LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Melihat Kembali Efektivitas Pajak E-Commerce

Redaksi DDTCNews | Senin, 20 Januari 2020 | 19:01 WIB
Melihat Kembali Efektivitas Pajak E-Commerce
Joshua Michael Selano
Bandung
, Jawa Barat

PERDAGANGAN elektronik atau e-commerce merupakan model bisnis modern yang sudah semakin populer pada era digitalisasi ini. Fenomena ini juga dirasakan Indonesia yang memiliki nilai transaksi digital yang terbesar di Asia Tenggara yaitu US$21 miliar pada 2019.

Lebih menarik lagi, pada 2025 Indonesia diperkirakan akan memiliki jumlah transaksi e-commerce US$82 miliar. Di sisi lain, pesaing terdekat Indonesia adalah Vietnam dengan jumlah transaksi hanya US$23 miliar pada 2025 (Google Temasek, 2019).

Dengan melihat fakta tersebut, upaya Pemerintah Indonesia untuk mengejar pajak e-commerce menjadi sangat masuk akal karena potensi penerimaan pajaknya sangat besar. Potensi pajak digital ini juga dapat membantu pemerintah dalam merealisasikan target penerimaan pajak.

Pemerintah tentu membutuhkan strategi yang lebih efektif agar dapat mencapai target penerimaan yang selama 10 tahun terakhir selalu meleset. Ditjen Pajak (DJP) tentu membutuhkan strategi yang tepat untuk memaksimalkan penerimaan pajak e-commerce.

Untuk itu, kami mengusulkan upaya mengoptimalkan penerimaan pajak dengan implementasi perpajakan e-commerce untuk pertumbuhan nasional, atau disingkat Retargeting (reoptimizing tax revenue with goal-oriented e-commerce taxation implementation for national growth).

Retargeting merupakan kerangka kerja untuk menjawab berbagai tantangan agar pemungutan pajak perusahaan e-commerce menjadi lebih efektif dan efisien. Komponen retargeting itu terdiri atas kebijakan hukum, infrastruktur digital, dan sumber daya manusia.

Ketiga komponen itu merupakan kriteria yang harus dipenuhi untuk menggali penerimaan pajak e-commerce. Istilah retargeting memiliki tujuan mencapai target realisasi penerimaan pajak yang kian meningkat dengan mengkaji ulang beberapa aspek penerapan kebijakan perpajakan e-commerce.

Kebijakan yang berkaitan dengan pemungutan pajak e-commerce sebenarnya telah disusun dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-commerce).

PMK ini seharusnya berlaku pada 1 April 2019. Namun, akhirnya peraturan ini dicabut sebelum diberlakukan karena menimbulkan ambiguitas, seolah-olah pemerintah mengeluarkan jenis pajak baru yang akan merugikan para pemain dalam bisnis digital.

Pada 20 November 2019, pemerintah merilis Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 mengenai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang fokus pada perusahaan sejenis Netflix yang tidak termasuk jenis Bentuk Usaha Tetap (BUT), tetapi penghasilannya berasal dari Indonesia.

Di masa datang, pemerintah harus mengkaji dan menyusun kebijakan yang lebih efektif dan efisien karena saat ini belum ada kejelasan perbedaan tarif dari berbagai macam sektor industri e-commerce, insentif pajak untuk sektor e-commerce, dan peraturan untuk e-commerce pada sosial media.

Saat ini, pelaku bisnis beranggapan pemerintah hanya memungut pajak dari marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee. Pedagang online di sosial media seperti Facebook dan Instagram tidak dikenakan pajak. Variabel ini sebaiknya diakomodasi agar kepastian hukum pajak dapat tercapai.

Infrastruktur Digital
SEBAGIAN besar perusahaan e-commerce menyimpan data keuangan mereka secara digital, sehingga otoritas pajak akan kesulitan menentukan besaran pajak yang terutang pada wajib pajak e-commerce apabila Ditjen Pajak (DJP) tidak memiliki infrastruktur digital yang memadai.

Karena itu, DJP harus menerapkan teknologi terbaru untuk memaksimalkan penerimaan pajak dari perusahaan e-commerce. Salah satunya adalah big data analysis dan artificial intelligence. Kedua teknologi ini akan mendukung DJP saat akan mengevaluasi data keuangan e-commerce.

Dengan big data analysis, DJP mampu mendapatkan visualisasi data yang lebih baik, sehingga lebih mudah memahami karakteristik keuangan perusahaan dan proses bisnis e-commerce sektor industri apa pun. Kemudahan tersebut akan memaksimalkan keakuratan perhitungan jumlah pajak terutang.

Selain itu, untuk menjalankan big data analysis dibutuhkan artificial intelligence guna memprosesnya secara cepat dan akurat, sehingga output visualisasi datanya lebih efektif dan efisien. Selain itu, proses data crunching yang dilakukan juga membutuhkan artificial intelligence agar prosesnya lebih cepat.

Adapun, kriteria terakhir kerangka kerja retargeting ini adalah terkait dengan peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) DJP. Kemampuan mengoperasikan sistem, analisis data, dan advanced judgement menjadi sangat krusial karena bagaimanapun yang menjalankan infrastruktur itu manusia.

Tanpa peran SDM unggul, penerimaan pajak e-commerce di Indonesia tidak akan menjadi maksimal. Karena itu, apabila ketiga komponen Retargeting dapat dipenuhi, penerimaan pajak e-commerce akan menjadi kian optimal dan membantu DJP merealisasikan target penerimaan pajaknya.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

29 Januari 2020 | 06:14 WIB

Tulisan yang impresif,lugas dan isi mengenai pajak e commerce sesuai dengan kondisi saat ini yang mana pemerintah perlu sumber pajak baru lagi..

21 Januari 2020 | 11:53 WIB

Perkembangan penjualan online yang begitu besar saat ini memerlukan Kebijakan dari Pemerintah mengenai Perpajakan dengan memperhatikan kepentingan baik penjual dan pembeli sehingga pajak menjadi tanggung jawab bersama untuk meningkatkan penghasilan Pajak bagi negara dan ada insentif juga bagi yang dikenakan pajak

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 09:45 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Memunculkan Fitur Transparansi Pajak di Platform Online Terintegrasi

BERITA PILIHAN