LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Perlunya Peningkatan Literasi Pajak dalam Menghadapi Bonus Demografi

Redaksi DDTCNews | Rabu, 01 November 2023 | 10:03 WIB
Perlunya Peningkatan Literasi Pajak dalam Menghadapi Bonus Demografi

Latifah Setyaningsih,  
Kota Bandung, Jawa Barat

INDONESIA tengah memasuki periode bonus demografi dengan 60% lebih dari populasinya berusia produktif. Sejalan dengan kondisi itu, pemerintah punya tantangan dalam memanfaatkan kebijakan fiskal, terutama melalui instrumen perpajakan, untuk mencapai ekonomi yang inklusif.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kepatuhan wajib pajak belum bisa tembus 90%. Rasio pajak RI juga masih di kisaran 10%, jauh di bawah rata-rata rasio pajak negara OECD yang mencapai 34,1% pada 2021. Padahal rasio pajak menjadi parameter penting perekonomian negara. Di Indonesia, pajak merupakan komponen terbesar dalam postur pendapatan APBN. Karenanya, kepatuhan wajib pajak berperan besar dalam memengaruhi besarnya rasio pajak.

Dalam memungut pajak, Indonesia menganut sistem self assesment sejak 1983. Melalui mekanisme ini, wajib pajak dituntut untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri.

Menurut Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2021, ada 61,5 juta wajib pajak orang pribadi yang terdaftar memiliki NPWP. Menariknya, jumlah tersebut lebih rendah daripada jumlah UMKM pada 2021, yaitu 64,2 juta pelaku. Jumlah wajib pajak ber-NPWP juga jauh lebih rendah daripada jumlah penduduk usia produktif sebanyak 190 juta jiwa pada tahun yang sama.

Masih rendahnya kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri sebagai wajib pajak ber-NPWP adalah salah satu faktor yang menyebabkan potensi perpajakan hilang sehingga rasio pajak menjadi rendah. Karenanya, pemahaman wajib pajak terkait dengan isu perpajakan menjadi sangat penting agar mereka bisa melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai ketentuan yang berlaku.

Menimbang tingkat kepatuhan dan rasio pajak yang masih rendah, literasi pajak bagi penduduk usia produktif nampaknya perlu ditingkatkan. Education Development Center (EDC) menyatakan literasi tidak sekadar kemampuan baca tulis. Lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan keterampilan yang dimiliki untuk menjalankan hidupnya.

Melihat definisi tersebut, literasi perpajakan berperan penting dalam meningkatkan kemampuan dan pengetahuan seseorang dalam bidang perpajakan. Schisler (1995) menyebutkan tingkat pendidikan wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan. Senada dengan Schisler, Kassipillai (2000) dalam Palil UGM edisi 2005 menyatakan bahwa pengetahuan tentang pajak merupakan hal yang sangat penting dan memengaruhi sikap wajib pajak terhadap pemenuhan self assesment system.

Penulis menekankan peningkatan literasi melalui pendidikan formal perlu digalakkan pemerintah, salah satunya dengan memasukkan materi perpajakan ke dalam kurikulum sekolah. Materi perpajakan bisa disisipkan dalam mata pelajaran kewirausahaan di tingkat SMA/SMK. Dengan begitu, siswa bisa lebih dini mengenal sistem perpajakan sebelum akhirnya terjun ke dunia usaha.

Materi ajar perpajakan di sekolah juga tidak boleh hanya sekadar tata cara perhitungan pajak saja, tetapi juga latar belakang dan tujuan dikenakannya pajak. Dengan mengetahui sistem perpajakan dan pelaksanaannya di Indonesia, siswa diharapkan dapat lebih patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya ketika sudah masuk dunia usaha atau profesional pekerjaan.

Selain itu, siswa menjadi terstimulasi untuk lebih kritis dan ikut andil dalam perencanaan maupun evaluasi kebijakan pemerintah terkait dengan perpajakan. Dengan memahami pajak, siswa juga menyadari bahwa kontribusi pajak dari mereka harus digunakan secara benar dan adil tanpa adanya penyalahgunaan.

Penulis juga mendorong adanya penyampaian edukasi pajak secara masif oleh Ditjen Pajak (DJP) dengan menggandeng pemerintah daerah, khususnya Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Tujuannya, siswa tidak semata-mata memperoleh ilmu perpajakan di bangku sekolah saja, tetapi juga dari otoritas yang berwenang melakukan pemungutan pajak.

Pemerintah, khususnya DJP, perlu mendengar dan melihat langsung sejauh mana masyarakat memahami isu pajak. Pemerintah perlu menyusun skema penyuluhan dan edukasi yang ampuh menarik minat masyarakat agar memahami pajak secara lebih mendalam.

Sejalan dengan momentum pemilihan umum (pemilu) pada tahun depan, penulis mendorong pemerintah serta seluruh kandidat pemimpin negara untuk menyiapkan mekanisme edukasi pajak yang terstruktur dan komprehensif. Pendidikan pajak semestinya tidak hanya diberikan kepada wajib pajak yang sudah memiliki usaha saja, tetapi juga menyasar kelompok muda. Ingat, Indonesia perlu memanfaatkan sebesar-besarnya bonus demografi yang tengah berlangsung.

DJP juga perlu membangun sistem perpajakan yang lebih mudah dan efektif agar masyarakat tidak merasa kesulitan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Harapannya, makin baik literasi perpajakan di Indonesia, makin tinggi pula rasio pajak dan penerimaan dari pajak untuk pembangunan yang optimal.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN