Ilustrasi. Petugas mengecek mulut sapi saat pemeriksaan kesehatan hewan kurban di Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (15/6/2024). ANTARA FOTO/Andry Denisah/YU/aww.
JAKARTA, DDTCNews – Kurban merupakan salah satu bentuk ibadah yang dilaksanakan saat Iduladha. Pada momentum ini, umat Islam berbondong-bondong menyisihkan sebagian hartanya untuk membeli hewan kurban, seperti unta, sapi, kambing, dan domba.
Untuk itu, menjadi hal lumrah jika menjelang Iduladha, peternak atau pedagang hewan kurban dibanjiri permintaan. Bahkan, terhitung sejak H-1 bulan Iduladha, permintaan akan hewan ternak seperti sapi, kambing, dan domba umumnya melonjak tajam.
Lantas, apakah pengeluaran sehubungan dengan pembelian hewan kurban bisa dijadikan pengurang penghasilan bruto dalam perhitungan pajak? Lalu, apakah ada aspek PPN yang terkait dengan pembelian hewan kurban?
Meski diberikan secara cuma-cuma, pengeluaran terkait pembelian hewan kurban tidak dapat menjadi pengurang dalam menghitung penghasilan kena pajak. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh.
Pada intinya, pasal tersebut menyatakan harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan, dan warisan tidak boleh dikurangkan untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
Namun, terdapat beberapa bentuk sumbangan yang dapat menjadi pengurang, yaitu sumbangan untuk bencana nasional, sumbangan untuk penelitian dan pengembangan, biaya pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan, dan sumbangan untuk pembinaan olah raga.
Selain itu, zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah juga dapat dijadikan sebagai pengurang. Begitu pula dengan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.
Namun, pengecualian tersebut tidak berlaku untuk hewan kurban. Hal ini berarti pengeluaran untuk kurban tak termasuk dalam hibah, bantuan, atau sumbangan yang dapat dijadikan sebagai pengurang dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Ketentuan PPN hewan kurban tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.267/PMK.010/2015 (PMK 267/2015). Beleid yang diundangkan pada 31 Desember 2015 ini merupakan aturan turunan dari dari Peraturan Pemerintah No. 81/2015.
Beleid itu dirilis untuk memberikan perincian tentang kriteria ternak, bahan pakan untuk pembuatan pakan ternak dan pakan ikan yang atas impor dan/atau penyerahannya dibebaskan dari PPN. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) PMK 267/2015, ternak yang dibebaskan dari PPN hanya sapi indukan.
Sapi indukan adalah sapi betina yang memiliki organ reproduksi normal, sehat, dan dapat digunakan sebagai induk untuk pengembangbiakan. Dengan demikian, aturan ini membuat seluruh hewan ternak selain sapi indukan dikenakan PPN 10%, baik atas impor maupun penyerahan dalam negeri.
Hal ini sempat menimbulkan polemik karena harga ternak dan produk turunannya dapat meningkat. Untuk itu, kurang dari 1 bulan sejak PMK 267/2015 diundangkan, pemerintah memperluas jenis ternak yang dibebaskan dari PPN dengan merilis PMK 5/2016.
Berdasarkan Pasal 2 PMK 5/2016 ternak yang dibebaskan dari PPN di antaranya adalah sapi, kerbau, kambing/domba, babi, dan jenis ternak lainnya. Selain itu, unggas seperti ayam, itik, puyuh, dan sejenisnya juga termasuk dalam kategori hewan ternak yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
Sesuai dengan penjabaran yang diberikan dapat diketahui penyerahan hewan ternak, termasuk sapi, kambing, domba, dan kerbau, dibebaskan dari pengenaan PPN. Hal ini berarti pembelian hewan kurban yang juga merupakan hewan ternak, tidak terutang PPN.
Pembebasan ini diberikan apabila hewan ternak memenuhi 4 syarat. Pertama, sehat. Kedua, memiliki organ dan kemampuan reproduksi yang baik. Ketiga, berumur antara 2 tahun sampai dengan 4 tahun.
Keempat, bebas dari segala cacat genetik dan cacat fisik seperti cacat mata, kaki dan kuku abnormal, serta tidak terdapat kelainan tulang punggung atau cacat tubuh lainnya. Adapun pemenuhan persyaratan tersebut harus dibuktikan dengan sertifikat.
Untuk hewan ternak yang berasal dari impor maka pemenuhan syarat dibuktikan dengan 2 sertifikat. Pertama, sertifikat kesehatan hewan (health certificate) yang diterbitkan oleh otoritas veteriner negara asal sebagai pemenuhan persyaratan kesehatan hewan (health requirement).
Kedua, sertifikat asal ternak (certificate of origin) yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di negara asal.
Untuk ternak yang berasal dari dalam negeri pemenuhan syaratnya dibuktikan dengan sertifikat veteriner dari otoritas veteriner kabupaten/kota atau otoritas veteriner provinsi asal ternak serta juga harus memenuhi persyaratan kesehatan hewan yang ditetapkan oleh wilayah tujuan. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.