Ilustrasi. (ihsmarkit.com)
ISU pajak internasional menjadi topik yang cukup penting untuk dibahas seiring pesatnya perkembangan transaksi lintas negara (cross-border transactions). Para investor sangat berkepentingan terhadap perkembangan sistem pajak internasional karena menyangkut nilai investasi dan pengembalian modalnya. Di sisi lain, pemerintah di masing-masing negara juga berkepentingan dalam menjamin kepastian hukum fiskal bagi para investor disamping mengamankan pendapatan negara dari sektor pajak.
Dalam konteks kebijakan pajak internasional, pada umumnya terdapat tiga tujuan utama mengapa suatu negara menuangkan ketentuan pajak internasional dalam ketentuan pajak domestiknya. Ketiga tujuan utama tersebut adalah peningkatan pendapatan nasional, kesetaraan, dan efisiensi ekonomi (Holmes, 2007).
Terkait dengan peningkatan pendapatan nasional, sebagaimana dipahami fungsi pajak bagi suatu negara adalah untuk mengisi pundi-pundi penerimaan. Dalam hal ini, suatu negara berkeinginan mengenakan pajak pada subjek pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan dari dalam mauapun dari luar negeri serta pada subjek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari sumber yang berasal dari negaranya.
Oleh sebab itu, suatu negara akan berupaya untuk mendapatkan bagian yang adil (fair share) atas klaim hak pemajakan internasional dengan tetap memperhatikan klaim hak pemajakan negara lain. Lebih lanjut, prinsip kesetaran mengatur bahwa pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh subjek pajak dalam negeri, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, akan diperlakukan secara sama. Prinsip ini diterapkan oleh negara-negara yang menganut asas worldwide income.
Adapun efisiensi ekonomi merujuk pada pengembangan iklim ekonomi yang efisien, yaitu suatu desain sistem pajak internasional yang bersifat netral. Netralitas dapat dicapai jika suatu sistem pajak tidak mendistorsi pilihan-pilihan ekonomi dari subjek pajak. Terdapat dua netralitas utama yang dituju dalam kebijakan pajak internasional, yaitu capital export neutrality dan capital import neutrality. Lantas, apa yang dimakusd dari dua netralitas tersebut?
Capital Export Neutrality & Capital Import Neutrality
Kebijakan capital export neutrality merupakan netralitas yang dimaksudkan agar suatu negara mengenakan beban pajak yang sama terhadap subjek pajak dalam negeri yang melakukan investasi di negaranya sendiri (domestic investment) maupun ketika subjek pajak dalam negeri tersebut melakukan investasi di negara lain (foreign investment).
Dengan demikian, dalam capital export neutrality, subjek pajak dalam negeri tidak diperlakukan berbeda jika melakukan aktivitas investasi di dalam maupun di luar negeri. Pada umumnya, negara-negara maju lebih memilih untuk menerapkan kebijakan capital export neutrality.
Gambar 1 - Capital Export Neutrality
Sumber: Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi, Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional (Jakarta: DDTC, 2010), 8.
Secara sederhana, kemana pun wajib pajak berinvestasi, beban pajak yang harus dibayar haruslah sama, sehingga tidak ada bedanya bila berinvestasi di dalam atau luar negeri. Dalam konteks Indonesia, hal ini melandasi adanya Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang mengatur soal kredit pajak luar negeri.
Sebaliknya, negara-negara berkembang cenderung memilih untuk menerapkan kebijakan capital import neutrality, yaitu netralitas yang dimaksudkan agar suatu negara mengenakan beban pajak yang sama atas penghasilan yang bersumber di suatu negara tanpa membedakan negara yang menerima penghasilan tersebut. Atau dengan kata lain, dalam capital import neutrality, perlakuan pajak suatu negara atas investasi yang masuk dari dalam maupun luar negeri adalah sama.
Gambar 2 - Capital Import Neutrality
Sumber: Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi, Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional (Jakarta: DDTC, 2010), 9.
Dengan adanya capital import neutrality, dari mana pun investasi berasal akan dikenakan pajak yang sama, sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal inilah yang melandasi UU PPh di Indonesia yang memberi hak pemajakan yang sama antara wajib pajak dalam negeri (WPDN) dan wajib pajak luar negeri yang berbentuk permanent establishment (PE) atau bentuk usaha tetap (BUT).
Perlu diperhatikan bahwa netralitas di atas tidak bergantung pada ketentuan domestik satu negara saja, tetapi juga dipengaruhi oleh ketentuan domestic negara lain. Hal ini menjadi semakin relevan di era globalisasi, yaitu ketika dana investasi dapat secara bebas mengalir dari satu negara ke negara lainnya sehingga ketentuan domestik suatu negara dapat saja mendistorsi pilihan ekonomi subjek pajak di negara lain.
Fakta bahwa belum terdapatnya koordinasi kebijakan pajak secara global, menyebabkan sering terjadinya distorsi dalam pilihan ekonomi dan timbulnya kompetisi pajak internasional antara satu negara dengan negara lainnya.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.