PAJAK Pertambahan Nilai (PPN) harus bersifat netral, dalam arti bahwa dalam pemungutannya tidak boleh mempengaruhi keputusan ekonomi dari para pelaku bisnis maupun terhadap konsumen, demikian disampaikan oleh Thomas Ecker dalam A VAT/GST Model Convention.
Menurut OECD (2017), netralitas merupakan prinsip dasar yang melekat dalam PPN, khususnya untuk PPN dalam perdagangan internasional. Adapun menurut Hemming dan Kay dalam Tait (1988), prinsip netralitas menjadi prinsip utama dalam pemungutan PPN.
Netralitas menjadi salah satu persyaratan pokok dalam mendesain kebijakan PPN. Dengan adanya netralitas, diharapkan distorsi terhadap pilihan ekonomi dari produsen dan konsumen dapat diminimalisir. Ungkapan ini sebagaimana dinyatakan dalam OECD (1998).
“under the VAT, unintended distortions of producer choices, with respect to the form and the methods by which business is conducted, and of consumer choices for one good over another should be minimized.”
Terkait agar jangan terjadi distorsi juga diungkapkan oleh Nightingale (2002) dengan pendapatnya sebagai berikut:
“a tax is said to be neutral if it does not distort economic choices; this distortion of economic choice is known as the excess burden of taxation, causing substitution effects resulting in economic inefficiency.”
Untuk dapat bersifat netral terhadap keputusan bisnis, PPN tidak boleh menjadi biaya produksi. Oleh karenanya, netralitas PPN dapat tercipta melalui sistem pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran (Sijbren Cnossen, 2017). Dari sisi konsumen, netralitas PPN tercapai bila seluruh barang dan jasa dikenakan pajak yang setara, baik dalam tarif maupun Dasar Pengenaan Pajak (DPP)-nya.
Ben Terra mengemukakan bahwa terdapat dua dimensi terkait prinsip netralitas, yaitu netralitas internal dan netralitas eksternal. Netralitas internal berkaitan dengan aspek nasional dalam pengenaan PPN. Sementara itu, netralitas eksternal berkaitan dengan aspek internasional dalam pengenaan PPN.
Terkait cakupannya, PPN merupakan pajak atas konsumsi dengan basis pengeluaran yang dilakukan oleh konsumen individual dalam suatu yurisdiksi atau negara atau daerah pabean. Untuk dapat bersifat netral, konsumsi atau pengeluaran yang dilakukan di luar yurisdiksi seharusnya tidak terutang PPN atau dikenai PPN dengan tarif 0%.
Atau dengan kata lain, dengan adanya netralitas dalam PPN menyebabkan ekspor dikecualikan dari PPN. Sementara itu, dalam hal impor, netralitas ditunjukkan dengan adanya kesamaan pengenaan PPN atas impor dengan pengenaan PPN atas penyerahan di dalam negeri (Danuse Nerudova dan Jan Siroky, 2009).
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
PNN yang merupakan pemungutan pajak bersifat objektif dan netral dengan tarif di Indonesia sebesar 10%. Ingin bertanya mengenai dasar atau latar belakang apa saja yang membuat tarif ppn ditetapkan sebesar 10% (apakah dari dulu besarnya 10% atau pernah mengalami perubahan)? dan juga mengapa untuk ekspor tidak dikenai ppn, apakah tarif ppn ekspor 0% itu hanya berlaku di Indonesia atau di luar negeri pun sama? Kenapa harus 0% kenapa tidak 5% atau bbrp persen yg masih dibawah 10%? Karena banyak case di Indonesia produksi dilakukan di Indonesia terus dieskpor lalu diimpor lagi (misalnya beras/bawang) dan itu membuat harganya tadi jadi lebih mahal. Jikalau ekspor tidak 0% kemungkinan bisa membuat barang lokal tadi lebih murah (karena bbrp ada yg langsun dijual di dalam negeri/blm keekspor) #MariBicara
PNN yang m