KAMUS PPN

Prinsip Netralitas Harus Melekat dalam PPN, Apa Maksudnya?

Redaksi DDTCNews | Jumat, 03 April 2020 | 09:47 WIB
Prinsip Netralitas Harus Melekat dalam PPN, Apa Maksudnya?

PAJAK Pertambahan Nilai (PPN) harus bersifat netral, dalam arti bahwa dalam pemungutannya tidak boleh mempengaruhi keputusan ekonomi dari para pelaku bisnis maupun terhadap konsumen, demikian disampaikan oleh Thomas Ecker dalam A VAT/GST Model Convention.

Menurut OECD (2017), netralitas merupakan prinsip dasar yang melekat dalam PPN, khususnya untuk PPN dalam perdagangan internasional. Adapun menurut Hemming dan Kay dalam Tait (1988), prinsip netralitas menjadi prinsip utama dalam pemungutan PPN.

Netralitas menjadi salah satu persyaratan pokok dalam mendesain kebijakan PPN. Dengan adanya netralitas, diharapkan distorsi terhadap pilihan ekonomi dari produsen dan konsumen dapat diminimalisir. Ungkapan ini sebagaimana dinyatakan dalam OECD (1998).

Baca Juga:
Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

“under the VAT, unintended distortions of producer choices, with respect to the form and the methods by which business is conducted, and of consumer choices for one good over another should be minimized.”

Terkait agar jangan terjadi distorsi juga diungkapkan oleh Nightingale (2002) dengan pendapatnya sebagai berikut:

“a tax is said to be neutral if it does not distort economic choices; this distortion of economic choice is known as the excess burden of taxation, causing substitution effects resulting in economic inefficiency.”

Baca Juga:
Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Untuk dapat bersifat netral terhadap keputusan bisnis, PPN tidak boleh menjadi biaya produksi. Oleh karenanya, netralitas PPN dapat tercipta melalui sistem pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran (Sijbren Cnossen, 2017). Dari sisi konsumen, netralitas PPN tercapai bila seluruh barang dan jasa dikenakan pajak yang setara, baik dalam tarif maupun Dasar Pengenaan Pajak (DPP)-nya.

Ben Terra mengemukakan bahwa terdapat dua dimensi terkait prinsip netralitas, yaitu netralitas internal dan netralitas eksternal. Netralitas internal berkaitan dengan aspek nasional dalam pengenaan PPN. Sementara itu, netralitas eksternal berkaitan dengan aspek internasional dalam pengenaan PPN.

Terkait cakupannya, PPN merupakan pajak atas konsumsi dengan basis pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen individual dalam suatu yurisdiksi atau negara atau daerah pabean. Untuk dapat bersifat netral, konsumsi atau pengeluaran yang dilakukan di luar yurisdiksi seharusnya tidak terutang PPN atau dikenai PPN dengan tarif 0%.

Atau dengan kata lain, dengan adanya netralitas dalam PPN menyebabkan ekspor dikecualikan dari PPN. Sementara itu, dalam hal impor, netralitas ditunjukkan dengan adanya kesamaan pengenaan PPN atas impor dengan pengenaan PPN atas penyerahan di dalam negeri (Danuse Nerudova dan Jan Siroky, 2009).

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

03 April 2020 | 10:21 WIB

PNN yang merupakan pemungutan pajak bersifat objektif dan netral dengan tarif di Indonesia sebesar 10%. Ingin bertanya mengenai dasar atau latar belakang apa saja yang membuat tarif ppn ditetapkan sebesar 10% (apakah dari dulu besarnya 10% atau pernah mengalami perubahan)? dan juga mengapa untuk ekspor tidak dikenai ppn, apakah tarif ppn ekspor 0% itu hanya berlaku di Indonesia atau di luar negeri pun sama? Kenapa harus 0% kenapa tidak 5% atau bbrp persen yg masih dibawah 10%? Karena banyak case di Indonesia produksi dilakukan di Indonesia terus dieskpor lalu diimpor lagi (misalnya beras/bawang) dan itu membuat harganya tadi jadi lebih mahal. Jikalau ekspor tidak 0% kemungkinan bisa membuat barang lokal tadi lebih murah (karena bbrp ada yg langsun dijual di dalam negeri/blm keekspor) #MariBicara

03 April 2020 | 10:21 WIB

PNN yang m

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 17:30 WIB KANWIL DJP JAKARTA SELATAN I

Tak Setor PPN Rp679 Juta, Direktur Perusahaan Dijemput Paksa

Jumat, 27 Desember 2024 | 17:00 WIB KILAS BALIK 2024

April 2024: WP Terpilih Ikut Uji Coba Coretax, Bonus Pegawai Kena TER

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN MONETER

2025, BI Beli SBN di Pasar Sekunder dan Debt Switch dengan Pemerintah

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:30 WIB KABUPATEN KUDUS

Ditopang Pajak Penerangan Jalan dan PBB-P2, Pajak Daerah Tembus Target

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Harga Tiket Turun, Jumlah Penumpang Pesawat Naik 2,6 Persen

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pembukuan dalam bidang Kepabeanan?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%