Pemilik usaha menimbang kerupuk kulit yang akan dijual ke pasar di sebuah UMKM rumahan, Kecamatan Dumai Kota, Dumai, Riau, Minggu (6/10/2024). Dalam mengembangkan bisnisnya pemilik usaha kerupuk kulit tersebut mendapat tambahan modal KUR dari sebuah bank pemerintah sehingga berhasil meningkatkan produksi selain untuk memasok ke warung dan rumah makan ia juga mampu secara mandiri menjual lansung produknya ke pasar dengan harga Rp190 ribu per kg dan yang mentah Rp95 ribu per kg. ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/aww.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah perlu memberikan justifikasi yang kuat di balik rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 2025. Alasannya, kebijakan tarif PPN sangat lekat dengan potensi kenaikan harga barang dan jasa yang ditawarkan pelaku UMKM.
Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero menilai penentuan tarif PPN perlu didasari kajian yang matang mengenai kondisi daya beli masyarakat. Jangan sampai, ujarnya, kenaikan PPN justru makin menekan kemampuan konsumsi masyarakat dan merugikan pelaku UMKM.
“Sebenarnya pelaku UMKM harus menerima konsekuensi atas kenaikan PPN, asalkan justifikasinya jelas. Jangan sekadar, eh kantong saya [pemerintah] kurang nih, jadi saya naikkan pajaknya. Untuk menambah penerimaan pajak? Itu bukan justifikasi,” kata Edy, Senin (7/10/2024).
Edy juga menyadari bahwa kebijakan mengenai PPN sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Beleid itu sudah jelas mengetur linimasa kenaikan PPN. Hanya saja, menurutnya, pemerintah perlu lebih fair dalam mengimplementasikan kebijakan pajak. Pemerintah dinilai perlu memberikan alasan yang kuat di balik kenaikan PPN melalui sosialisasi yang masif.
"Baru dengan begitu masyarakat akan memaklumi adanya perubahan kebijakan," katanya.
Bicara soal dampak langsung dari kebijakan pajak, Edy melanjutkan, kenaikan 1% tarif PPN secara otomatis akan membuat harga jual produk UMKM berpotensi ikut naik. Hal tersebut tentu berisiko menggerus daya beli masyarakat. Karenanya, menurut Edy, yang terpenting adalah strategi pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat pascakenaikan PPN. Pemerintah bisa berkaca kembali pada kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022 lalu.
“Artinya, sepanjang itu [kenaikan PPN] tidak mengganggu pemasaran, tidak menurunkan minat orang untuk membeli, maka tidak ada masalah. Tapi kalau itu berdampak pada pembelian itu menjadi. Pelaku UMKM itu cara pandangnya, sepanjang daya beli masyarakat masih bagus, tidak masalah," kata Edy.
Selain itu, kenaikan PPN yang berujung pada bertambahnya penerimaan pajak juga diharapkan bisa memberikan implikasi positif bagi pelaku UMKM. Tambahan penerimaan tersebut, imbuh Edy, seyogianya diiringi dengan pendampingan yang lebih optimal bagi pelaku UMKM. Pendampingan bagi pelaku UMKM ini tidak terbatas pada edukasi mengenai aspek perpajakan saja, tetapi juga pendampingan mengenai pemasaran hingga pengemasan.
“Ketika pemerintah mendapat benefit dari kenaikan 1% PPN, tengok-tengok juga dong pelaku UMKM. Mereka butuh modal kerja, butuh pendampingan. Kalau bisa berikan pelatihan-pelatihan bagi UMKM agar bisa naik kelas," kata Edy.
Seperti diketahui, salah satu klausul dalam UU HPP adalah kenaikan tarif PPN secara bertahap dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 dan menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025. Meski demikian, kepastian mengenai kenaikan PPN menjadi 12% mulai 2025 belum final. Hal ini akan dibahas lebih lanjut oleh pemerintahan di bawah Prabowo Subianto.
UU HPP sendiri juga memberikan ruang bagi pemerintah untuk menurunkan PPN menjadi maksimal 5%. Tarif dapat diturunkan lewat penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan bersama DPR. (Syallom Aprinta Cahya Prasdani/sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.