Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) disepakati untuk diubah menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (1/10/2021).
Pemerintah dan DPR sepakat untuk meneruskan pembahasan RUU HPP ke pembicaraan tingkat II/pengambilan keputusan pada sidang paripurna DPR. Otoritas fiskal menegaskan RUU ini menjadi bagian dari reformasi perpajakan yang masih berlangsung.
“Sudah disetujui di tingkat I, paripurna awal minggu depan,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Setelah RUU HPP disahkan nantinya, Sri Mulyani memastikan langkah-langkah reformasi perpajakan lainnya akan terus berlanjut. Amendemen berbagai UU menjadi bagian reformasi perpajakan dari sisi kebijakan. Pandangan kritis dari DPR akan menjadi catatan pemerintah dalam melakukan reformasi.
Selain mengenai RUU HPP, ada pula bahasan terkait dengan disetujuinya RUU APBN 2022 menjadi UU. Kemudian, masih ada pula bahasan terkait dengan pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam pelayanan publik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan beberapa ketentuan yang disepakati antara lain pengenaan pajak atas natura, pengaturan mengenai tindak lanjut atas putusan mutual agreement procedure (MAP), pengaturan kembali besaran sanksi administratif dalam proses keberatan dan banding, serta penyempurnaan beberapa ketentuan di bidang penegakan hukum perpajakan.
RUU ini juga akan memperkuat reformasi administrasi perpajakan yang saat ini dilakukan oleh pemerintah melalui implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk wajib pajak orang pribadi.
Masih terkait dengan reformasi administrasi perpajakan, RUU ini juga memperkuat posisi Indonesia dalam kerjasama internasional dan memperkenalkan ketentuan mengenai tarif pajak pertambahan nilai (PPN) final.
Ada pula ketentuan yang difokuskan pada perluasan basis pajak sebagai faktor kunci dalam optimalisasi penerimaan pajak. Ketentuan ini menyangkut pengaturan kembali tarif PPh orang pribadi dan badan.
Kemudian, ada penunjukan pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak. RUU ini juga mencakup pengaturan kembali fasilitas PPN, kenaikan tarif PPN, implementasi pajak karbon, dan perubahan mekanisme penambahan atau pengurangan jenis barang kena cukai (BKC). (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Managing Partner DDTC Darussalam menilai rezim baru perpajakan yang ditandai dengan hadirnya RUU HPP membawa dampak positif terhadap penerimaan pajak.
“Ini tepat secara momentum karena jika baru bahas reformasi pajak saat pandemi berlalu, justru missed opportunity,” ujarnya. (Kontan)
Tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dalam RUU HPP direncanakan naik dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022. Kemudian, tarif direncanakan naik menjadi 12% paling lambat berlaku pada 1 Januari 2025. RUU ini juga mengamanatkan ruang perubahan tarif dengan angka terendah sebesar 5% dan tarif tertinggi sebesar 15% jika mendapat lampu hijau dari DPR.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji berpendapat kenaikan tarif PPN secara bertahap ini merupakan jalan tengah yang diambil dengan tetap mempertimbangkan prospek penerimaan negara tanpa mengganggu pemulihan ekonomi.
“Kenaikan bertahap tersebut merupakan jalan tengah yang jitu. Hal ini ditunjukkan dengan klausul bahwa kenaikan tarif menjadi 12% selambat-lambatnya pada 2025,” ujarnya.
Menurutnya, kenaikan tarif PPN berada dalam koridor tujuan pemerintah dalam memberlakukan RUU HPP, yakni berkaitan dengan kesinambungan penerimaan pajak, kebijakan yang konsolidatif, serta ketersediaan dana pembangunan.
Kenaikan tarif PPN, sambungnya, juga selaras dengan tren international best practices. Pasalnya, satu andalan pos penerimaan pajak pada masa pandemi dan pascapandemi berasal dari pungutan berbasis konsumsi. (Bisnis Indonesia)
Pendapatan negara pada APBN 2022 ditargetkan senilai Rp1.846,1 triliun. Penerimaan tersebut terdiri atas penerimaan perpajakan Rp1.510,0 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp335,6 triliun.
Sementara dari sisi belanja negara, pagunya enilai Rp2714,2 triliun. Pada belanja pemerintah pusat, pagu yang disepakati senilai Rp1943,7 triliun. Alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) disepakati senilai Rp770,4 triliun. Defisit anggaran disepakati senilai Rp868,0 triliun atau 4,85% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Data penerima layanan publik yang sudah ditambahkan dengan NIK dan NPWP akan dimanfaatkan untuk berbagai tujuan seperti kepentingan perpajakan dan pencegahan tindak pidana pencucian uang.
Merujuk pada Pasal 10 ayat (1) Perpres 83/2021, data penerima layanan yang telah dilengkapi NIK dan NPWP dan telah tervalidasi juga bisa digunakan untuk pencegahan korupsi, pemutakhiran data identitas dalam data kependudukan, dan tujuan-tujuan lainnya.
"Pembagipakaian dan pemanfaatan data penerima layanan ... dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi Pasal 10 ayat (2) Perpres 83/2021. (DDTCNews)
Ditjen Pajak (DJP) mengimbau masyarakat tidak khawatir terkait dengan mulai intensnya petugas yang turun ke lapangan. DJP, melalui seluruh KPP, memang mengutus pegawainya untuk melakukan kunjungan langsung atau visit kepada wajib pajak di daerah.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmadrin Noor menyampaikan kunjungan langsung atau visit bukan proses bisnis baru yang dilakukan DJP. Dia menyampaikan makin seringnya petugas terjun ke lapangan merupakan bagian dari perubahan cara kerja pada level KPP Pratama dengan pengawasan berbasis kewilayahan.
"Kunjungan atau visit bukanlah hal baru di DJP. Visit merupakan bagian dari tata kelola pengawasan atau pemeriksaan," katanya. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.