Dina Fitrisia Septiarini
, Surabaya, Jawa TimurBEGITU besarnya dampak pandemi Covid-19 terhadap pertumbuhan ekonomi dan kinerja perusahaan. Pada 2020, semua negara dan perusahaan mendapatkan pukulan keras, yaitu kejadian yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Tentu hal ini harus disikapi bijaksana.
Dalam kondisi ini, perusahaan berpikir keras untuk bertahan dan tumbuh. Di lain pihak, negara sangat bergantung pada kinerja perusahaan. Sebanyak 83,54% penerimaan APBN 2020 berasal dari pajak. Karena itu, stimulus pemerintah menjadi alternatif untuk menjaga penerimaan pajak.
Pemerintah harus menyiapkan strategi untuk meningkatkan dan mengefektifkan penerimaan pajak dari wajib pajak badan dan perseorangan. Salah satu rencana untuk meningkatkan pendapatan pajak adalah memperluas basis, meningkatkan kepatuhan, dan melaksanakan program reformasi.
Menjaga penerimaan pajak dalam kondisi pandemi ini tentu bukan hal mudah. Saat pandemi, semua wajib pajak mengalami penurunan laba. Banyak perusahaan melakukan pengurangan produksi, omzet menurun, sampai merumahkan karyawan dan atau pemutusan hubungan kerja (PHK).
Apabila wajib pajak perseorangan mengalami penurunan pendapatan dan penurunan daya beli, maka akan menurun pula aktivitas transaksi jual dan beli. Dengan demikian, akan terjadi penurunan potensi pendapatan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN)
Dalam situasi ini, optimalisasi yang dapat dilakukan pemerintah untuk meringankan beban wajib pajak sekaligus meningkatkan kesadarannya adalah dengan membebaskan sanksi administrasi berupa sanksi denda, sanksi bunga dan sanksi kenaikan.
Tahun Sulit
TAHUN 2020 merupakan tahun tersulit baik bagi negara maupun wajib pajak, sehingga apabila negara melakukan penghapusan sanksi administrasi, potensi penerimaan pajak menjadi lebih besar. Di sisi lain, wajib pajak juga dapat lebih fokus memulihkan kondisi perusahaannya.
Saat ini Ditjen Pajak (DJP) sedang mengejar target penerimaan pajak melalui extra effort, yaitu penerimaan dari ekstensifikasi, penagihan pajak hingga pemeriksaan, dan membangun sistem informasi yang mendokumentasikan jumlah piutang pajak.
Pada 2019, jumlah piutang pajak DJP mencapai Rp72,36 triliun. Upaya DJP menyelesaikan piutang itu salah satunya dengan melakukan penagihan aktif. Diawali surat teguran dan surat paksa, DJP melakukan pemblokiran, penyanderaan, penyitaan aset hingga melelang aset yang disita tersebut.
Dari jumlah piutang pajak itu, piutang pajak dengan usia < 1 tahun mencapai Rp21 triliun, piutang 1-2 tahun Rp12 triliun; piutang 2-3 tahun Rp12 triliun; piutang 3-4 tahun Rp8 triliun; usia 5 tahun Rp6 triliun, dan usia >5 tahun Rp10 triliun.
Dengan besarnya piutang pajak tersebut, sebaiknya DJP melakukan pembebasan sanksi administrasi agar wajib pajak melunasi piutang pajak. Pembebasan sanksi itu dapat dilakukan melalui mekanisme seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu tax amnesty atau sunset policy.
Keberhasilan kedua program itu dapat ditinjau kembali untuk dapat dilaksanakan terutama pada periode setelah tax amnesty yaitu untuk masa pajak 2016 sampai dengan 2020. Saat tax amnesty, ada pelaporan harta Rp4.881 triliun yang meningkatkan kas negara sekaligus memperluas basis pajak.
Karena itu, bercermin dari kesuksesan program tax amnesty 2016 tersebut, pemerintah dapat melakukan kembali program serupa yaitu berupa penghapusan sanksi administrasi dan percepatan penagihan piutang pajak.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.