Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Bisnis penyewaan kamar atau kos-kosan (indekos) cukup menggiuran untuk dimiliki, terutama di kota-kota besar dengan populasi warga pendatang yang cukup banyak. Namun, pemilik bisnis kos-kosan perlu memahami aspek pajak di dalamnya. Seperti apa?
Secara prinsip, penghasilan dari usaha rumah kos termasuk ke dalam jasa pelayanan penginapan beserta akomodasinya sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) PP 34/2017. Secara khusus, beleid itu menjelaskan bahwa jasa pelayanan penginapan mencakup kamar, asrama untuk mahasiswa/pelajar, asrama atau pondok pekerja, dan rumah kos.
"Karenanya, penghasilan dari usaha rumah kos dikecualikan dari pengenaan PPh final Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan," tulis Kring Pajak menjawab pertanyaan netizen, Senin (12/8/2024).
Selain itu, sesuai dengan UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan anatra Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), usaha kos-kosan tidak lagi termasuk dalam pengertian usaha hotel. Pajak hotel akan digantikan dengan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa perhotelan. Terhitung sejak tanggal tersebut, pemkab/pemkot tidak berwenang untuk memungut PBJT atas rumah kos.
Namun, setiap daerah masih punya kewenangan untuk menerbitkan peraturan daerah terkait dengan pajak daerah. DKI Jakarta misalnya, melalui Perda 1/2024 masih mengatur tentang tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel tanpa mengatur lagi batas maksimal atau minimal jumlah kamar rumah kos untuk dapat ditetapkan sebagai objek pajak daerah.
Melalui perda tersebut, rumah kos atau kos-kosan juga dapat dianggap sebagai tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel karena menyediakan akomodasi sementara dengan fasilitas yang serupa dengan hotel. Rumah kos kemudian dapat dimasukkan ke dalam kategori tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel, meskipun dengan skala dan layanan yang berbeda. Seperti diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU HKPD dan Pasal 47 ayat (1) Perda No 1 Tahun 2024, penyediaan tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel termasuk salah satu jenis jasa perhotelan yang menjadi objek PBJT Jasa Perhotelan.
Jadi berdasarkan perda tersebut maka rumah kos tetap dikenakan pajak daerah berapapun jumlah kamarnya. Subjek pajaknya adalah konsumen barang dan jasa tertentu dalam hal ini si penyewa kos.
Kemudian, pemajakan terhadap penghasilan yang diterima si pemilik kos akan berlaku ketentuan Pemerintah Pemerintah (PP) 55/2022. Beleid tersebut mengatur pengenaan pajak penghasilan (PPh) bersifat final dengan tarif 0,5% terhadap peredaran bruto tertentu, yakni tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak.
Tak cuma itu, berlaku pula ketentuan soal omzet tidak kena pajak hingga Rp500 juta dalam setahun pajak. Artinya, jika omzet usaha dari kos-kosan tidak melebihi Rp500 juta maka tidak dikenakan pajak.
"Apabila wajib pajak yang menerima penghasilan [kos-kosan] memenuhi syarat untuk dikenakan PPh final PP 55/2022 maka atas penghasilan itu bisa dikenakan PPh final 0,5% atas usaha jasa pelayanan penginapan," tulis Kring Pajak.
Selanjutnya, apabila wajib pajak penerima penghasilan sewa kos menggunakan tarif umum PPh maka penghasilan dari sewa kos yang diterimanya dikenai tarif umum PPh. Pajak terutang perlu dihitung dan dilaporkan melalui SPT Tahunan. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.