TAJUK

Mencermati UU Omnibus Law

Redaksi DDTCNews | Senin, 30 September 2019 | 19:50 WIB
Mencermati UU Omnibus Law

Ilustrasi. (Foto: DDTCNews)

KEJUTAN terbaru dari pemerintah pada akhir periodenya ini adalah rencana penerbitan UU omnibus law, yaitu ketentuan hukum yang bersifat umum di bidang perizinan dan di bidang perpajakan. Dua omnibus law ini diharapkan dapat menggenjot kegiatan investasi di Tanah Air.

Omnibus law adalah undang-undang yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang (Obrien, 2009). Omnibus law dikenal sebagai praktik lazim dalam tradisi Common Law seperti Amerika Serikat, tetapi relatif tidak dikenal dalam tradisi Civil Law seperti Indonesia.

Karena relatif tidak dikenal, hingga kini kita asing dengan konsep omnibus law. Dari sejak masa Orde Lama sampai sekarang bahkan, kita tidak memiliki pengalaman dalam merancang UU omnibus law, dan kita memang tidak memiliki satu pun UU omnibus law.

Baca Juga:
Family Office: Rezim Baru, Jangan Buru-Buru

Kenapa pengaturan hukum di bidang perizinan kini membutuhkan UU omnibus law, pemerintah beralasan ada 72 UU sektoral yang dianggap menghambat laju investasi. Karena itu, diperlukan UU omnibus law perizinan yang akan menjadi payung hukum UU sektoral tersebut.

Begitu pula dengan UU omnibus law perpajakan. Sama seperti UU omnibus law perizinan, di bidang perpajakan terdapat beberapa UU yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan lanskap perpajakan global, ekonomi digital, dan seterusnya.

Sebetulnya kalau kita cek, unsur kepastian hukum dalam perizinan memang tidak jelas. Hal ini terjadi karena tidak ada UU yang mengatakan kalau pemerintah tidak menjawab permohonan izin itu dalam 14 hari kerja misalnya, berarti permohonan izin tersebut otomatis diterima.

Baca Juga:
Omnibus Law Disetujui DPR, Ketentuan Pajak di Negara Ini Direvisi

Berbeda dengan perizinan, dalam pajak aspek kepastian hukum sangat dijunjung tinggi. Bahkan, bisa dikatakan tidak ada kepastian hukum yang paling pasti selain pajak. Kepastian ini juga menyangkut soal waktu. Misalnya, kalau keberatan tidak diterima dalam 12 bulan, keberatan otomatis diterima.

Sampai di sini tentu kita layak bertanya, kenapa tidak mengajukan perubahan UU Penanaman Modal sebagai payung hukum perizinan? Kenapa tidak melanjutkan revisi paket UU Pajak yang sudah diserahkan drafnya ke DPR sejak 3,5 tahun silam? Kenapa harus membuat dan mengajukan UU baru?

Kalau memang kondisinya genting dan mendesak, kenapa Presiden tidak menerbitkan Perppu UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan UU Pajak Penghasilan (PPh), misalnya untuk menarik pajak Google atau menurunkan tarif PPh badan.

Baca Juga:
Saatnya Memilih! Anda Pembayar Pajak, Jangan Golput!

Pertanyaan tersebut perlu diajukan karena konsekuensi pengajuan UU omnibus law di bidang perpajakan itu, yang kemudian disebut RUU Kebijakan Perpajakan untuk Memperkuat Perekonomian, adalah kembali tertundanya pembahasan revisi paket UU Pajak.

Dengan penundaan tersebut, draf RUU KUP, RUU PPh, dan RUU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN), yang semuanya merupakan inisiatif pemerintah, kembali menjadi tidak jelas kapan akan dibahas.

Apakah pemerintah memang sudah tutup buku terhadap rencana pemisahan fungsi penerimaan dan belanja, melalui penggantian Ditjen Pajak menjadi Badan Penerimaan Negara, sehingga mengajukan UU omnibus law perpajakan guna menghindari pertemuan dengan konsep pemisahan itu?

Baca Juga:
Reformasi Bea Cukai: Proses Bisnis dan Integritas

Kalau memang pemerintah sudah tutup buku, kenapa Presiden tidak mencabut saja draf RUU KUP yang diserahkan ke DPR sejak 3,5 tahun silam, dan menggantinya dengan konsep yang anti-pemisahan antara fungsi penerimaan dan belanja, sehingga masyarakat mendapatkan kepastian hukum?

Keluhan utama investor asing yang hendak menanamkan modal di Indonesia adalah kepastian hukum. Artinya, pemerintah harus memperkuat sinkronisasi antar-UU, memperjelas intrepretasinya sampai ke peraturan teknis, dan menjalankannya dengan konsekuen alias tanpa pandang bulu. Itu saja.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 11 Juli 2024 | 17:45 WIB TAJUK PAJAK

Family Office: Rezim Baru, Jangan Buru-Buru

Kamis, 20 Juni 2024 | 08:15 WIB SURAT DARI KELAPA GADING

Sewindu Berlalu, DDTCNews Perkenalkan Wajah Baru

Selasa, 04 Juni 2024 | 13:15 WIB TAJUK PAJAK

Badan Penerimaan Negara, Bukan Hanya Soal Pisah dari Kemenkeu

Selasa, 13 Februari 2024 | 12:00 WIB ARGENTINA

Omnibus Law Disetujui DPR, Ketentuan Pajak di Negara Ini Direvisi

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja