LAPORAN DARI TILBURG BELANDA

Mendalami Strategi Uni Eropa Menangkal Penghindaran Pajak

Redaksi DDTCNews | Selasa, 22 Juni 2021 | 15:45 WIB
Mendalami Strategi Uni Eropa Menangkal Penghindaran Pajak

Dea Yustisia, Tax Researcher DDTC, di kampus Tilburg University, Belanda

DALAM komunitas pajak internasional, resep melawan praktik penghindaran pajak umumnya merujuk kepada Proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang diinisiasi OECD dan G20. Namun, di luar hal tersebut, sebenarnya ada beberapa alternatif lainnya.

Misal, PBB merilis Handbook on Selected Issues in Protecting Tax Base yang dinilai lebih relevan bagi isu-isu penghindaran pajak di negara berkembang. Ada juga, agenda perlawanan penghindaran pajak untuk kawasan dan kepentingan tertentu yaitu Uni Eropa (European Union/EU).

Bagi EU, proyek BEPS dianggap belum cukup untuk melawan praktik penghindaran pajak. Setahun setelah laporan final Proyek BEPS, EU merilis Anti-Tax Avoidance Directive (ATAD) melalui Directive 2016/1164 pada 2016.

Baca Juga:
Di Australia, Akademisi Ini Paparkan Riset Edukasi Pajak Indonesia

Tulisan ini akan mengulas strategi EU menangkal penghindaran pajak melalui ATAD berdasarkan pengalaman yang diperoleh penulis dalam program studi magister di Tilburg University melalui program HRDP oleh DDTC. Topik ATAD diulas dalam mata kuliah Corporate Tax Structure dan International and EU Tax Law. Berikut liputannya.

Tentang ATAD
Pada Juni 2015, European Commission merilis Action Plan for Fair and Efficient Corporate Taxation dalam merespons Proyek BEPS. Rencana Aksi EU pada dasarnya selaras dengan Proyek BEPS, tetapi dimaksudkan untuk lebih sesuai dengan tantangan dan kebutuhan negara anggota EU.

Rencana Aksi tersebut kemudian tercakup dalam Anti-Tax Avoidance Package yang dipublikasikan 28 Januari 2016. Isinya tentang usulan regulasi dan inisiatif untuk memperkuat serta menjamin efektivitas ketentuan antipenghindaran pajak. Anti-Tax Avoidance Package memiliki tiga tujuan, yakni mencegah perencanaan pajak yang agresif, meningkatkan transparansi, dan menciptakan iklim usaha yang lebih adil di kawasan EU (Lobita, 2019).

Baca Juga:
Lagi, Profesional DDTC Lulus S-2 di Tilburg University Belanda

Salah satu komponen dalam paket tersebut ialah proposal ATAD yang disetujui oleh Council of European Union pada 12 Juli 2016. Melalui ATAD, EU bermaksud untuk memberikan standar minimum perlindungan tiap negara anggota dari praktik penghindaran pajak korporasi sekaligus menjamin iklim bisnis yang lebih adil dan stabil.

Arti standar minimum sendiri dipahami atas dua hal. Pertama, seluruh 28 negara anggota EU harus mengimplementasikan ATAD dalam ketentuan domestik mereka selambat-lambatnya pada periode tertentu. Kedua, setiap negara anggota harus menerapkan syarat-syarat minimum ATAD secara seragam, tetapi memperbolehkan adanya detail pengaturan yang lebih ketat.

Sebagai informasi, ATAD yang disetujui 2016 juga sempat mengalami perubahan. Perubahan tersebut mencakup amandemen tentang ketentuan hybrid mismatch yang kemudian kerap disebut sebagai ATAD II. Amandemen tersebut disetujui dan diadopsi oleh Parlemen Eropa pada 27 April 2017.

Baca Juga:
Bertambah Lagi, 3 Profesional DDTC Raih Gelar LL.M. di Austria

ATAD berisi lima rencana aksi. Pertama, pembatasan biaya bunga (Pasal 4 ATAD). Sebagai salah satu sumber penggerusan basis pajak, pembayaran bunga -dengan sifatnya yang dapat menjadi biaya pengurang penghasilan- perlu dibatasi.

Melalui ATAD, EU merekomendasikan pendekatan rasio tetap (fixed ratio) berdasarkan perbandingan antara biaya bunga terhadap EBITDA. Jika biaya bunga lebih besar dari 30% dari EBITDA, atas beban bunga tersebut tidak dapat dibiayakan. Ketentuan yang kerap disebut earning stripping rule (ESR) ini berbeda dengan pendekatan debt to equity ratio (DER).

Negara anggota diperkenankan untuk menerapkan pengecualian ESR kepada entitas atau transaksi tertentu yaitu pengecualian bagi pinjaman yang dilakukan entitas yang tidak memiliki afiliasi, sektor keuangan seperti bank dan asuransi, dan pinjaman proyek infrastruktur publik jangka panjang.

Baca Juga:
Panduan dan Trik dalam Membuat Opini Hukum Pajak

ATAD juga memberikan kerangka aturan mengenai escape clause yang memungkinkan penggunaan rasio perbandingan antara kondisi perusahaan dengan kondisi secara konsolidasi, serta kompensasi biaya bunga pada masa mendatang atau masa lampau (carry forward atau carry back interest).

Kedua, ketentuan tentang exit tax (Pasal 5 ATAD). Umumnya, exit tax diberlakukan dalam mencegah suatu entitas usaha meninggalkan yurisdiksi karena motif menghindari pajak. Namun, exit tax dalam ATAD justru diberlakukan tanpa melihat alasannya.

Melalui ATAD, setiap negara anggota diberikan justifikasi untuk mengenakan pajak atas nilai ekonomi dari unrealized capital gain yang timbul dari perpindahan suatu aset atau subjek pajak. Syaratnya, harus terdapat keterputusan hak pemajakan yang terjadi dengan adanya perpindahan tersebut yang menimbulkan hilangnya basis pajak negara anggota.

Baca Juga:
Tiba di Vienna, 3 Profesional DDTC Siap Timba Ilmu Pajak Internasional

Pembayaran exit tax dapat ditunda atau diangsur maksimal lima tahun. ATAD juga memperkenankan adanya interest option (negara anggota diperkenankan mengenakan bunga atas pembayaran angsuran atau cicilan) atau guarantee option (negara anggota diperkenankan untuk meminta adanya jaminan aset bagi wajib pajak berisiko).

Ketiga, pengaturan atas general anti-avoidance rule/GAAR (Pasal 6 ATAD). Secara tradisional, GAAR sudah menjadi instrumen antipenghindaran pajak yang umum ditemui di negara anggota EU. Namun, proyek BEPS Aksi-6 mendorong kebutuhan adanya keseragaman ketentuan GAAR.

ATAD pada dasarnya memberikan keleluasaan bagi wajib pajak untuk memilih skema komersial yang paling efisien. Untuk itu, GAAR hanya diberlakukan apabila tujuan dari suatu transaksi adalah untuk memperoleh keuntungan pajak yang bertentangan dengan tujuan atau maksud dari suatu hukum pajak. Transaksi yang bisa dibatalkan melalui ketentuan GAAR haruslah transaksi yang tidak memiliki substansi ekonomi sebenarnya (not genuine).

Baca Juga:
Menyimak Pro dan Kontra CFC Rules

Keempat, ketentuan controlled foreign company (CFC) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 ATAD. Ketentuan ini ditujukan untuk mencegah penundaan atau tidak didistribusikannya penghasilan dari CFC kepada perusahaan induk.

Perusahaan dapat dikategorikan sebagai CFC jika dikendalikan, baik secara tunggal maupun bersama-sama hingga lebih dari 50% atas hak suara, modal, atau jaminan memperoleh laba (control test). Lalu, perusahaan juga harus memiliki beban pajak efektif kurang dari 50% dari beban pajak di negara induk (low-taxed test).

Penghasilan CFC yang diatribusikan kepada perusahaan induk dapat diperoleh melalui pendekatan model A dan model B. Model A lebih memfokuskan pada aspek deemed dividend yang dianggap berasal dari penghasilan pasif.

Baca Juga:
Perlu Ada Konsensus Hak Wajib Pajak dalam Pertukaran Informasi

Sementara itu, Model B lebih fokus kepada atribusi penghasilan berdasarkan aset, risiko, dan significant people function yang diberikan kepada perusahaan pengendali (merujuk pada prinsip arm’s length).

Kelima, mengenai pencegahan hybrid mismatch arrangement sebagaimana diatur pada Pasal 9, 9a, dan 9b ATAD. Tujuannya, untuk menetralisir dampak dari hybrid arrangement yang timbul akibat perbedaan antarsistem pajak yang mengakibatkan adanya double non-taxation, double deduction, deduction without inclusion, serta non-taxation without inclusion. Dengan kata lain, diperlukan adanya perlakuan pajak yang simetris antarnegara.

ATAD juga mengatur batas waktu pemberlakuan kelima ketentuan tersebut dalam regulasi domestik. Untuk ESR, GAAR, dan CFC harus diaplikasikan paling lambat 1 Januari 2019, sedangkan exit tax dan hybrid mismatch paling lambat 1 Januari 2020. Untuk skema reverse hybrid mismatches dengan negara non-EU paling lambat diterapkan pada 1 Januari 2022.

Baca Juga:
Serunya Menimba Ilmu Pajak dalam Lingkup Bisnis Internasional

Asesmen
BAGI negara anggota EU, rekomendasi dan standar minimum dari Proyek BEPS serta ATAD bermanfaat dan saling melengkapi. Dari kedua rekomendasi tersebut, total terdapat 9 standar minimum pencegahan penghindaran pajak yang harus diimplementasikan oleh negara anggota EU.

Selain lima standar minimum ATAD, negara anggota EU juga perlu menerapkan standar minimum dalam melawan harmful tax practice (Aksi 5 Proyek BEPS), treaty shopping (Aksi 6 Proyek BEPS).

Kemudian, format baru dokumentasi transfer pricing (Aksi 13 Proyek BEPS), serta pencegahan dan penyelesaian sengketa pajak internasional yang efektif (Aksi 14 Proyek BEPS). Seluruh hal tersebut turut mendorong perubahan lanskap pajak EU yang sangat dinamis selama lima tahun terakhir.

Baca Juga:
Lagi, 2 Profesional DDTC Raih Gelar LL.M. di Austria

Kendati bersifat wajib, penerapan ATAD di tiap negara anggota ternyata memiliki deviasi dari rekomendasi di tingkat supranasional, meski telah dilakukan capacity building dan komunikasi dengan seluruh negara anggota sejak 2018.

Menurut laporan implementasi ATAD yang dilakukan Komisi Uni Eropa pada Agustus 2020, terdapat beberapa pelanggaran desain ketentuan. Contoh, ketentuan domestik Spanyol dianggap tidak sesuai dengan isi rekomendasi ATAD. Begitu juga dengan Irlandia dan Denmark yang telah mendapatkan peringatan karena ketentuan CFC dan GAAR di kedua negara tersebut dinilai tidak selaras dengan ATAD.

Sebagai penutup, pemberlakuan ATAD menunjukkan satu hal penting. Berbagai strategi melawan penghindaran pajak sebagaimana terangkum dalam Proyek BEPS mungkin belum tentu sepenuhnya relevan dan optimal bagi kondisi tiap negara atau kawasan. Opsi lainnya, seperti GAAR dan exit tax ada baiknya untuk dipertimbangkan.


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

24 Juni 2021 | 13:18 WIB

wah terimakasi DDTC infonya sangat bermanfaat

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Januari 2023 | 17:15 WIB LAPORAN DARI AUSTRALIA

Di Australia, Akademisi Ini Paparkan Riset Edukasi Pajak Indonesia

Sabtu, 25 Juni 2022 | 11:01 WIB LAPORAN DARI BELANDA

Lagi, Profesional DDTC Lulus S-2 di Tilburg University Belanda

Selasa, 21 Juni 2022 | 07:45 WIB LAPORAN DARI VIENNA

Bertambah Lagi, 3 Profesional DDTC Raih Gelar LL.M. di Austria

Selasa, 30 November 2021 | 08:13 WIB LAPORAN DDTC DARI VIENNA

Panduan dan Trik dalam Membuat Opini Hukum Pajak

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:00 WIB LAYANAN PAJAK

Kantor Pajak Telepon 141.370 WP Sepanjang 2023, Kamu Termasuk?

Rabu, 25 Desember 2024 | 08:30 WIB KPP PRATAMA BADUNG SELATAN

Kantor Pajak Minta WP Tenang Kalau Didatangi Petugas, Ini Alasannya

Rabu, 25 Desember 2024 | 08:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Tahap Pra-Implementasi Aplikasi Coretax, DJP Imbau WP Soal Ini