“Tak ada salahnya besar dan sukses dalam waktu singkat” (Mao Zedong, setelah meletakkan jabatannya sebagai presiden, 1959)
PERTENGAHAN Mei lalu, sepekan sebelum pemerintah menyerahkan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2018 ke DPR, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato di hadapan sejumlah menteri dan pimpinan lembaga negara. Sebuah pidato yang cetar.
Dalam pidato tersebut, Presiden menekankan betul bagaimana infrastruktur Indonesia sudah sangat tertinggal dari negara-negara lain. Presiden mencontohkan bagaimana pada era 70 dan 80-an, banyak negara tetangga yang belajar ke Indonesia tetapi sekarang mereka jauh lebih maju dari Indonesia.
Tak ada yang tidak bersedih mendengar pidato itu. Sebagian dari kita yang kebetulan pernah jalan-jalan ke Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, juga Ho Chi Minh dalam beberapa tahun terakhir, niscaya tahu bagaimana tertinggalnya infrastruktur Indonesia, tempat di mana dulu mereka pernah belajar.
Seolah melanjutkan pesan pidato Presiden tadi, dalam rapat kerja Komisi XI DPR, Senin 10 Juli 2017, Menko Perekonomian Darmin Nasution menyatakan inilah waktu yang tepat untuk membahas kenaikan batas defisit anggaran dari posisi saat ini 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut Darmin, defisit anggaran yang dibatasi 3% itu memang membuat rasio utang Pemerintah RI terhadap PDB terbilang rendah ketimbang dengan negara lain. Namun, hal itu pula yang membuat pemerintah akhirnya kesulitan membangun infrastruktur kala penerimaan pajak tidak dapat terpenuhi.
Padahal, infrastruktur Indonesia sangat tertinggal. Jika tidak dibangun, Indonesia tidak akan bisa mengejar ketertinggalannya. “Kita memilih rasio utang terhadap PDB yang tak boleh naik tapi bangun infrastruktur minim, atau sebaliknya?” kata Darmin seraya mengutip India yang batas defisitnya 5%.
Di sisi lain, Darmin menganggap kondisi Indonesia saat ini tak lagi separah seperti setelah krisis 97-98 yang perlu pembatasan defisit hingga 3%. Bahkan dalam 6-7 tahun terakhir, kondisi Indonesia sudah dianggap sembuh dari krisis, dan sejak tahun lalu realisasi APBN sudah lebih baik dari sebelumnya.
Konsensus Nasional
APABILA dicermati, ketertinggalan infrastruktur kita terjadi terutama setelah krisis 97-98. Konsensus kita saat itu, dalam 5 tahun, APBN sebagai jantung perekonomian diorientasikan sebagai instrumen konsolidasi fiskal. Setelah itu, 5 tahun berikutnya baru dimanfaatkan jadi instrumen ekspansi fiskal.
Sebagai instrumen konsolidasi, APBN difungsikan terutama guna menyembuhkan berbagai penyakit ekonomi yang terkuak setelah krisis. Untuk kepentingan itu, negara harus mengencangkan ikat pinggang agar ada uang untuk menalangi bank yang bangkrut sekaligus mengurangi cicilan utang yang menggunung.
Itulah sebabnya, pada periode tersebut kita tidak banyak membangun. Anggaran infrastruktur setiap tahun hanya 1%-2% terhadap PDB. Akibatnya, beriring dengan gaduhnya proses konsolidasi politik, ekonomi kita pun melaju pelan. Lima tahun setelah krisis 97-98, ekonomi kita tumbuh rata-rata 3,7%.
Tapi itulah konsensus nasional kita. Korbannya minimal, capaiannya juga minimal. Kita tidak sampai hati memilih strategi ekstrim seperti yang ditempuh Rusia setelah Uni Soviet bubar, yang korban sekaligus capaiannya sama-sama maksimal. Kita memilih pepatah Jawa, alon-alon asal kelakon.
Strategi yang mirip sebetulnya juga ditempuh negara-negara tetangga yang sama terpapar krisis. Bedanya, mereka bisa pulih lebih cepat. Sementara itu, konsolidasi fiskal kita terus berkepanjangan akibat kompleksnya berbagai problem struktural serta tidak efektifnya strategi dan kebijakan pengelolaan ekonomi.
Situasinya menjadi makin pelik karena di sisi lain proses konsolidasi demokrasi yang berlangsung sejak 97-98 juga tak kunjung berakhir. Akhirnya, harus diakui, meski ekonomi kita adalah yang terbesar di kawasan, kita pula-lah yang ekonominya paling rapuh dan rentan, hingga paling lama sembuh dari krisis.
Sampai 2010, atau 12 tahun sejak krisis, rasio belanja infrastruktur kita masih 1%-2% terhadap PDB, sementara negara-negara tetangga sudah di atas 3%. Baru sejak 2011 kita naik ke atas 2%, dan sejak 2015 ke berkisar 3%. Namun, pada saat yang sama negara-negara lain sudah di atas 4%.
Napsu Besar
SEBETAPAPUN menjengkelkan, harus tetap diakui bahwa konsensus pengelolaan ekonomi alon-alon asal kelakon seperti yang terlihat di Indonesia setelah krisis 97-98 pada dasarnya adalah titik optimal dari tiga prinsip pengelolaan ekonomi, yakni keseimbangan, stabilitas, dan pertumbuhan.
Prinsip yang menurut mantan Wapres Boediono ‘seperti mengayuh sepeda’ ini berarti situasi-lah yang memaksa sepeda dikayuh pelan, bukan karena pengendaranya ingin pelan. Sepeda dikayuh pelan karena sekrupnya kendor, rangkanya rapuh, jalannya licin. Kita tahu apa yang terjadi jika sepedanya dikayuh kencang.
Prinsip ‘alon-alon asal kelakon’ sebagai titik optimal sekaligus konsensus nasional itulah yang pada 2015-2016 agaknya ditinggalkan Presiden Joko Widodo. Akhirnya, tanpa persiapan matang, ambisi menggapai pertumbuhan 7% dalam 2 tahun itu malah menghasilkan krisis fiskal yang dampaknya masih terasa sampai sekarang.
Ambisi besar yang energinya didatangkan dari ruang fiskal yang ditiup dari dua jurusan sekaligus, yakni pengurangan subsidi energi hingga 60% dan peningkatan penerimaan perpajakan sampai 30%, malah mendistorsi ekonomi hingga menekan konsumsi rumah tangga secara luas dan berkelanjutan.
Ditambah menguatnya tekanan eksternal akibat berlanjutnya perlemahan harga komoditas dan jatuhnya permintaan global, alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi, relokasi anggaran dari ruang fiskal yang terbentuk ke anggaran infrastruktur yang dinaikkan justru berbalik menekan pertumbuhan.
Melompatnya belanja infrastruktur yang tak diiringi persiapan struktural dan peningkatan kapasitas birokrasi menghasilkan penyerapan anggaran yang memprihatinkan. Pada saat bersamaan, tekanan pertumbuhan yang menggerus penerimaan ikut menahan belanja dan membengkakkan pembiayaan.
Hasilnya pada 2015-2016, capaian penerimaan perpajakan terendah sejak 1990; rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB terendah sejak 1998; rasio pendapatan dan hibah terhadap PDB berikut realisasi belanja terhadap PDB terendah sejak 1973, dengan level defisit tertinggi sejak 2001.
Enam Faktor
DARI krisis fiskal 2015-2016 itu paling tidak ada 6 faktor yang seharusnya membuat otoritas fiskal bertindak ekstra cermat dan hati-hati untuk kembali menggenjot belanja infrastruktur. Apalagi, situasinya menjadi semakin kompleks karena dengan ruang fiskal yang menyempit, pilihan yang tersedia hanyalah menarik utang.
Ke-6 faktor itu, pertama, keseimbangan primer kita yang negatif sejak 2012 dengan tren membesar. Itu berarti, kita sudah harus berutang untuk membayar utang. Kita memiliki kemampuan fiskal yang rendah untuk mengurangi beban utang—yang mengindikasikan rentannya keberlanjutan fiskal.
Kedua, rasio pembayaran cicilan utang pemerintah termasuk bunga terhadap total penerimaan negara terus meningkat sejak 2011, dari 19% menjadi 28% pada 2016. Rasio tersebut akan semakin besar jika total penerimaan sebagai penyebutnya diganti dengan penerimaan perpajakan, yaitu 32%.
Ketiga, tren penyempitan defisit transaksi berjalan sejak kuartal IV 2011 kini berbalik melebar. Diitingkah melemahnya daya beli, kemampuan kita membiayai pertumbuhan dari uang sendiri kian tergerus, dan karena itu harus ditutup utang. Singkatnya, daya dukung pertumbuhan kita kian terbatas.
Keempat, porsi belanja pegawai di APBN terus membesar sejak 2008, terutama setelah Kemenkeu merilis tunjangan khusus yang menjadi benchmark seluruh instansi. Sampai sekarang, termasuk soal pensiun, belum ada formula yang secara sistematis diniatkan menjinakkan bom waktu tersebut.
Kelima, reformasi pajak jalan di tempat. Sudah lebih dari 10 tahun UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dibiarkan bekerja menurunkan penerimaan, dan niat merevisinya pun kini terhenti tanpa kejelasan. Bagaimana penerimaan mau naik kalau tarifnya diturunkan dan kekuasaan otoritas pajak di-preteli?
Keenam, terus membesarnya dana transfer daerah yang tidak diikuti perbaikan sistem dan tata kelola keuangan. Bagaimana memperbaiki sistem itu sementara RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dibiarkan terpisah dengan UU Pemerintahan Daerah yang sudah 3 tahun lalu disahkan?
Risiko & Pemilu
SAMPAI di sini agaknya kita bisa memahami maksud pidato Presiden di awal tadi. Infrastruktur adalah salah satu kunci utama pertumbuhan, yang ketersediaannya akan merangsang modal datang sekaligus menggerakkan mesin-mesin pertumbuhan hingga mendorong perekonomian melaju lebih kencang.
Rakyat niscaya dapat memahami jika harga listrik, BBM dan pupuk naik, tapi tak ada lagi byar-pet, ke mana-mana mudah karena ada jalan, dan panen melimpah karena ada bendungan. Dengan kata lain, ketersediaan infrastruktur adalah tiket yang dibutuhkan untuk memasuki gerbang kemakmuran.
Namun, kita saksikan bagaimana ambisi membangun infrastruktur itu malah mengakibatkan krisis fiskal 2015-2016, yang lantas dikoreksi APBNP 2016 dan APBN 2017 menyusul pencopotan menkeu. Kita tahu dengan koreksi itu pula kemudian S&P mengembalikan rating obligasi RI ke level investment grade sejak 20 tahun.
Kini kita melihat bagaimana setelah mendapati proyeksi target setoran pajak tahun ini yang tidak terpenuhi, alih-alih memangkas, pemerintah malah menambah belanja. Akibatnya, membalikkan koreksi yang sudah diapresiasi S&P tadi, defisit APBNP 2017 pun melejit ke 2,92%, tertinggi sejak 2001.
Di sisi lain, harus diakui bahwa risiko pelebaran defisit di APBNP 2018 juga sangat terbuka. Pasalnya, tahun 2018 adalah penentu sukses gagalnya program infrastruktur. Presiden niscaya akan all out mencegah program tersebut berantakan. Apalagi yang dipertaruhkan adalah juga nasibnya pada Pemilu 2019.
Jutaan rakyat Sumatra niscaya akan sangat berterima kasih pada Presiden jika mulai awal 2019 listrik rumahnya tidak lagi byar pet, sama seperti rakyat Sulawesi dan Nusa Tenggara yang sawahnya bisa panen 3 kali setahun. Tapi, dengan berbagai faktor dan risiko tadi, mampukah Presiden mengamankan belanja infrastrukturnya?
Hampir 60 tahun lalu Mao Zedong memaksa China ‘melompat’ memproduksi lebih banyak baja ketimbang Inggris. Jutaan petani pun disulap jadi pekerja pabrik. Tak sampai 2 tahun, 45 juta penduduk tewas akibat kelaparan, dan Mao pun lengser. Kita tahu akibat ‘lompatan jauh’ China saat Mao tak ada yang mengingatkan.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.