SELAMA satu dekade sejak 2010-2019 penerimaan pajak selalu meleset dari target. Terakhir di 2019, target penerimaan pajak hanya meraup sebesar Rp1.332 triliun. Jumlah ini hanya sebesar 84,4% dari target yang dicanangkan di 2019 sebesar Rp1.577 triliun. Pencapaian sebesar Rp1.332 triliun hanya tumbuh 1,4% dari realisasi penerimaan pajak 2018.
Di 2020, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp1.642 triliun atau tumbuh sebesar 23% dari realisasi 2019 sebesar Rp1.332. Pertanyaannya, realistiskah target pajak 2020 sebesar Rp1.642 triliun tersebut?
Kilas Balik 2019
UNTUK dapat menatap proyeksi penerimaan pajak 2020, kita tentu harus melihat kondisi pajak 2019 sebagai basisnya. Kondisi pajak 2019 dapat disebut dengan anomali. Terdapat fenomena ekonomi global dan politik yang menyebabkan pola penerimaan pajak 2019 sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Dengan modal kinerja penerimaan 2018 yang rebound dari tren selama 5 tahun sebelumnya, pemerintah menatap 2019 dengan optimistis. Pasalnya, di 2018, capaian rasio pajak dalam pengertian luas meningkat hingga 11,5%. Realisasi pajak terhadap target menyentuh angka 92,4%. Serta, pertumbuhan penerimaan pajak pada kisaran 14% yang menyebabkan tax buoyancy terkerek menjadi 1,6.
Angka tax buoyancy sebesar 1,6 ini mematahkan tren tax buoyancy di bawah 1 selama 5 tahun ke belakang (2013-2017). Ada secercah harapan bahwa pola penerimaan pajak 2019 akan tetap sama bahkan meningkat dibanding 2018.
Optimisme tersebut sepertinya menjadi pertimbangan tidak adanya APBN-Perubahan yang biasanya dilakukan untuk merevisi target penerimaan pajak. Target pajak sebesar Rp1.577,6 triliun tidak goyah maupun berubah selama 2019 (Kristiaji dan Vissaro, 2019). Namun faktanya, 2019 tidaklah seperti 2018.
Penerimaan pajak sepanjang 2019 mengalami tekanan. Sektor manufaktur dan pertambangan menjadi sektor yang paling tergerus kontribusi pajaknya. Kedua sektor tersebut tumbuh negatif karena terimbas langsung dengan gejolak harga komoditas dan perdagangan global.
Penerimaan pajak sektor manufaktur hingga akhir Desember 2019 hanya mencapai Rp365,39 triliun. Jumlah realisasi tersebut tumbuh negatif 1,8% dan jauh dari capaian 2018 yang berhasil tumbuh 10,9%. Padahal, sektor manufaktur penyumbang terbesar penerimaan pajak dengan kontribusi sebesar 29,4% di 2019.
Selanjutnya, penerimaan pajak sektor pertambangan mengalami kontraksi paling dalam. Dengan realisasi penerimaan hanya Rp66,1 triliun, sektor ini tercatat tumbuh negatif 19%. Padahal di 2018, sektor pertambangan sanggup membukukan pertumbuhan hingga 50,7%.
Kemudian, kinerja penerimaan pajak dari sektor perdagangan pada 2019 mencapai Rp246,8 triliun. Kinerja tersebut tumbuh 2,9% secara tahunan, tetapi masih lebih rendah dari periode sama 2018 yang mampu tumbuh sampai 20,5%.
Realisasi penerimaan pajak dari sektor usaha jasa keuangan dan asuransi pada 2019 mencapai Rp175,9 triliun. Sektor usaha yang menyumbang 14,2% terhadap total penerimaan pajak ini tumbuh 7,7%, tetapi masih lebih rendah dari 2018 yang tumbuh 11,5%.
Selanjutnya, kinerja sektor konstruksi dan real estat hingga akhir Desember 2019 mencapai Rp89,6 triliun. Realisasi penerimaan tersebut tumbuh 3,3% dari 2018. Angka pertumbuhan itu lebih rendah dari capaian pada 2018 yang sanggup tumbuh hingga 6%.
Hanya sektor transportasi dan pergudangan yang pertumbuhannya di atas 2018. Hingga akhir Desember 2019, jenis usaha ini menyumbang pajak senilai Rp50,3 triliun atau tumbuh 18,7%. Laju pertumbuhan penerimaan ini lebih tinggi dari capaian pada 2018 sebesar 14,4%.
Akibat anjloknya kontribusi sektor-sektor andalan pajak di atas, angka tax buoyancy 2019 turut terkoreksi menjadi di bawah 1 dan kembali lagi seperti pola di 2013-2017. Padahal, di 2018 angka tax buoyancy sempat naik di atas 1.
Disamping faktor ekonomi, faktor politik juga memengaruhi kebijakan pajak untuk tidak agresif. Pemilu April 2019 secara tidak langsung agak mengerem improvisasi pemerintah dalam pemungutan pajak. Upaya untuk menghindari kegaduhan dan menjamin kondusivitas situasi politik menjadi ‘tema besar’ agenda di triwulan pertama 2019.
Indikasinya, bisa dilihat dari dibatalkannya PMK 210/2018. PMK ini mereduksi keinginan pemerintah untuk mengumpulkan informasi tentang profil wajib pajak yang beraktivitas melalui e-commerce.
Lantas, Bagaimana Prospek Penerimaan Pajak 2020?
BERBICARA mengenai prospek penerimaan pajak 2020 tidak lepas dari isi pidato Presiden Joko Widodo pada saat pelantikan di MPR tanggal 20 Oktober 2019. Secara tersirat, wajah fiskal Indonesia selama 5 tahun mendatang akan terdiri dari dua elemen, yaitu mendorong daya saing (menarik investasi dan penyediaan lapangan kerja) dan memobilisasi penerimaan (membangun infrastruktur dan sumber daya manusia unggul).
Pertanyaannya, bagaimana mendesain strategi pajak 2020 untuk menyeimbangkan kedua tujuan tersebut?
Desain strategi pajak tentu tidak lepas dari APBN 2020 yang bertema ‘APBN untuk Akselerasi Daya Saing melalui Inovasi dan Penguatan Sumber Daya Manusia’. Dalam APBN 2020 tersebut, telah dirumuskan strategi pajak sebagai berikut: (i) meningkatkan kepatuhan wajib pajak, (ii) PPh dan PPN menjadi instrumen yang mendukung iklim investasi dan daya saing, (iii) perbaikan kualitas pelayanan, penyuluhan, dan pengawasan melalui penguatan sistem IT dan administrasi perpajakan, serta (iv) implementasi keterbukaan informasi perpajakan (AEoI).
Sebelum masuk kepada outlook pajak 2020, kita meneropong terlebih dahulu apa yang menjadi tantangan jangka menengah. Pemetaan ini mempertimbangkan bahwa 2020 merupakan bagian tidak terpisahkan dari rezim fiskal periode kedua Presiden Jokowi.
Secara umum, tantangan selama 5 tahun mendatang adalah upaya meningkatkan rasio pajak di tengah situasi ekonomi yang kurang menguntungkan. Peningkatan rasio bersifat urgen mengingat tingginya kebutuhan dana pembangunan baik dalam rangka target RPJMN 2020-2024 maupun menjamin terpenuhinya target Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
Menurut Gaspar et.al. (2019) komitmen di atas setidaknya membutuhkan tingkat rasio pajak sebesar 15%. Target rasio pajak tersebut jelas tidak mudah terutama jika kondisi perekonomian Indonesia belum mampu bertumbuh lebih dari 6% pertahun.
Terkait dengan rasio pajak, Juli 2019, OECD merilis laporan Revenue Statistic in Asia Pacific Economies 2019 terkait data rasio pajak di Asia Pasifik. Indonesia berada di urutan terendah, hanya 11,5% (data per 2017). Terlepas dari definisi rasio pajak, Indonesia berada di bawah negara seperti Tokelau (14,2%) atau Vanuatu (17,1%).
Dalam laporan tersebut ada sejumlah temuan krusial mengapa rasio pajak Indonesia sangat rendah. Yaitu, (i) rendahnya kontribusi sektor pertanian terhadap pajak, (ii) sektor informal yang sangat besar dan belum dapat dipajaki, (iii) penghindaran pajak, dan (iv) basis pajak yang rendah.
Akan tetapi, tidak semua temuan di atas dapat digenjot rasio pajaknya dengan alasan tertentu. Misalnya, untuk poin satu. Sebagai gambaran, pada 2018 sektor pertanian berkontribusi sebesar 12,81% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Situasi ini menempatkan pertanian sebagai sektor ketiga terbesar dalam PDB, setelah manufaktur (19,86%) dan perdagangan (13,02%).
Namun, pajak yang dapat dipungut dari sektor pertanian sangat rendah, hanya 1,7% atau Rp20,6 triliun. Hal ini dikarenakan pemerintah menerapkan kebijakan bebas PPN untuk 13 produk pertanian.
Terhadap pengecualian PPN ini, pemerintah hampir dapat ditebak akan tetap mempertahankan kebijakan bebas PPN untuk 13 produk pertanian tersebut. Pasalnya, penerapan PPN pada produk-produk tersebut akan memukul daya beli sekaligus meningkatkan inflasi secara signifikan.
Oleh karena itu, opsi yang bisa dilakukan untuk menggenjot rasio pajak terbatas hanya untuk poin dua, tiga dan empat, yaitu meningkatkan pemajakan sektor informal, memerangi penghindaran pajak, serta memperluas basis pemajakan.
Kembali terhadap strategi 2020 setelah melihat sepintas tantangan pajak dalam jangka menengah, apa yang dapat dilakukan untuk mengejar target pajak sebesar Rp1.642 di 2020?
Seperti diuraikan di atas, kebijakan pajak Presiden Jokowi yaitu mendorong daya saing (menarik investasi dan penyediaan lapangan kerja) dan memobilisasi penerimaan (membangun infrastruktur dan sumber daya manusia unggul). Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, dapat melalui strategi baru yang disebut dengan ‘Relaksasi dan Partisipasi’ atau disebut dengan relaksasi bersyarat dan timbal balik (Darussalam, Kompas 30/11/2019).
Strategi ‘Relaksasi dan Partisipasi’ terdiri atas, (i) relaksasi dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak berpartisipasi dengan menggerakan perekonomian, (ii) relaksasi dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak memberikan data dan informasi, (iii) relaksasi dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak untuk patuh, serta (iv) relaksasi dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak berkontribusi dalam pembayaran pajak.
Strategi ‘Relaksasi-Partisipasi’ sebaiknya dilakukan dalam konteks pembaruan sistem pajak yang mencerminkan lima aspek. Yaitu, (i) paradigma kepatuhan kooperatif, (ii) kebijakan pajak yang stabil dan partisipatif, (iii) transparansi, (iv) simplifikasi sistem pajak, (v) serta dukungan teknologi informasi yang mumpuni.
Sehubungan dengan aspek transparansi, transparansi pada dasarnya membuka kesempatan baik bagi otoritas pajak maupun wajib pajak untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan satu sama lain (Heald, 2006),
Sedangkan terkait aspek simplifikasi pajak, bertujuan untuk menciptakan prinsip-prinsip ideal dalam sistem pajak, antara lain prediktabilitas, transparan, adil, efektif secara administratif, mudah untuk dipahami, dan mengurangi potensi atau ruang manipulasi untuk perencanaan pajak yang agresif (Binh Tran- Nam, 2016).
Adapun kehadiran aspek teknologi informasi nantinya akan menjamin proses bisnis otoritas pajak, penyebaran informasi dan segala upaya memfasilitasi kepatuhan wajib pajak, sistem pengelolaan kepatuhan berbasis risiko, serta penyediaan informasi di internal otoritas pajak (Jimenez, Miac, dan Kamenov, 2013).
Selain itu, terus melakukan secara berkesinambungan melakukan strategi terkait dengan (i) perluasan basis pajak yang mencakup perluasan subjek pajak dan objek pajak dan (ii) meningkatkan tax buoyancy dan mengurangi tax gap. Dalam konteks ini, strategi penambahan KPP Madya dan fokus kepada ekstensifikasi bagi KPP Pratama merupakan langkah yang patut diapresiasi.
Dari uraian di atas, dengan mempertimbangkan kendala, potensi, strategi, dan kondisi ekonomi di 2020 yang belum kondusif, target pajak 2020 memang cukup berat untuk diraih. DDTC Fiscal Research memprediksi bahwa penerimaan pajak di 2020 akan berkisar antara Rp1.431 triliun hingga Rp1.462 triliun.
Atau dengan kata lain, realisasi penerimaan hanya berkisar antara 87,1% hingga 89,0% dari target sebesar Rp1.642 triliun. Penerimaan pajak diperkirakan hanya akan tumbuh antara 8,4% hingga 10,9% dari realisasi 2019 (Danu Febrantara, Dea Yustisia, dan Denny Vissaro, 2019).
Akan tetapi, target pajak 2020 masih tetap memungkinkan untuk dijangkau dengan syarat didukung oleh semua pemangku kepentingan pajak, seperti instansi pemerintahan, wakil rakyat di DPR, dunia bisnis, dunia pendidikan, asosiasi konsultan pajak, para wajib pajak, dan sebagainya. Dengan demikian, masih terbuka ruang untuk mengejar target penerimaan pajak di 2020. Kuncinya hanya satu, yaitu menempatkan pajak sebagai agenda utama menuju Indonesia maju. Semoga.
Keterangan:
Artikel ini disarikan dari pemikiran DDTC Fiscal Research yang terdapat dalam Majalah Inside Tax Edisi Edisi Khusus ‘Tantangan dan Outlook Pajak 2020’, No. 41 Desember 2019. Artikel ini disampaikan juga dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) tentang prospek penerimaan sektor perpajakan 2020 pascatidak tercapainya target 2019 di Badan Anggaran DPR, Senin (10/2/2020).
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.