ENERGI

Saran OECD: Kenakan Pajak Karbon dan Kurangi Subsidi Energi

Muhamad Wildan | Selasa, 26 Januari 2021 | 17:02 WIB
Saran OECD: Kenakan Pajak Karbon dan Kurangi Subsidi Energi

Ilustrasi. 

PARIS, DDTCNews – Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menilai negara berkembang dapat meningkatkan penerimaan pajak melalui pengenaan pajak atas pemanfaatan bahan bakar fosil dan pemangkasan subsidi energi.

Dalam laporan berjudul Taxing Energy Use for Sustainable Development, OECD mengungkapkan pengenaan pajak atas penggunaan bahan bakar fosil seperti pajak karbon (carbon tax) tidak hanya meningkatkan penerimaan, tetapi juga mampu memangkas output emisi dan polusi.

"Dari 15 negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang dikaji, ditemukan skema pengenaan pajak karbon yang baik ternyata mampu memperkuat potensi dan mobilisasi penerimaan domestik," tulis OECD dalam keterangan resminya, dikutip pada Selasa (26/1/2021).

Baca Juga:
Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Secara rata-rata, OECD mencatat penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh negara yang menerapkan pajak karbon bisa mencapai 1% dari PDB. Estimasi penerimaan itu diperoleh jika setiap yurisdiksi mengenakan pajak karbon dengan tarif senilai EUR30 atau Rp514.000 atas setiap ton karbon dioksida.

Pengenaan pajak atas pemanfaatan bahan bakar fosil sekaligus reformasi subsidi energi dinilai sebagai kunci untuk mencapai 3 tujuan besar, yakni dekarbonisasi, mobilisasi penerimaan domestik, dan peningkatan akses terhadap sumber energi yang terjangkau.

Negara berkembang yang saat ini mengalami tekanan penerimaan pajak akibat pandemi Covid-19, menurut OECD, memiliki ruang yang cukup besar untuk memulai pengenaan pajak karbon. Adapun pengenaan itu sepanjang diimbangi dengan stimulus kepada masyarakat kelas bawah.

Meski demikian, OECD mencatat masih terdapat banyak kelemahan dalam penerapan pajak atas pemanfaatan bahan bakar fosil yang diterapkan oleh 15 negara berkembang. OECD mencatat 4 dari 15 negara yang dikaji masih memiliki belanja subsidi energi yang lebih besar bila dibandingkan dengan penerimaan pajak atas penggunaan bahan bakar fosil yang diterima.

Baca Juga:
Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Menurut OECD, subsidi energi yang diberikan pemerintah hanya menguntungkan konsumen yang kaya. Dengan demikian, diperlukan desain pajak sekaligus subsidi yang lebih tepat sasaran untuk meningkatkan daya jangkau masyarakat terhadap energi. Lebih lanjut, OECD juga mencatat masih terdapat 83% potensi pajak atas bahan bakar fosil yang masih belum dipajaki.

Namun, OECD juga mencatat 5 dari 15 negara yang dikaji sudah sama sekali tidak memanfaatkan batu bara sebagai sumber energi. Perkembangan pemanfaatan sumber energi terbarukan seperti angin dan solar energy juga tercatat makin besar. Hanya Maroko dan Filipina yang masih memanfaatkan batu bara sebagai sumber energi listrik secara ekstensif.

Adapun yurisdiksi yang dikaji oleh OECD pada laporan ini antara lain Pantai Gading, Mesir, Ghana, Maroko, Nigeria, Uganda, Filipina, Sri Lanka, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, Guatemala, Jamaika, dan Uruguay. (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Rabu, 09 Oktober 2024 | 16:17 WIB KONSENSUS PAJAK GLOBAL

Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Rabu, 09 Oktober 2024 | 13:45 WIB LITERATUR PAJAK

Menginterpretasikan Laba Usaha dalam P3B (Tax Treaty), Baca Buku Ini

Senin, 07 Oktober 2024 | 09:05 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Demi Industri Pionir, Periode Tax Holiday Dipastikan akan Diperpanjang

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN