Gedung Kementerian Keuangan. (foto: Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Keuangan memandang rencana implementasi pajak karbon tidak akan berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak.
Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin mengatakan pemerintah sebenarnya mengeluarkan biaya juga untuk menerapkan pajak karbon. Meski demikian, pajak karbon tetaplah diperlukan untuk menurunkan emisi dan mendorong transisi ekonomi yang ramah lingkungan.
"Sebetulnya pajak karbon dari sisi revenue tidak terlalu besar karena kalau kita mengeluarkan jenis pajak baru, ada administrative cost of tax-nya. Jadi kurang lebih ini agak-agak equal antara carbon tax dan administrative cost-nya," katanya, dikutip pada Kamis (15/9/2022).
Masyita menuturkan ketentuan pajak karbon telah diatur dalam UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pemerintah memasukkan pajak karbon dalam UU HPP untuk memitigasi persoalan perubahan iklim.
Menurutnya, kebijakan tersebut juga menjadi bagian dari instrumen nilai ekonomi karbon atau carbon pricing untuk menurunkan emisi. Dia berharap kebijakan tersebut dapat mengubah perilaku konsumsi energi masyarakat menjadi lebih ramah lingkungan.
Sebagai langkah awal, pajak karbon bakal dikenakan pada PLTU batubara. Awalnya, pajak karbon dijadwalkan berlaku mulai 1 April 2022. Namun, hingga saat ini, implementasi pajak karbon tidak kunjung diberlakukan oleh pemerintah.
Masyita menilai implementasi pajak karbon harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengganggu tren pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19. Sebab, dunia saat ini juga tengah menghadapi ancaman berupa krisis pangan dan energi.
"Kami sedang selesaikan bersama. Mudah-mudahan keluar tahun ini, hopefully sebelum November, sebelum G-20 Summit," ujarnya. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.