TAJUK PAJAK

Pajak Digital Tunggu 2020?

Redaksi DDTCNews | Senin, 25 Februari 2019 | 13:40 WIB
Pajak Digital Tunggu 2020?

Ilustrasi. (Foto: folkbro.com)

INDONESIA memilih posisi menunggu dalam isu pemajakan di bidang ekonomi digital. Menunggu sampai 2020, ketika dijadwalkan ada konsensus global mengenai Aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 1 Addressing the Tax Challenges of Digital Economy.

Pembahasan Aksi BEPS 1 itu dikerjakan Task Force on Digital Economy bentukan Inclusive Framework on BEPS, wadah yang dibuat untuk memonitor dan menilai implementasi BEPS. Task Force itu sendiri akan merilis Final Report pada 2020, yang juga merupakan konsensus global pemajakan digital.

Jadi sampai Final Report itu terbit, hampir bisa dipastikan, Indonesia tidak akan memajaki raksasa ekonomi digital seperti Youtube, Facebook, Instagram, atau Google. Tidak ada pajak yang dipungut dari setiap orang/ badan di Indonesia yang bertransaksi dengan raksasa digital tersebut.

Baca Juga:
DJP Tunjuk Amazon Jepang Hingga Huawei Jadi Pemungut PPN PMSE

Karena posisi menunggu itu pula, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik tidak menyasar raksasa digital tersebut, termasuk raksasa marketplace seperti Amazon, Alibaba, atau E-bay.

PMK 210 hanya mewajibkan marketplace yang berbasis di Indonesia dan pelapaknya untuk patuh pada peraturan perpajakan domestik. Sementara itu, Amazon, Alibaba, atau E-bay, yang berbasis di luar Indonesia, tidak terkena aturan tersebut. Tidak ada pajak baru dalam aturan itu.

Dengan demikian, di Indonesia ini memasang iklan atau mendapat penghasilan dari Youtube, Google, Facebook atau Instagram tidak kena potong pajak. Biarpun raksasa-raksasa digital itu mengedarkan iklannya di Indonesia, dan orang yang mendapatkan penghasilannya juga orang Indonesia.

Baca Juga:
Pemerintah Sudah Kumpulkan Pajak Sektor Digital Hingga Rp29,97 Triliun

Apakah berarti masalah ini menyangkut isu kedaulatan negara? Jelas. Soal pajak pada dasarnya adalah kedaulatan negara. Di sisi lain, transaksi di Youtube, Facebook, Instagram, Google di Indonesia sangat besar. Penghasilan Youtuber yang punya jutaan pengikut sudah pasti besar. Belum lagi iklannya.

Karena ketidakadilan itulah, Inggris kemudian merilis diverted provit tax, India merilis equlization levy, Hungaria menerbitkan advertisement tax, Prancis mulai memajaki distribusi konten audio-visual, dan Australia memperkenalkan Multinational Anti-Avoidance Law.

Amerika Serikat memperkenalkan Base Erosion Anti-Abuse Tax, Israel merilis significant economic presence test untuk mempertimbangkan kehadiran secara digital, dan Slovakia memperluas definisi fixed place of business untuk platform digital.

Baca Juga:
Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Negara-negara ini memilih posisi tidak mau menunggu bukan karena mereka tidak mau bersabar atau mereka memang hendak mengacau perjalanan menuju Final Report 2020. Bukan itu. Mereka tak mau menunggu karena itu berarti membiarkan ketidakadilan terus merajalela di depan mereka.

Kalau memang nanti Final Report 2020 berhasil dirumuskan, apa susahnya mengganti kebijakan pemajakan digital yang sudah mereka susun? Itu kalau berhasil, bagaimana jika kemudian gagal seperti yang sudah dindikasikan melalui Interim Report (2018)?

Yang pasti, dengan memilih posisi menunggu sampai 2020, itu berarti Indonesia selama beberapa tahun ini telah memberikan subsidi pajak kepada Youtube, Facebook, Instagram, atau Google, dan itu tidak tercatat di APBN atau tax expenditure. Itu yang perlu diingat. Jadi, masih mau menunggu?*


Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 12 Desember 2024 | 17:55 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tunjuk Amazon Jepang Hingga Huawei Jadi Pemungut PPN PMSE

Selasa, 19 November 2024 | 18:30 WIB PENERIMAAN PAJAK

Pemerintah Sudah Kumpulkan Pajak Sektor Digital Hingga Rp29,97 Triliun

Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Senin, 07 Oktober 2024 | 17:00 WIB PENERIMAAN PAJAK

Hingga September, Setoran Pajak Sektor Digital Tembus Rp28,91 Triliun

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?