Panelis memberikan paparan dalam webinar. (tangkapan layar Zoom saat webinar)
JAKARTA, DDTCNews – Pandemi Covid-19 memberikan dampak luas kepada kegiatan ekonomi. Mitigasi terkait kegiatan usaha dalam keadaan force majeure pada akhirnya diperlukan.
Mitigasi dalam perspektif hukum dan perpajakan dalam keadaan kahar ini dikupas secara mendalam dalam sebuah webinar hukum dan perpajakan pada hari ini, Kamis (4/6/2020). Pakar hukum korporasi Arief Nursatrio dan praktisi perpajakan Andy Jayani hadir sebagai panelis.
Pembukaan acara webinar seputar kiat pelaku usaha menghadapi keadaan kahar dalam transaksi bisnisnya disampaikan oleh Wakil Ketua Kompartemen Tetap bidang Perpajakan Kadin Indonesia Herman Juwono.
Menurutnya, webinar ini menjadi sarana untuk menyebarluaskan kebijakan pemerintah dalam menghadapi pandemi. Selain itu, pelaku usaha juga dapat memanfaatkan kebijakan relaksasi dan insentif yang berlaku selama masa pandemi berlangsung.
"Pemerintah telah mengubah postur APBN tahun ini untuk penanggulangan dampak Covid-19. Acara ini menjadi ajang untuk menyebarluaskan dan disosialisasikan agar kebijakan dapat dipahami dan dimanfaatkan oleh peserta,” ujar Herman yang juga sebagai Ketua Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia (Perkoppi) ini.
Jalannya webinar dimulai dengan pemaparan perspektif hukum dalam keadaan pandemi yang disampaikan oleh Arief Nursatrio. Dia mengatakan pandemi Covid-19 telah ditetapkan sebagai bencana nasional nonalam.
Menurutnya, kondisi bencana atau force majeure tidak serta merta berlaku umum dan luas bagi semua transaksi bisnis. Menurutnya, ada unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu transaksi bisnis bisa diklasifikasikan terdampak kondisi force majeure.
"Dalam ketentuan hukum perdata disebutkan unsur dari force majeure adalah keadaan yang tidak terduga, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak adanya itikad buruk," paparnya.
Kemudian, Andy Jayani beralih memaparkan topik dari sisi perpajakan dalam konteks keadaan kahar karena pandemi Covid-19. Dia memaparkan kegiatan perpajakan dalam keadaan kahar seperti saat bukan perkara baru.
Kondisi kahar yang membuat wajib pajak tidak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya sudah diatur dalam UU KUP sejak pertama kali rilis pada 1983 hingga perubahan terakhirnya pada 2007. Pengaturan secara detail juga acap kali ditemukan untuk pemenuhan kewajiban perpajakan dalam keadaan kahar untuk suatu wilayah tertentu.
Salah satu contohnya adalah terkait keadaan kahar untuk kepentingan perpajakan yang berlaku di Papua dan Papua Barat pada tahun lalu. Ditjen Pajak menerbitkan beleid KEP 596/2019 yang menetapkan keadaan kahar di kedua provinsi tersebut secara spesifik mulai 21 Agustus sampai dengan 29 September 2019.
Kemudian KEP 370/2018 yang menetapkan bencana Tsunami di wilayah Pandeglang, Serang dan Lampung Selatan sebagai keadaan kahar. Otoritas membuat kebijakan relaksasi karena dampak bencana tersebut berlaku dari 22 Desember 2018 sampai dengan 31 Januari 2019.
Andy juga memaparkan dalam UU No.2/2020 dan aturan turunannya, negara memberikan ruang relaksasi pemenuhan kewajiban perpajakan karena adanya pandemi Covid-19. Oleh karena itu, wajib pajak tinggal memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan untuk menjaga keberlangsungan usahanya selama masa pandemi Covid-19.
"Dalam kondisi kahar untuk kepentingan perpajakan ini bukan hal yang baru tapi sudah ada sejak 1983. DJP juga beberapa kali menetapkan keadaan kahar secara lokal untuk beberapa kesempatan baik karena bencana alam maupun nonalam," imbuhnya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.