Ilustrasi. (DDTC)
EDINBURGH, DDTCNews—Perusahaan yang berbasis di negara-negara tax haven dilarang mengakses dana bailout yang disiapkan pemerintah Skotlandia untuk pelaku usaha terdampak pandemi virus Corona (Covid-19).
Kebijakan pemerintah yang telah disetujui DPR pada 20 Mei tersebut membuat perusahaan yang terdaftar dalam negara tax haven, termasuk anak perusahaan dan perusahaan lainnya di luar negeri tidak dapat mengakses pemerintah.
Sikap Skotlandia tersebut menyusul Prancis, Belgia, Denmark, Polandia, dan Argentina yang telah lebih dahulu mengecualikan perusahaan di tax haven untuk mendapatkan paket stimulus ekonomi akibat Covid-19.
Untuk diketahui, usulan pelarangan perusahaan mendapat bantuan pemerintah diperkenalkan oleh Partai Hijau Skotlandia. Usulan tersebut sempat ditolak dari partai lainnya, tetapi dalam perjalanannya usulan tersebut disepakati.
Pimpinan Partai Hijau Skotlandia Patrick Harvie mengatakan perusahaan yang menghindari tanggung jawabnya untuk berkontribusi bagi masyarakat pajak tidak layak mendapat bantuan dari pemerintah ketika terjadi persoalan.
"Saya senang para menteri akhirnya memahami persoalan keadilan ini. Langkah ini akan menandai awal dari pendekatan baru untuk menangani perusahaan yang tanpa malu menghindari membayar pajak,” katanya, Jumat (22/5/2020).
Saat ini, pemerintah telah menyediakan dana hibah senilai £120 juta (Rp2,1 triliun) untuk UMKM yang terdampak pandemi, serta dana bailout £30 juta (Rp542,2 miliar) untuk bisnis kreatif, pariwisata dan perhotelan.
Para pegiat pajak menyambut langkah parlemen Skotlandia, tetapi mengingatkan bahwa itu tidak akan mencegah beberapa perusahaan besar penghindar pajak tetap mengakses dana bailout.
Daftar negara tax haven yang dianut Skotlandia mengikuti daftar yang dirilis Uni Eropa. Padahal, beberapa negara di Uni Eropa juga berperan sebagai tax haven, seperti Swiss dan Belanda.
Kepala eksekutif Tax Justice Network Alex Cobham mengatakan blacklist tax haven oleh Uni Eropa belum diperbarui atau belum update, sehingga tidak memasukkan beberapa negara anggota lainnya dalam blacklist.
Menurut penelitian Tax Justice Network, Luksemburg sebagai negara anggota Uni Eropa bertanggung jawab atas risiko penghindaran pajak perusahaan 11 kali lebih besar ketimbang Seychelles yang masuk blacklist.
Tax Justice Network memperkirakan potensi penerimaan pajak yang hilang karena tax haven di Luksemburg mencapai lebih dari US$12 miliar atau Rp177,5 triliun per tahun.
“Pandemi telah menyebabkan biaya besar dari sistem pajak internasional, dan itu seharusnya memprioritaskan kebutuhan orang banyak dibanding kepentingan perusahaan,” ujarnya dilansir dari Independent.co.uk. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.