LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Menggagas Pajak Orang Kaya

Redaksi DDTCNews | Jumat, 02 Oktober 2020 | 09:30 WIB
Menggagas Pajak Orang Kaya

Viriya Paramita Singgih, Jakarta Selatan

PANDEMI Covid-19 sukses mengeksploitasi kerapuhan sistem kesehatan dan perlindungan sosial nasional, yang berimbas pada naiknya tingkat kemiskinan dan melebarnya kesenjangan. Di tengah keterbatasan anggaran, orang kaya bisa membantu melalui skema pajak kekayaan temporer.

Sejak Covid-19 merebak, banyak orang mendadak kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin. Dalam skenario terberat pemerintah, jumlah warga miskin dan pengangguran diperkirakan bisa bertambah masing-masing 3,78 juta dan 5,2 juta orang gara-gara Covid-19.

Riset Dana Moneter Internasional (IMF) juga menunjukkan pandemi bakal memperlebar jurang kesenjangan antara orang kaya dan miskin secara signifikan, serta berdampak lebih besar pada orang-orang dengan kualitas pendidikan relatif rendah.

Karena itu, pemerintah menaikkan belanja 2020 dari semula Rp2.540 triliun menjadi Rp2.739 triliun untuk mendukung penanganan Covid-19. Di sisi lain, pendapatan negara diperkirakan menyusut dari prediksi Rp2.233 triliun menjadi Rp1.700 triliun seiring dengan terganggunya aktivitas ekonomi.

Konsekuensinya, defisit 2020 diperkirakan melebar dari 1,76%-6,34% terhadap produk domestik bruto (PDB). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2020 pun terbit untuk merelaksasi batasan defisit anggaran hingga bisa melebihi 3% terhadap PDB hingga 2022.

Masalahnya, jumlah penerimaan negara, khususnya dari pajak, berisiko lebih kecil dari perkiraan apabila pandemi terus berlarut dan ekonomi kian terpuruk. Dalam Tax Policy Reforms 2020, OECD menyebut penurunan penerimaan cenderung lebih signifikan dari penurunan PDB saat terjadi krisis.

Untuk mengantisipasi kemungkinan kian membengkaknya defisit anggaran, pemerintah mesti mencari cara baru untuk menggenjot penerimaan pajak. Salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan adalah menerapkan pajak kekayaan secara temporer untuk orang kaya Indonesia.

Pajak kekayaan dikenakan pada individu dengan kekayaan bersih di atas nilai tertentu. Pajak ini ditujukan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi masyarakat. Uang yang dikumpulkan dari orang kaya itu bisa digunakan pemerintah untuk memperkuat perlindungan sosial bagi warga miskin.

Dalam Global Wealth Report 2019, Credit Suisse mencatat Indonesia memiliki 105.406 orang kaya dengan aset US$1–50 juta atau Rp15–750 miliar. Selain itu, ada 809 orang superkaya dengan aset di atas US$50 juta. Jumlah keduanya hanya 0,00006% dari populasi orang dewasa 172,9 juta jiwa.

Total kekayaan bersih 50 orang terkaya Indonesia 2019 versi Forbes adalah US$134,6 miliar atau Rp2.020 triliun. Apabila pemerintah menerapkan pajak kekayaan dengan tarif 3%, ada penerimaan tambahan US$4,04 miliar atau Rp 60,6 triliun dari 50 orang tersebut.

Sebelumnya DDTC Fiscal Research sempat memproyeksikan dengan model vector autoregression, dalam skenario terburuk, penerimaan pajak 2020 bisa hanya menyentuh Rp1.146 triliun, atau kurang Rp52,8 triliun dari target.

Dengan kata lain, kontribusi pajak kekayaan 50 orang terkaya Indonesia itu lebih dari cukup untuk menutupi kekurangan tersebut. Potensi pajak yang bisa dikumpulkan dari 106.215 orang kaya dan superkaya di Indonesia tentu jauh lebih besar lagi.

Risiko Penghindaran Pajak
KEKHAWATIRAN terbesar dari penerapan pajak kekayaan adalah kemungkinan orang-orang kaya akan pergi meninggalkan Indonesia untuk tinggal di negara lain dengan tarif pajak yang lebih rendah, seperti banyak terjadi di Eropa.

Contohnya, orang-orang kaya Prancis kerap pindah rumah ke Belgia untuk menghindari tarif pajak kekayaan yang tinggi di Prancis, sebelum kemudian pajak itu resmi dihapus Presiden Emmanuel Macron sejak awal 2018.

Namun, risiko itu bisa diminimalkan dengan menerapkan pajak kekayaan secara sementara sebagai langkah darurat di tengah pandemi. Misal, periodenya hanya 3 tahun, sejalan dengan masa relaksasi defisit. Dengan begitu, pajak kekayaan tidak membebani orang kaya secara permanen.

Mereka juga akan berpikir dua kali untuk kabur dan mencari tempat tinggal baru di luar negeri di tengah pandemi hanya untuk 3 tahun. Apalagi, banyak negara lain yang sama-sama sedang mencari cara mendongkrak pemasukan pajaknya.

Kondisi semacam ini tentu bakal membuat rumit strategi penghindaran pajak yang mesti dirancang oleh para orang kaya. Karena itu, akan lebih mudah bagi mereka untuk ikut patungan menangani pandemi Covid-19 yang telah memicu resesi ini.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

25 Oktober 2020 | 20:45 WIB

gak mungkin dipajakin..krn UU yang buat siapa .. PBB itu adalah spst dikaatagorikan Pajak kekayaan ..(tanah dan bangunan) juga PBHTB... Namun ada yg kurang adil sejengkal tanah hunian ..suruh bayar PBB sll naik di pedesaan dan perkotaan... namun yg punya ribuan Ha ..dipajakan klo untung... ada prosentasi tersendiri..hitungan silahkan lih PBB perkebunan, pertanian dan tambang... oleh korporasi.

14 Oktober 2020 | 09:34 WIB

Setuju

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 17 Oktober 2024 | 09:05 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Tersisa 2 Bulan untuk Manfaatkan PPN Rumah 100% Ditanggung Pemerintah

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 09:45 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Memunculkan Fitur Transparansi Pajak di Platform Online Terintegrasi

Jumat, 04 Oktober 2024 | 17:15 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Menyusun Strategi Jangka Pendek hingga Panjang Peningkatan Tax Ratio

Jumat, 04 Oktober 2024 | 13:48 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Menggagas Pajak Produk Rekayasa Genetika di Indonesia

BERITA PILIHAN