Predi M. Sinaga
, Samosir, Sumatra UtaraDALAM 6 bulan Indonesia dilanda pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang semester I/2020 baru 1,26%. Banyak yang memprediksi Indonesia akan mengalami resesi pada kuartal III/2020, setelah sebelumnya tumbuh minus 5,2% pada kuartal II/2020.
Namun, hal ini masih abu-abu mengingat ekonomi Indonesia tidak bergantung pada satu sektor saja. Yang pasti, pemerintah harus menyiapkan kebijakan terbaik yang mampu menjaga tingkat konsumsi masyarakat agar tetap optimal untuk mencegah kemungkinan terburuk.
Konsumsi rumah tangga, produktivitas korporasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, juga sektor keuangan merupakan sektor utama yang mengalami kontraksi semasa pandemi. Kontraksi tersebut juga akumulasi masalah internal yang timbul sebelum pandemi, seperti banjir di Ibu Kota.
Di masa pandemi ini, pemerintah butuh dana yang cukup besar untuk melakukan pembiayaan baik public goods dan nonpublic goods. Pajak sebagai instrumen penerimaan terbesar menanggung beban berat karena harus mengoptimalkan penerimaan di tengah penurunanan ekonomi.
Tentu ini menjadi tantangan yang sulit direalisasikan baik dari segi otoritas pajak maupun wajib pajak. Oleh karena itu, otoritas pajak perlu menggali penerimaan pajak secara optimal dari basis ekonomi yang mengalami peningkatan di masa pandemi.
Salah satu sektor yang mengalami peningkatan dari sisi siklus bisnis atau pelaku pasar adalah pasar modal. Peningkatan ini dapat dilihat dari indikator seperti jumlah single investor identification (SID) yang terdaftar, jumlah new listing efek, dan volume atau frekuensi perdagangan harian.
Pertama, pada awal 2020 pasar modal mencatat SID terdaftar 2.481.724 untuk seluruh produk dan tipe investor. Angka ini naik 32% dari 1.676.606 per Januari 2019. Tren kenaikan berlanjut sampai Maret 2020 ketika Indonesia sudah dalam posisi menghadapi pandemi.
Peningkatan jumlah SID per Maret 2020 secara akumulasi mencapai 55.932. Dan secara akumulatif, jumlah investor pada Juli 2020 sudah mencapai 3,02 juta investor. Jika dikaji lebih jauh, pertumbuhan jumlah SID didominasi reksa dana dan saham masing masing sebesar 30,5% dan 15,88%.
Kedua, new listing efek atau pencatatan efek baru juga menunjukkan performa yang cukup baik. Per Juli 2020 terdapat 41 new listing efek yang didominasi efek saham sebesar 32 dan sisanya obligasi dan lainnya.
Jumlah ini meningkat 21% dari Juli 2019 yang hanya berjumlah 32 new listing untuk semua produk. Peningkatan kinerja ini tentu didorong oleh optimisme korporasi terhadap prospek pertumbuhan investor di tengah ancaman pandemi.
Terakhir adalah nilai transaksi dan frekuensi perdagangan. Walaupun di tengah pandemi, frekuensi perdagangan harian saham meningkat 11,23% yaitu 521.000 kali transaksi dan menjadi top frequency se-ASEAN pada Juli 2020. Di sisi lain, akumulasi nilai transaksi tercatat Rp16,17 triliun.
Kinerja pasar modal di masa pandemi ini menjadi anomali saat sektor sektor lain mengalami keterpurukan. Oleh karena itu, hal ini dapat menjadi angin segar bagi pemerintah untuk dapat mengoptimalkan penerimaan pajak, yang tergerus habis untuk membiayai berbagai insentif.
Optimalisasi Pajak
BEBERAPA kebijakan berikut dapat menjadi pertimbangan otoritas pajak dalam memanfaatkan momentum ini sebagai potensi penggalian pajak yang lebih optimal. Ada paling tidak 3 langkah yang bisa dilakukan.
Pertama, Ditjen Pajak (DJP) perlu melakukan integrasi data jual beli secara digital untuk dapat melacak nilai transaksi harian. Hal ini tentu sangat berguna khusunya untuk produk pasar modal yang dikenai pajak seperti saham.
Integrasi data ini akan membantu DJP melakukan pengawasan apakah skema pemungutan PPh atas penjualan saham dan dividen sudah sesuai dan tidak ada penyelewengan. DJP bisa mengintegrasikan data Bursa Efek Indonesia dan perusahaan sekuritas dengan sistem yang dimiliki DJP.
Kedua, mekanisme pemajakan atas penjualan saham pada umumnya dikenai tarif PPh final sebesar 0,1% dari nilai penjualan bruto. Penghitungan ini tidak memandang apakah nilai direalisasikan dalam keadaan rugi atau sedang untung.
Stagnasi ini menjadi salah satu penyebab optimalisasi pemajakan tidak tercapai. Karena itu, tidak ada salahnya DJP menaikkan tarif penjualan saham dalam range 50-100% dengan kriteria tertentu. Misalnya, kenaikan tarif ini tidak berlaku bagi trader agar tidak terjebak tarif yang terlalu tinggi.
Namun, kenaikan itu berlaku bagi investor yang biasa memegang saham dalam waktu tertentu. Selain mengoptimalkan pajak, hal ini akan mewujudkan keadilan bagi investor mengingat pajak tidak mengenal rugi-untung sehingga trader lebih banyak membayar pajak ketimbang investor.
Terakhir, sudah saatnya UU Pasar Modal direvisi agar sejalan dengan proses bisnis di lapangan saat ini. Salah satu yang menjadi sorotan adalah produk pasal modal. Pada UU, yang berlaku adalah ETF dan warrant. Transaksi derivatif lainnya belum diatur tetapi di lapangan sudah terjadi.
Walaupun pembentukan produk ini sudah diatur dalam POJK, tetapi perlu unifikasi regulasi yang dapat memberikan kepastian hukum lebih kuat. Selain itu, penting agar produk yang sama dipayungi oleh dasar hukum yang sama tinggi pula.
Hal ini tidak semata persoalan hierarki hukum, tetapi terkait dengan kepercayaan dan persepsi pelaku pasar. Pada akhirnya, hal ini akan menjadi indikator baru bagi masyarakat dalam memutuskan masuk ke pasar modal. Sedikit pelaku pasar, sedikit pula pajak yang akan masuk ke kas negara.
Sejauh ini iklim pasar modal memang belum mengalami kontraksi akibat adanya kebijakan fiskal. Namun, ada baiknya jika otoritas pajak melakukan simulasi secara sistematis terhadap kebijakan yang akan dilakukan. Terlebih lagi investasi menjadi salah satu variabel tujuan pembangunan nasional.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
setuju dengan rekomendasi kebijakan seperti ini, stagnasi pemajakan pasar modal perlu direformasi