetap melindungi kepentingan negara dan kelompok masyarakat yang tergolong rentan. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.