KITA hidup di zaman krisis sistem pajak (crisis in fiscalibus), kata Lemmens dan Badisco (2014). Pernyataan tersebut tidak berlebihan karena sistem pajak yang ada sekarang lebih bertumpu kepada aturan formal dan mengabaikan moral yang seharusnya menjadi ruh dalam sistem pajak.
Krisis sistem pajak ini dikuatirkan akan berimbas mengikis kewajiban moral masyarakat untuk membayar pajak. Kalau ini terjadi, tentu akan menggerus penerimaan negara melalui pajak.
Menurut Frecknall-Hughes (2020), moral adalah suatu tindakan atau perilaku yang dianggap benar, dapat diterima secara sosial, pantas, dan wajar. Dalam konteks moral pajak (tax morale), artinya sejauh mana motivasi intrinsik seseorang untuk mematuhi pajak. Moral pajak sendiri merupakan kunci untuk hadirnya kepatuhan pajak secara sukarela (Torgler, 2005).
Selama ini, sisi moral manusia berupa aspek kesukarelaan tercermin dari aktivitas filantropi yang bersifat altruisme (OECD, 2003). Sayangnya, aktivitas filantropi belum dikelola dengan baik sebagai modal besar untuk memupuk moral pajak menuju kepatuhan pajak secara sukarela.
Moral pajak akan menjamin kontribusi masyarakat melalui sistem pajak dengan atau tanpa adanya pendekatan yang bersifat memaksa, kadang bahkan di tengah kekosongan hukum pajak. Tak pelak, dari sisi pemerintah, moral pajak menjadi modal penting untuk memupuk kepatuhan pajak.
Keterlibatan gerakan moral dalam sektor pajak juga kian mengemuka. Setidaknya ada beberapa gerakan moral yang dapat menjelaskan pendekatan moral dapat diterapkan untuk mendorong kepatuhan pajak. Bahkan, menciptakan masyarakat yang bangga membayar pajak.
Beberapa contoh gerakan moral pajak dapat kita saksikan bersama, misal peristiwa yang terjadi pada Januari 2020. Yaitu, bersamaan dengan pembukaan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, sebanyak 120 selebriti dan pengusaha kaya dari 8 negara menandatangani surat terbuka. Isinya, menuntut pengenaan pajak yang lebih besar terhadap mereka dalam rangka mengatasi ketimpangan. Surat tersebut sekaligus mendesak agar orang kaya lainnya juga ikut mendeklarasikan untuk dikenakan pajak lebih tinggi, serta menjauhi aktivitas penghindaran dan penggelapan pajak. Lihat juga, salah satu aktor ini meminta dikenai pajak lebih tinggi.
Gerakan-gerakan moral di atas menunjukkan bahwa moral bisa menggugah kesadaran seseorang untuk berperan lebih banyak melalui kontribusi pajak. Dari perspektif ini, pajak tidak lagi dipandang sebagai kontribusi wajib yang dipaksakan atas dasar hukum semata. Tetapi, bergeser menjadi pajak sebagai kontribusi wajib atas dasar hukum dan moral yang digunakan untuk kepentingan masyarakat luas.
Moral dalam Ranah Perencanaan Pajak
Moralitas dalam ranah perencanaan pajak perlu menjadi perhatian lebih. Isunya, tidak hanya sekedar apakah skema perencanaan pajak melanggar (legal) atau tidak melanggar (ilegal) isi hukum pajak yang berlaku. Tetapi, apakah skema perencanaan pajak tersebut sesuai dengan ruh dari tujuan dibuatnya hukum pajak.
Persoalannya bukan sekedar legal atau ilegal secara isi hukum pajak. Ada persoalan lain, yaitu masalah moral ketika pembayaran pajak yang dilakukan tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima. Moral bisa menjadi ‘senjata’ yang ampuh dalam mendorong pembayaran pajak. Memang benar, bahwa moral bukanlah produk hukum yang dapat digunakan untuk memaksa dan mengatur, tetapi moral pajak dapat dijadikan nilai untuk melaksanakan hak dan kewajiban pajak.
Lebih lanjut, saat ini telah terjadi pergeseran perspektif masyarakat mengenai perencanaan pajak. Perencanaan pajak sekarang tidak hanya dimaknai sebagai perencanaan pajak yang legal dan bermoral karena telah sesuai dengan isi hukum pajak, juga bisa dimaknai dengan legal tetapi tidak bermoral jika melanggar ruh dari hukum pajak. Di sinilah peran moral dan etika menjadi suatu ‘ambang batas’ atas perilaku kepatuhan pajak yang bisa diterima.
Dukungan publik, media, lembaga swadaya masyarakat, hingga akademisi telah mengubah standar tata kelola pajak dengan mempertimbangkan unsur moral di dalamnya, khususnya perusahaan multinasional. Singkat kata, strategi Machiavelli dengan pendekatan moral terbukti efektif (van den Hurk, 2014).
Moral Membentuk Kepatuhan
Secara empiris moral pajak terbukti berperan penting dalam meningkatkan kepatuhan sukarela di negara maju maupun berkembang (Ali, et.al., 2014). Belakangan ini pengarusutamaan tema mengenai moral pajak juga dilakukan oleh OECD (2019) dan World Bank (2019).
Berbagai survei, baik oleh Afrobarometer, Asiabarometer, dan Latinobarometro, moral pajak sangat dipengaruhi oleh kepuasan atas pelayanan publik, kepercayaan kepada pemerintah, serta persepsi atas korupsi. Lebih lanjut, studi tentang moral pajak yang dilakukan oleh OECD (2019) memberikan peta bagaimana membangun moral pajak.
Pertama, moral pajak umumnya akan semakin tinggi di negara-negara yang justru memungut pajak lebih banyak. Ada keyakinan bahwa kinerja pemerintah yang efektif, baik dalam belanja maupun pemungutan pajak, telah menciptakan kontrak fiskal yang semakin kokoh dan meningkatkan moral pajak.
Kedua, bagi wajib pajak orang pribadi, moral pajak sangat dipengaruhi oleh umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, religiusitas, serta kepercayaan terhadap pemerintah. Khusus bagi wajib pajak orang pribadi di negara berkembang, pelayanan publik dan kualitas administrasi yang dilakukan otoritas pajak berperan jauh lebih signifikan.
Ketiga, untuk wajib pajak badan, moral pajak akan meningkat selama kepastian dalam sistem pajak tersedia. Kepastian tersebut juga mencakup berbagai aspek, mulai dari perumusan kebijakan dan produk hukum, hingga penyelesaian sengketa pajak (IMF & OECD, 2017).
Keempat, strategi untuk meningkatkan moral pajak bagi wajib pajak orang pribadi mencakup kegiatan edukasi pajak, membenahi kualitas administrasi pajak khususnya terkait kemudahan pelaksanaan kewajiban pajak, serta mengkaitkan antara penerimaan pajak dan belanja negara. Tidak mengherankan jika kini banyak negara berkembang mendesain program edukasi bermuatan kesadaran pajak sejak dari pendidikan dasar hingga lanjutan (OECD, 2015).
Bagaimana Indonesia?
Moral pajak harus dibangun sejak usia dini untuk membentuk masyarakat sadar pajak sebagai modal kepatuhan pajak secara sukarela. Moral pajak juga harus dibangun melalui perumusan kebijakan pajak partisipatif dan transparan, hingga sistem pajak yang mampu mengurangi ketimpangan,
Selain itu, pengelolaan uang pajak yang efisien, dirasakan manfaatnya, dan uang pajak yang tidak diselewengkan. Serta, pengenaan pajak yang mencerminkan aspek keadilan, kepastian hukum, dan didasari dengan itikad baik masing-masing pihak yang berkepentingan akan membangun moral pajak.
Pekerjaan untuk membangun moral pajak bukan merupakan tanggungjawab otoritas pajak semata. Terdapat institusi lain di luar otoritas pajak yang harus ikut bertanggungjawab, misalnya institusi-institusi pengelola anggaran yang berasal dari uang pajak terkait dengan penggunaan uang pajak secara efisien, tetap sasaran, dan tidak disalahgunakan.
Indonesia sebenarnya mempunyai modal untuk membangun moral pajak. Temuan World Giving Index 2018 (CAF, 2018) menarik menjadi penyemangat. Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang paling dermawan di dunia. Artinya, moral orang Indonesia untuk berkontribusi bagi masyarakat sangat tinggi. Tinggal bagaimana strategi untuk mendorong kontribusi mereka secara optimal melalui mekanisme pajak.
Temuan di atas relevan bagi Indonesia untuk melakukan pendekatan berbasis moral pajak dalam rangka untuk meningkatkan kepatuhan sukarela. Akan tetapi, moral pajak bukanlah sesuatu yang dapat diubah secara instan dalam jangka pendek. Kuncinya adalah, edukasi pajak sejak usia dini secara konsisten dan bersabar untuk tidak berharap segera menghasilkan kepatuhan pajak dalam jangka pendek.
Akhir kata, mari kita secara bersama-sama membangun moral pajak sebagai landasan untuk melaksanakan hak dan kewajiban pajak. Selamat Hari Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia, Pajak Kuat Indonesia Maju.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.