DISUSUN untuk meningkatkan kemudahan berusaha, implementasi UU 11/2020 tentang Cipta Kerja ternyata belum sepenuhnya sejalan dengan harapan pemerintah.
Melalui UU Cipta Kerja, izin mendirikan bangunan (IMB) yang selama ini kita kenal diubah menjadi persetujuan bangunan gedung (PBG). Lebih dari setahun UU Cipta Kerja berlaku, tercatat masih terdapat banyak pemda yang belum mengadopsi PBG sebagai rezim baru pengganti IMB.
Masalah hukum ini pun pada akhirnya memberikan dampak terhadap sektor properti perumahan. PBG yang terkendala membuat akad antara pengembang dan pembeli pun terhambat. Padahal, pengembang perlu memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi dengan sebaik-baiknya untuk memulihkan kinerja.
Untuk membahas topik ini, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Ketua Umum DPP Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas) Jaya Andre Bangsawan. Berikut petikannya lengkapnya:
Bagaimana perkembangan sektor properti perumahan dalam beberapa tahun terakhir?
Bisa dikatakan beberapa tahun ini adalah [periode] buruk untuk properti. Mengapa? Hampir 3 tahun ini nasib kita tidak menentu akibat pandemi. Beberapa sektor riil sangat terdampak sehingga imbasnya ke kita sebagai pengusaha. Calon pembeli rumah memilih untuk wait and see. Mereka memilih aman. Saya sendiri sebagai orang properti hampir 20 tahun, saya rasa ini yang paling buruk.
Kalau BMKG bisa prediksi bencana alam, Covid-19 ini tidak ada yang perkirakan sebelumnya. Pengusaha pun tidak ada persiapan. Sehingga misalnya developer proses ambil kredit dan kreditnya sudah keluar, ketika kredit keluar maka bunga kan berjalan. Saat membangun, ya tidak bisa membangun. Tukang-tukang dilarang keluar rumah akhirnya kita sebagai pengusaha nggak bisa ngapa-ngapain. Akhirnya material yang saya beli rusak karena tidak dipakai pakai. Uang muka kita ke pihak lain kan nggak mungkin kita minta mengembalikan.
Kalau dibandingkan dengan krisis 2008, seperti apa kondisinya saat ini?
Kalau krisis 2008 dulu itu kan mendunia dan ibarat musim hujan dia ada pengantarnya dulu, ada guntur dan kilat. Kalau pandemi ini kan tidak, tiba-tiba Wuhan kena dan lalu seluruh dunia kena termasuk Indonesia. Berbarengan dengan ini, ketika kita krisis luar biasa, tiba-tiba pemerintah bikin kebijakan IMB jadi PBG.
Buktinya sekarang ada beberapa daerah yang developer-nya enggak bisa akad, kenapa? Karena tidak ada IMB-nya. Pemda ini ada kaitannya dengan perizinan, bisa dibayangkan institusi ini kalau mereka diam karena persoalan Covid-19 apa jadinya coba?
Pemda dan pemerintah pusat harus memberikan kelonggaran atau ada kebijakan sepanjang kebijakan itu tidak merugikan negara. Sepanjang ada keberpihakannya kepada pengusaha dan rakyat, tidak ada masalah. Sekarang kan orang ketakutan karena tidak ada perdanya, misal ada yang mau bikin PBG tapi perdanya tidak ada.
Contohnya, ada investasi mencapai miliaran [rupiah] untuk rumah potong hewan. Itu kan ada IMB atau PBG-nya, sekarang tidak bisa dibangun. Bapak Presiden kan menginstruksikan kepada pemda agar investor itu masuk. Begitu dibawa, investor tidak bisa ngapa-ngapain bagaimana coba? Pemda bilang tidak ada perdanya dan mereka bilang sedang mengajukan ke pusat.
Apa saran Anda mengenai masalah PBG ini?
Saran saya PBG itu menindaklanjuti yang sudah ada yakni IMB. Ini kan PBG tiba-tiba dan sosialisasinya bikin kaget-kaget kita. Bersyukur kita masih bisa bertahan, tapi teman-teman lain itu habis enggak bisa ngapa-ngapain dan di sisi lain harus bayar bunga, di sisi lain harus menagih.
Sementara itu, calon pembeli rumah bilang habis masuk rumah sakit mau apa kita? Sedangkan ke bank enggak mungkin kita ngomong begitu. Jadi memang dampaknya sangat buruk bagi dunia properti meskipun sekarang untuk yang punya kemampuan kita bertahan. Memang sudah ada titik terangnya, pelan-pelan kita terus membangun.
Mengenai PBG ini seharusnya pemda bijak lah, kadang kala pusat dan daerah tidak sinkron. Daerah takut karena kan ada pengawasannya, ada KPK, dan sebagainya. Kan orang tidak mau terjadi masalah hanya karena meloloskan developer. Jadi memang seperti itu gambarannya.
Tapi saya tetap optimistis, secara psikologis kan orang habis tertekan ingin bangkit habis-habisan. Sebaliknya orang yang posisi nyaman kan optimismenya kurang. Jadi saya yakin di 2022 dan 2023 akan membaik ini. Buktinya sekarang mulai banyak investor yang mau kerja sama. Jadi memang ada plus-minusnya menurut saya.
Sejak tahun lalu pemerintah memberikan insentif khusus bagi sektor perumahan yakni PPN DTP. Seberapa besar dampaknya secara sektoral?
Banyak yang memanfaatkan insentif itu, karena memang sudah jadi kebijakan. Sayang kalau ada kebijakan tidak dimanfaatkan. Ada pergerakan positifnya bagus, itu yang menolong. Itu kan kebijakan yang berpihak ke masyarakat sehingga beban kita berkurang.
Ya meskipun pemerintah menaikkan PPN lagi ya habis ini [jadi] 11%, ini kan orang baru mulai bernapas. Tapi kalau soal kebijakan insentif itu sangat bagus sekali, sangat menolong kami.
Kalau dibandingkan dengan insentif PPnBM DTP atas mobil baru, insentif PPN DTP rumah tergolong lebih kompleks. Apakah dalam penerapannya para pengusaha menghadapi kendala dari sisi administrasi?
Ini sama dengan kebijakan pemerintah yang mengontrol rumah subsidi. Sebelumnya kan main akad-akad saja, sekarang ada banyak aplikasi seperti SiKumbang, SiKasep, SiPetruk, macam-macam lah. Meskipun rumit, aplikasi itu menguntungkan bagi developer dan calon pembeli.
Dulu itu memang calon pembeli sering menjadi korban bagi pengembang. Dengan adanya aplikasi semua jadi bagus, jadi terbingkai dan terukur, tampak semua. Ya memang kebijakan apa sih yang tidak punya syarat? Bantuan sembako saja ada syaratnya.
Sekarang sudah mulai bagus dari sisi aplikasi, dari sisi perpajakan juga bagus. Dengan adanya aplikasi memang kita terkendala tapi dengan terbiasa maka itu bukan jadi kendala lagi. Ujung-ujungnya kebaikannya adalah untuk kita semua. Yang kurang adalah terkadang sosialisasinya.
Apakah kenaikan tarif PPN menjadi 11% tepat dilakukan saat ini?
Kebijakan ini bagus kan sesungguhnya, karena kan sebuah negara maju bila kita taat pajak. Amerika Serikat dan Eropa itu taat pajak, itu sangat benar. Dengan pajak maka pemerataan kita rasakan. Namun, jangan dulu di kondisi yang kita baru mulai bangkit.
Menurut saya kenapa tidak diundur ke 2024 atau 2025 setelah ada pemimpin yang baru. Kalau 2025 jangankan 12%, mau 15% juga tidak masalah. Yang penting perekonomiannya distabilkan dulu.
Pembenahan dari sisi wajib pajak itu yang mungkin perlu lebih diutamakan. Benahi dulu sektor-sektornya supaya nanti setelahnya baru menaikkan pajak.
Apa program Appernas Jaya untuk jangka pendek, menengah, dan panjang ke depan?
Kalau jangka panjang, tentu kita bersinergi dengan pemerintah untuk menyosialisasikan program sejuta rumah. Secara jangka pendek, kami minta pemerintah sebagai regulator untuk memberikan fasilitas PBG, di situ dulu kita tidak perlu muluk-muluk. Ini supaya orang bisa akad rumah itu jelas.
Jadi secara jangka pendek pemda dan BPN di daerah-daerah itu supaya membuka diri, jangan mempersulit pengembang dan investor. Jadi bagaimana Appernas Jaya itu bersinergi dengan pemda dan kami juga selalu mencoba bersinergi dengan BPN di kabupaten.
Secara jangka menengah pemerintah perlu memberikan kuota rumah yang banyak, jangan dibatasi. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.