PAJAK PENGHASILAN

Siapa Saja yang Seharusnya Menjadi Subjek Pajak?

Sabtu, 08 Februari 2020 | 10:37 WIB
Siapa Saja yang Seharusnya Menjadi Subjek Pajak?

Darussalam,
Managing Partner DDTC

PAJAK Penghasilan (PPh) merupakan jenis pajak subjektif sehingga subjek pajak mempunyai arti yang sangat penting dalam penerapan sistem PPh. Alasannya, subjek pajak merupakan pihak yang dituju untuk dikenakan pajak. Selain itu, penentuan subjek pajak juga menjadi salah satu tolak ukur dalam menentukan apakah suatu pihak wajib atau tidak memenuhi kewajiban pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya.

Pentingnya penentuan subjek pajak juga dikemukakan oleh Peter Harris. Menurut Harris, dalam tulisannya yang berjudul IFRS and the Structural Features of an Income Tax Law, undang-undang PPh harus mengidentifikasi pihak yang menjadi subjek pajak untuk dua tujuan utama.

Pertama, untuk mengalokasikan kewajiban PPh, yaitu siapa yang berkewajiban untuk membayar pajak. Kedua, untuk mengidentifikasi siapa saja pihak-pihak yang bisa memiliki penghasilan sehingga diketahui batasan dari suatu entitas yang wajib membayar pajak (Harris, 2015).

Secara konsep, subjek pajak adalah person (orang pribadi dan badan) yang dituju oleh undang-undang PPh untuk dikenakan pajak (Mansury, 1992). Untuk menentukan siapa atau pihak yang menjadi subjek pajak, UU PPh harus dirancang sedemikian rupa sehingga ketentuannya jelas dan komprehensif mencakup pihak-pihak yang memang harus menjadi subjek pajak. Rancangan ini juga mencakup pengkategorian dari setiap subjek pajak.

Kalau begitu, siapa saja yang seharusnya menjadi subjek pajak untuk tujuan penerapan PPh?

Pihak-pihak yang Menjadi Subjek Pajak

Berdasarkan Avi-Yonah, Sartori, dan Marian (2011), subjek pajak disebut juga dengan istilah unit pembayar pajak (tax paying unit atau tax unit). Unit pembayar pajak terdiri dari orang pribadi, pasangan yang menikah, keluarga, entitas bisnis, dan sebagainya, yang memperoleh penghasilan kena pajak. Unit pembayar pajak berkewajiban untuk membayar pajak dan menyetorkan pajak yang terutang kepada otoritas pajak.

UU PPh umumnya mengkategorikan subjek pajak berdasarkan jenis person atau entitas dominan yang diatur dalam ketentuan domestik, yaitu orang pribadi, perusahaan, dan kemitraan (partnership). Bahkan, di beberapa negara yang menganut common law, subjek pajak juga mencakup trust.

Selain itu, terdapat pula beberapa negara yang dalam UU PPh-nya secara khusus menyebut jenis entitas lainnya, seperti klub, perkumpulan, joint ventures, lembaga, dan sebagainya sebagai subjek pajak. Namun, jika mengikuti rumusan OECD dan United Nations (UN), subjek pajak hanya dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu orang pribadi dan badan (Darussalam, Septriadi, dan Hutagaol, 2007). Rumusan OECD inilah yang diadopsi oleh banyak negara dalam menggolongkan subjek pajaknya.

Dalam OECD Tax Policy (2006), subjek pajak orang pribadi didefinisikan dalam dua model. Pertama, setiap orang pribadi dianggap sebagai subjek pajak tersendiri dan terpisah dengan anggota keluarga yang lain. Dengan kata lain, yang menjadi unit pembayar pajak adalah orang pribadi sehingga setiap orang pribadi wajib memenuhi kewajiban PPh-nya masing-masing. Contoh negara yang menerapkan subjek pajak dengan model orang pribadi adalah Australia, Kanada, Italia, Jepang, Swedia, United Kingdom (UK), China, Brazil, dan India.

Kedua, suatu keluarga yang setiap anggota keluarganya dianggap sebagai bagian dari subjek pajak keluarga sehingga unit pembayar pajak dalam model kedua ini adalah keluarga. Berdasarkan model ini, setiap orang pribadi dianggap sebagai bagian dari keluarganya dan keluargalah yang wajib melaksanakan kewajiban PPh-nya. Belgia, Prancis, dan Luksemburg adalah beberapa negara yang menerapkan subjek pajak dengan model ini (Avi-Yonah, Sartori, dan Omri Marian, 2011).

Terlepas dari kedua model di atas, faktanya terdapat pula negara yang mengadopsi model hybrid dalam penentuan unit pembayar pajaknya. Dalam model hybrid ini, elemen dari model orang pribadi dan model keluarga diterapkan bersamaan. Beberapa negara yang mengadopsi model hybrid adalah Amerika Serikat, Jerman, dan Israel (Thuronyi, 2003).

Sementara itu, istilah badan memiliki pengertian yang berbeda-beda di tiap negara. Misalnya, di Kanada. The Canadian Income Tax (CITA) sebagai UU PPh Kanada tidak mendefinisikan dengan jelas apa itu badan. Section 248(1) CITA hanya menyatakan bahwa badan juga mencakup perusahaan yang berbadan hukum.

Lain halnya dengan Kanada. Italia merupakan negara yang sudah menetapkan dengan jelas siapa yang menjadi subjek pajak badannya. Berdasarkan ketentuan PPh di negara tersebut, subjek pajak badan terdiri dari perusahaan joint-stock, kemitraan atau persekutuan terbatas dengan modal berupa saham, perseroan terbatas, perusahaan kerja sama, dan entitas publik lainnya selain perusahaan.

Salah satu isu yang sering muncul ketika membahas subjek pajak badan adalah mengenai status dari kemitraan (partneship). Tidak dapat dipungkiri, perbedaan perlakuan pajak di tiap negara dalam memperlakukan entitas ini menjadi penyebab isu ini kerap diperbincangkan.

Pada dasarnya, terdapat dua jenis perlakuan kemitraan untuk tujuan pajak. Pertama, Kemitraan berfungsi sebagai “transparent entity” sehingga tidak diperlakukan sebagai subjek pajak. Dalam kasus ini, yang diperlakukan sebagai subjek pajak adalah mitranya. Perlakuan ini diterapkan di beberapa negara, seperti di Kanada dan Austria. Kedua, kemitraan berfungsi sebagai “non-transparent entity” sehingga diperlakukan sebagai subjek pajak seperti bentuk perusahaan pada umumnya. Indonesia menjadi salah satu negara yang menerapkan perlakuan ini (Darussalam dan Septriadi, 2017).

Sama halnya dengan kemitraan. Status subjek pajak dari joint-venture juga sering menjadi perdebatan. Secara umum, joint venture sebagai bentuk usaha kerja sama antara dua entitas atau lebih (collective investment vehicle) dikecualikan sebagai subjek pajak sehingga penghasilan yang diterima oleh bentuk usaha ini hanya dikenai pajak di level masing-masing entitas yang melakukan kerja sama tersebut.

Dikecualikannya joint venture sebagai subjek pajak badan tidak terlepas dari adanya alasan untuk menghindari perlakuan pajak yang tidak menguntungkan bagi entitas yang melakukan kerja sama. Misalnya, dikenai pajak berganda (Vermaulen, 2015).

Subjek Pajak di Indonesia

Ketentuan mengenai subjek pajak di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU PPh. Berdasarkan rumusan pasal ini, subjek pajak di Indonesia terdiri dari empat.

Pertama, orang pribadi. Secara prinsip, subjek pajak orang pribadi di Indonesia menganut model keluarga. Ini sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (3) PP 74/2011. Sementara itu, orang pribadi yang menjadi subjek pajak dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ UU PPh, yaitu mencakup orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.

Kedua, warisan yang belum terbagi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 2 UU PPh. Penetapan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Alasannya, atas warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dan belum dibagikan kepada ahli waris dapat saja memberikan penghasilan meskipun si pewaris sendiri telah meninggal dunia.

Ketiga, badan. Sebagai subjek pajak, badan didefinisikan sebagai sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Badan dapat berupa perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, firma, kongsi, koperasi, dan lain sebagainya.

Keempat, Bentuk Usaha Tetap (BUT). BUT merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Berdasarkan UU PPh, BUT diperlakukan sebagai subjek pajak badan luar negeri yang perlakuan pajaknya dipersamakan dengan subjek pajak badan dalam negeri.

BUT wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, menyampaikan SPT sebagai sarana untuk pelaporan besarnya pajak terutang dalam suatu tahun pajak, serta pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak dengan menggunakan tarif umum seperti yang berlaku pada subjek pajak badan dalam negeri.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 08:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Tahap Pra-Implementasi Aplikasi Coretax, DJP Imbau WP Soal Ini

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

BERITA PILIHAN