TIDAK banyak literatur yang mengulas bagaimana koordinasi peran antara kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter. Buku berjudul ‘Taxing Banks Fairly’ ini merupakan salah satu yang menjembatani peran terebut. Pembahasannya berfokus pada peran kebijakan fiskal ―terutama pajak― untuk memulihkan kondisi perekonomian pascakrisis keuangan global dan memperbaiki pengelolaan sistem perbankan.
Sebagaimana diketahui, banyak pihak yang menganggap bahwa krisis yang terjadi pada kurun waktu 2007 hingga 2009 disebabkan oleh gagalnya manajemen perbankan dalam melakukan kontrol risiko secara internal. Selain itu, sistem tata kelola dan regulasi yang cenderung longgar terhadap sektor perbankan dibandingkan dengan sektor-sektor lain juga disinyalir sebagai faktor utama penyebab terjadinya krisis tersebut (Walker, 2009).
Berangkat dari latar belakang tersebut, buku yang diterbitkan oleh Edward Elgar pada 2014 ini memunculkan berbagai jenis perdebatan berkaitan dengan upaya untuk mengatur perbankan. Terlebih, banyak sekali bank yang mendapatkan special tax regimes. Dengan demikian, kontribusi pemberian fasilitas tersebut terhadap sektor keuangan publik perlu ditinjau ulang agar selaras dengan peran serta risiko yang dihadapi.
Pendekatan yang digunakan pun agak berbeda dari perspektif ekonomi dan politik tradisional yang menganggap pajak sebagai bentuk distorsi pascakrisis. Buku yang dibuka dengan pengantar dari Michael Keen ―Deputi Direktur Departemen Kebijakan Fiskal IMF― ini justru mengulas bentuk pengenaan pajak dan pungutan lain bagi sektor perbankan yang dapat mencerminkan keadilan dan efisiensi dalam perekonomian.
Bahasan efisiensi di sini juga mengarah pada banyaknya moral hazard untuk kasus perpajakan yang dilakukan pada tataran mikro hingga makro. Kasus itu mulai dari penggelapan pajak PPh bagi para pekerjanya hingga kepemilikan aset yang disembunyikan oleh perusahaan sehingga membutuhkan reformasi kebijakan pajak untuk sektor perbankan dan sektor keuangan secara umum.
Berbagai bentuk moral hazard tersebut kemudian dikhawatirkan dapat memunculkan krisis keuangan baru di masa depan. Lebih spesifik lagi, terdapat pula ulasan terkait kerugian wajib pajak karena dana ‘bail out’ untuk menyelamatkan sektor ini justru bersumber dari pajak yang bebannya justru berada di pihak konsumen.
Secara umum, reformasi pajak sektor perbankan pascakrisis bertujuan untuk meningkatkan stabilitas sektor keuangan melalui pencegahan aktivitas transaksi keuangan berisiko tinggi. Dengan kata lain, kebijakan fiskal di sini berperan sebagai stabilisator agar aktivitas moneter di sektor keuangan tetap berjalan dengan kondisi yang diharapkan bagi perekonomian.
Reformasi pajak bagi sektor keuangan, yang diusulkan melalui buku yang dieditori oleh Sajid M. Chaudhry bersama dengan Andrew W. Mullineux ini, berupa kebijakan yang bersifat meregulasi (regulatory taxes) serta kebijakan yang bersifat sebagai sumber penerimaan (fiscal taxes). Lebih lanjut, terdapat pula alternatif jenis pajak yang tepat untuk sektor perbankan dikemukakan dalam buku ini, termasuk Tobin Tax, Financial Transaction Tax (FTT), serta Financial Activities Tax (FAT).
Walaupun mengangkat kondisi di Benua Eropa ―terutama Inggris― buku ini tetap dapat menjadi literatur yang penting bagi para pihak yang berkecimpung di sektor perbankan di Indonesia, baik dari sisi akademisi, praktisi, maupun pembuat kebijakan. Terlebih, Indonesia semakin membutuhkan pembiayaan pemerintah yang akan terus meningkat dalam jangka panjang sedangkan kondisi realisasi penerimaan negara terutama pajak yang selalu mencatatkan adanya shorfall.
Dengan demikian, bukan tidak mungkin sektor perbankan di Indonesia perlu dievaluasi lebih lanjut dari sisi kinerja, kontribusi, serta ‘keadilan’nya, sebagaimana diulas dalam buku ini. Tertarik membaca buku ini? Silakan berkunjung ke DDTC Library.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.