OPINI PAJAK

Pajak Netflix Bukan PPN?

Rabu, 15 Juli 2020 | 09:30 WIB
Pajak Netflix Bukan PPN?

Suhut Tumpal Sinaga, dosen PKN STAN

MULAI 1 Agustus 2020, pembelian barang tidak berwujud dan jasa dari luar negeri yang menggunakan transaksi Perdagangan Melalui Sarana Elektronik (PMSE) dipungut pajak pertambahan nilai (PPN). Ketentuan ini diatur Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 (PMK 48/2020).

Alasan utama pemerintah mengenakan pajak ini adalah untuk menciptakan kesetaraan perlakuan (level playing field) bagi pelaku usaha digital di dalam negeri dengan di luar negeri, serta antara usaha konvensional dan usaha digital. Selain itu, juga untuk tujuan penerimaan negara.

PPN transaksi PMSE luar negeri ini sejalan dengan tren dunia. Singapura dan Malaysia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mengenakan pajak sejenis. Namun, Amerika Serikat (AS) terutama, keberatan. Presiden Trump menuding pajak ini diskriminatif terhadap perusahaan AS.

Menanggapi hal ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak menunjukkan kekhawatiran. Ia yakin PMK 48/2020 tidak diskriminatif karena hanya memungut PPN yang merupakan pajak atas konsumsi, bukan pajak atas penghasilan.

Selain PPN, dasar PMK 48/2020 yakni Perpu No. 1 Tahun 2020 juga mengamanatkan pajak penghasilan (PPh) dan pajak omzet (pajak transaksi elektronik/PTE). Namun, Indonesia harus menunggu kesepakatan multilateral dahulu. Kalau tidak, kita bisa mendapat ancaman aksi retaliasi.

Merumuskan formula pengenaan PPh atau PTE atas transaksi PMSE lintas negara memang jauh lebih sulit. Hingga hari ini, negara-negara OECD dan G20 belum juga menemukan kesepakatan formula dan mekanisme pengenaan pajak yang tepat dan bisa diterima semua pihak.

Hal ini berbeda dengan pengenaan PPN yang tidak perlu menunggu konsensus internasional. Dalam praktik kelaziman pajak internasional, karena dimaksudkan menjadi beban konsumen, pajak konsumsi memang merupakan otoritas negara sumber penghasilan.

Sedangkan PPh, karena dimaksudkan untuk menjadi beban pengusaha, merupakan otoritas negara domisili. Hal inilah yang membuat pengenaan pajak konsumsi biasanya tidak mendapat penolakan, sedangkan pengenaan PPh lintas negara akan mengundang aksi retaliasi.

Dengan demikian, masuk akal apabila Indonesia tidak khawatir akan menjadi objek investigasi AS. Asalkan pajak yang dikenakan secara substansial benar PPN. Jangan sampai Indonesia percaya diri memungut PPN, tetapi ternyata AS menggolongkan pajak yang dipungut itu sebagai turn over tax.

PPN atau Turnover Tax?
INDONESIA harus memastikan secara substansi PMK 48 sudah benar merupakan pajak atas pertambahan nilai. Jangan hanya namanya saja PPN, tetapi substansinya sudah bercampur dengan PPh, apalagi menjadi pajak atas omzet (turnover tax).

Kalau hanya mengenakan pajak dengan tarif 10% atas penjualan tanpa peduli siapa yang menjadi penanggung akhir beban pajak, PMK 48 ini adalah turnover tax, bukan PPN. Beban akhir pajak PPN harus ditanggung rumah tangga sebagai konsumen akhir, bukan ditanggung pelaku usaha.

Mekanisme yang lazim dipakai untuk memastikannya adalah pengkreditan pajak masukan pada rantai produksi, distribusi, dan konsumsi. Setiap pelaku usaha harus bisa mengkreditkan PPN yang telah dibayar atas perolehan barang/jasa untuk melakukan penyerahan barang/jasa terutang PPN.

Dalam hal transaksi lintas negara, mekanismenya ditambah dengan pengenaan tarif 0%. Kedua mekanisme ini akan memastikan pelaku usaha, termasuk yang melakukan ekspor, tidak akan menanggung beban pajak sama sekali.

Apakah pelaku usaha PMSE yang akan ditunjuk PMK 48/2020 sebagai pemungut PPN di Indonesia dapat mengkreditkan pajak masukan dan dikenakan tarif 0% di negara asalnya? Hingga hari ini belum ada konsensus internasional yang sudah dicapai terkait dengan mekanisme ini.

Indonesia belum memperlakukan ekspor jasa dan barang tidak berwujud melalui PMSE sebagai penyerahan terutang PPN dengan tarif 0%. PMK Nomor 32/PMK.010/2019 (PMK 32/2019) mengakui ekspor jasa kena pajak tetapi hanya atas transaksi business to business, bukan business to consumer yang terkena tarif 10%.

Penunjukan pelaku usaha PMSE luar negeri sebagai pemungut, lalu secara self-assessment wajib menyetor dan melapor PPN yang dipungut, juga menimbulkan potensi beban kepatuhan, termasuk sanksi perpajakan karena terlambat lapor atau setor dan akibat beda penafsiran peraturan.

Meski Pemerintah Indonesia mengaku hanya bermaksud mengenakan pajak konsumsi yang merupakan otoritas negara sumber, tetapi potensi beban kepatuhan ini secara faktual akan menggeser beban pajak dari konsumen kepada pengusaha.

Pasal 2 ayat (3) dan (4) PMK 48/2020 menggolongkan pemungut PPN dalam 2 kelompok. Pertama yang bertransaksi langsung, kedua penyelenggara PMSE sebagai intermediary. Kelompok intermediary pemungut PPN ini akan menemui tantangan tambahan untuk dikategorikan sebagai PPN.

Pasalnya, mereka akan memungut PPN atas penyerahan yang dilakukan pihak lain. Lalu siapa yang berhak mengkreditkan pajak masukan atas penyerahan ini? Apakah si intermediary atau pihak lain? Pasal 5 ayat (1) PMK 48/2020 mengatur 3 kriteria pembeli barang/jasa yang dipungut PPN.

Pertama, bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia, kedua menggunakan fasilitas pembayaran yang disediakan institusi di Indonesia, dan ketiga menggunakan alamat Internet protocol (IP) di Indonesia. Salah satu saja dari 3 kriteria ini terpenuhi sudah dapat dikenai PPN.

Bagaimana jika seorang WNI yang bertempat tinggal di Indonesia, menggunakan fasilitas pembayaran yang disediakan bank Singapura, dan melakukan transaksi pembelian melalui PMSE menggunakan alamat IP di Australia? Siapa yang berhak memungut PPN?

Mengingat Singapura dan Australia juga sudah mengenakan pajak digital yang mirip PMK 48/2020, ada risiko besar terjadinya pemajakan berganda oleh dua atau bahkan tiga yurisdiksi. Tanpa konsensus bersama antarnegara, pengenaan pajak semacam ini secara substansi bukanlah PPN.

Kemudian Pasal 6 ayat (3) PMK 48/2020 mengatur pemungutan PPN dilakukan pada saat pembayaran, bukan pada saat penyerahan. Hal ini semakin menunjukkan PMK 48 lebih menyerupai karakter turnover tax daripada karakter PPN.

Sulit Diterapkan
LANGKAH pemerintah ini tetap layak diapresiasi. Pemajakan atas transaksi e-commerce sangat sulit diterapkan secara efektif dan efisien. Semoga ini jadi awal pengenaan pajak e-commerce secara komprehensif. Bukan hanya atas transaksi dari luar negeri saja, tetapi juga di dalam negeri.

Kita perlu memastikan substansi pajaknya PPN. Untuk itu, perlu mendorong komunitas internasional mencapai kesepakatan dan mekanismenya. Bukan hanya PPh dan PTE, tetapi juga PPN. Misalnya mekanisme pengkreditan pajak masukan dan tarif 0% transaksi lintas negara melalui PMSE.

Kesepakatan ini harus berlaku dua arah, ekspor dan impor. Karena itu, Indonesia perlu memperbaiki PMK 32/2019 supaya terdapat perlakuan yang sama secara timbal balik. Pemerintah juga perlu memastikan efektivitas pemungutan pajak ini.

Apakah PMK 48/2020 dapat mengenakan pajak seperti diharapkan? Bagaimana kalau pelaku usaha PMSE luar negeri menolak jadi pemungut PPN? Atau mereka memungut PPN tetapi tidak menyetor semua? Apa Ditjen Pajak (DJP) punya mekanisme untuk memastikan kebenaran PPN yang disetor?

Pasal 10 PMK 48/2020 menyebut DJP dapat meminta perincian transaksi setiap 1 tahun. Namun, bagaimana meyakini kebenarannya? Beleid pemeriksaan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak bisa diterapkan karena pelaku usaha PMSE luar negeri tidak memenuhi kriteria wajib pajak.

PMK 48/2020 juga sulit mengelak dari kesan cherry picking. Kewenangan DJP memilih pemungut PPN memberi peluang cherry picking. Hal ini terlihat dari periode pertama penunjukan 6 pelaku usaha. Kenapa Facebook dan Microsoft tidak ditunjuk, padahal mereka lebih besar dari Netflix dan Spotify.

Protokol API
DALAM situasi ini, protokol application programming interface (API) bisa jadi solusi. Pemungutan PPN transaksi lintas negara lazim dilakukan dengan mekanisme terbalik. Tanggung jawab pemungutan, penyetoran, dan pelaporan dibebankan ke pembeli.

Penjual sangat sulit diserahi tanggung jawab tersebut mengingat mereka berada di luar yurisdiksi pemajakan. Meski mempunyai kekuatan hukum untuk mengenakan pajak, DJP tidak mempunyai kekuatan memaksa penjual untuk patuh memenuhi tanggung jawab tersebut.

Karena itu, PMK 48/2020 yang menunjuk penjual kembali sebagai pemungut PPN sesungguhnya merupakan langkah mundur. PMK 48/2020 belum menyediakan kekuatan memaksa ini.

Dengan protokol API, penjual tidak perlu diserahi tanggung jawab untuk pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN. Secara otomatis, PPN akan dipungut dan disetor ke kas negara. Sedangkan data transaksi otomatis masuk ke database DJP.

Potensi beban kepatuhan yang akan ditanggung pelaku usaha PMSE luar negeri dapat dihilangkan. Dengan demikian, Indonesia mempunyai argumen yang kuat pajak yang dikenakan secara substansi adalah PPN. Pemungutan pajak pun dapat dilakukan lebih efektif dan efisien.

API dapat melakukan pemajakan dua arah. Misalnya pada Youtube dan Instagram. Transaksi jual beli terjadi dua arah. Terkadang Youtube dan Instagram menjual, di lain waktu mereka membeli. Atas dua arah transaksi ini ada aspek pemajakan, misalnya PPh dari Youtuber dan Selebgram.

API juga dapat menghilangkan kerugian devisa karena PPN di luar negeri belum disetor ke negara, potensi beda penafsiran seperti penyerahan nonobjek PPN, perbedaan perlakuan dengan impor barang berwujud bernilai kecil, dan minimum threshold untuk ditunjuk sebagai pemungut PPN.

Bahkan dengan API, pemungutan PPN dapat dilakukan untuk impor BKP berwujud. Bea dan Cukai tidak perlu lagi memungut pajak dalam rangka impor, tetapi cukup memverifikasi data API. Dengan demikian, tujuan PMK 48/2020 untuk kesetaraan perlakuan dan penerimaan negara dapat dicapai.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

BERITA PILIHAN