Ganda Christian Tobing, Senior Manager of International Tax DDTC, saat mempresentasikan makalah Tax Treaty Arbitration di Rust, Austria.
AUSTRIA, DDTCNews - Pada 5 hingga 7 Juli 2018, Institute for Austrian and International Tax Law, Vienna University of Economic and Business menyelenggarakan konferensi pajak internasional di Rust, Austria. Rust adalah kota kecil di provinsi Burgenland yang terletak di selatan Austria dan dikenal dengan kebun anggur serta pemandangan alamnya.
Tema konferensi tahun ini adalah “Tax Treaty Arbitration”. Peserta konferensi berasal dari lebih 30 negara dan dari 5 benua. Pada hari pertama, konferensi diawali dengan presentasi dari beberapa kandidat doktor yang mengangkat penyelesaian sengketa pajak internasional sebagai topik disertasinya. Kandidat doktor dari Jerman dan Belanda memaparkan mekanisme Arbitrase berdasarkan peraturan domestik negaranya masing-masing dan membandingkan mekanisme Arbitrase yang berlaku di Uni Eropa dan OECD.
Selanjutnya kandidat doktor dari Austria mendiskusikan peran teknologi dalam meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa pajak internasional. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelesaian sengketa dapat dilakukan pada tahapan sebelum dan sesudah proses Mutual Agreement Procedure (MAP). Misalnya, penggunaan big data untuk mempermudah otoritas pajak membangun profil risiko wajib pajak, teknologi berbasis artificial intelligence dalam menganalisis dan menyaring data secara efektif, dan cloud systembagi otoritas pajak untuk saling berbagi data dengan otoritas pajak lainnya, serta video conferencing untuk memudahkan komunikasi diantara otoritas pajak.
Natalia Quinones dari University van Amsterdam memaparkan temuan awal penelitiannya mengenai penyelesaian sengketa post-BEPS di negara-negara berkembang. Mengambil survei dari 27 negara berkembang, temuan awalnya menunjukkan bahwa mayoritas sengketa pajak internasional diselesaikan melalui jalur domestik. Hal yang cukup menarik adalah sekitar 80% dari negara berkembang yang menjadi sampel memiliki kurang dari 5 pegawai dalam tim MAP.
Pada hari kedua, reporter dari setiap negara mempresentasikan implementasi penyelesaian sengketa pajak internasional di negaranya masing-masing. Professor Daniel Gutman, national reporter dari Prancis, mendiskusikan tentang bagaimana hukum domestik Prancis memperlakukan OECD BEPS Report sebagai soft law sehingga OECD BEPS Report tidak dapat diaplikasikan hingga aturan domestik Prancis diubah untuk mengadopsinya.
Reporter dari India membahas mengenai begitu banyaknya jumlah sengketa pajak internasional di India dan panjangnya durasi yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa, sehingga ia mendorong agar sengketa pajak internasional diselesaikan melalui MAP. Meskipun demikian, penerapan Arbitrase di India tampaknya akan terhalang mengingat berdasarkan konstitusi India pendelegasian kewenangan kepada Pemerintah India untuk menyelesaikan sengketa pajak internasional tidak dimaksudkan untuk melepas kedaulatannya kepada pihak ketiga tanpa melibatkan Pemerintah India dalam pengambilan putusan.
Halangan untuk menerapkan mekanisme Arbitrase dari perspektif konstitusi juga timbul di Nigeria. Konstitusi Nigeria menyerahkan permasalahan pajak untuk diselesaikan secara eksklusif melalui Pengadilan Nigeria, sehingga penerapan mekanisme Arbitrase berpotensi melanggar principle of legality di Nigeria.
Permasalahan konstitusional juga menjadi halangan untuk menerapkan Arbitrase di Kolombia. Hal ini berkaca pada dimasukkannya ketentuan Arbitrase dalam tax treaty antara Kolombia dan Prancis yang ditandatangani di tahun 2015 yang dianggap melanggar konstitusi dan saat ini sedang dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi Kolombia.
Reporter dari Indonesia, diwakili oleh Senior Manager of International Tax DDTC, yaitu Ganda Christian Tobing, memaparkan makalah tentang praktik penyelesaian sengketa pajak internasional di Indonesia. Selanjutnya,Reporter dari negara berkembang lainnya yang turut memaparkan penerapan mekanisme penyelesaian sengketa pajak internasional adalah Kenya. Kebijakan tax treaty di Kenya adalah melarang dimasukkannya ketentuan Arbitrase dalam tax treaty yang ditandatangani Kenya. Namun kebijakan tersebut tampaknya akan berubah sejak Kenya menandatangani tax treaty dengan Belanda pada tahun 2015.
Dapat disimpulkan bahwa di negara-negara berkembang, permasalahan untuk mengadopsi Arbitrase pada umumnya adalah terkait masalah kedaulatan pajak. Kewenangan untuk menyerahkan sengketa pajak kepada pihak ketiga untuk memutus sengketa terkait penerimaan pajak merupakan hal yang sensitif dan perlu melibatkan politik hukum pajak.
Sementara itu, beberapa negara Eropa, seperti Austria, Belanda, Prancis, dan Spanyol mendukung penerapan mekanisme Arbitrase, sebagaimana ditunjukkan posisi negara-negara ini terhadap ketentuan Arbitrase dalam Multilateral Instrument. Walaupun demikian, terdapat potensi tumpang tindih ataupun rule-shopping dalam mekanisme penyelesaian sengketa pada negara-negara Uni Eropa mengingat Uni Eropa telah memiliki Dispute Resolution Directive dan EU Arbitration Convention yang mengatur tentang penggunaan Arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian sengketa.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.