Dosen Hukum Pajak Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Anugrah Anditya memaparkan materi. (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews – Asimetri data dan informasi menjadi tantangan terberat Ditjen Pajak (DJP) dalam mengamankan penerimaan pajak atas transaksi yang dilakukan secara elektronik.
Dosen Hukum Pajak Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Anugrah Anditya mengatakan secara prinsip, penerapan hukum perpajakan atas transaksi elektronik tidak berbeda dengan transaksi yang dilakukan secara konvensional.
Pada kedua jenis transaksi tersebut berpotensi muncul kewajiban pembayaran pajak, seperti pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh). Namun, terdapat tantangan saat otoritas melakukan penelusuran atas transaksi yang dilakukan secara elektronik.
"Pada dasarnya, hukum perpajakan dalam transaksi konvensional bisa digunakan dalam transaksi elektronik. Hanya saja akan muncul kendala karena data disimpan dalam perangkat elektronik sehingga muncul asimetri informasi dalam menerapkan kebijakan perpajakan," katanya dalam acara Afternoon Tax Talk FH UGM, dikutip pada Jumat (23/4/2021).
Anugrah menuturkan munculnya asimetri informasi dan data tersebut berasal dari rezim perpajakan Indonesia yang menganut sistem self assessment. Masih rendahnya kepatuhan pajak dan tingkat tax ratio membuat DJP tidak memiliki basis data yang mumpuni untuk melakukan uji kepatuhan melalui validasi data SPT yang disampaikan wajib pajak.
Menurutnya, persoalan tersebut sudah mulai diurai pemerintah dengan penggalian data dan informasi melalui pihak ketiga seperti penyedia sistem perdagangan elektronik atau marketplace. Namun, hal tersebut belum cukup untuk mengakomodasi seluruh transaksi elektronik yang dilakukan di Indonesia.
Pasalnya, transaksi elektronik tidak hanya melalui marketplace. Kegiatan ekonomi secara daring juga banyak dilakukan melalui saluran media sosial. Penggalian data dari penyedia jasa juga memerlukan validasi lanjutan karena tidak seluruhnya bisa diakomodasi penyedia layanan media sosial.
"Mitigasi sudah dilakukan dengan tanggung jawab penyedia platform untuk kumpulkan data atau catatan log transaksi yang disampaikan ke fiskus. Namun, tidak semua transaksi elektronik menggunakan platform marketplace, karena banyak lewat media sosial yang bukan ditujukan pada kegiatan jual-beli," paparnya.
Oleh karena itu, pembaruan kebijakan perlu terus dilakukan otoritas pajak secara berkesinambungan. Menurutnya, basis data yang kuat menjadi instrumen andalan dalam mengamankan penerimaan pajak dari transaksi elektronik.
Proses bisnis penggalian data perlu terus ditingkatkan karena DJP tidak memiliki instrumen uji kepatuhan seperti transaksi konvensional yang bisa melakukan observasi langsung di tempat pelaku usaha.
"Tantangan domestik ini akan jauh lebih berat jika kita bicara tentang transaksi yang sudah dilakukan full elektronik, yaitu metode pembayaran dan transaksi atas barang tidak berwujud kemudian ditambah dilakukan secara cross border," imbuhnya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.