“LEGAL remittance responsibility describes the legal requirement to send an amount of tax liability to government on behalf of others” (Milanez, 2017).
Mengutip kalimat tersebut, legal remittance responsibility dapat dipahami sebagai persyaratan hukum untuk menyetorkan kewajiban pajak pihak lain kepada pemerintah. Konsep legal remittance responsibility kerap dikaitkan dengan mekanisme withholding tax dalam pajak penghasilan (PPh).
Namun, perlu dipahami, konsep legal remittance responsibility tidak hanya terbatas pada mekanisme withholding tax. Legal remittance responsibility juga mencakup pemungutan dan penyetoran pajak pertambahan nilai (PPN) ataupun pajak penjualan yang umumnya diimplementasikan di negara-negara OECD. Lantas, mengapa dan bagaimana konsep legal remittance responsibility diterapkan?
SEBAGAIMANA dinyatakan oleh Bird (2002), korporasi dianggap sebagai pihak yang memiliki informasi atas penghasilan pihak lain karena tingginya interaksi aktivitas ekonomi dengan wajib pajak lainnya. Selain itu, korporasi merupakan wajib pajak yang relatif memiliki tata kelola kepatuhan perpajakan yang lebih baik dibandingkan dengan wajib pajak orang pribadi dan masyarakat yang berada di luar radar otoritas pajak.
Dengan pertimbangan tersebut, konsep legal remittance responsibility akhirnya sering diterapkan dalam konteks pemotongan/pemungutan pajak oleh korporasi. Secara umum, dalam konsep legal remittance responsibility, pemerintah mendelegasikan kepada wajib pajak (pihak ketiga) untuk memotong atau memungut pajak. Nantinya, pajak yang telah dipotong atau dipungut tersebut disetorkan kepada pemerintah.
Bagi pemerintah, konsep ini tentunya akan menghasilkan penerimaan pajak secara otomatis. Tak hanya itu, kehadiran legal remittance responsibility berdampak pada efektivitas peningkatan kepatuhan dan rendahnya biaya administrasi pemungutan pemerintah (administrative cost).
Hal tersebut dibuktikan dengan studi yang dilakukan Milanez (2017) di 24 negara OECD. Berdasarkan pada studinya, Milanez menemukan rata-rata sebesar 78,8% dari total penerimaan pajak di 24 negara OECD pada 2014 berasal dari setoran wajib pajak badan. Setoran tersebut meliputi atas pajak yang memang ditanggung oleh wajib pajak badan (legal tax liability) serta yang dibantu pemungutannya oleh wajib pajak badan (legal remittance responsibility).
Namun, di sisi lain, wajib pajak yang berperan sebagai pihak pemotong/pemungut menanggung beban administrasi tambahan. Pasalnya, korporasi tidak hanya bertanggung jawab atas biaya kepatuhan pajaknya sendiri, tetapi juga menanggung biaya dalam memotong/memungut dan menyetorkan pajak yang seharusnya menjadi tanggungan wajib pajak lain (Milanez, 2017).
Apabila terdapat kekeliruan ataupun keterlambatan dalam pemungutan/pemotongan dan penyetoran pajak, pihak pemungut/pemotong tersebut akan dibebani dengan sanksi administrasi (Vossler & McKee, 2015). Alhasil, mekanisme ini membebani pihak lain yang ditunjuk sebagai agen pemungut atau pemotong pajak.
Kondisi ini dapat diperburuk dengan adanya kecerobohan saat mendesain mekanisme pemotongan/pemungutan pajak serta instrumen pendukungnya. Kecerobohan dalam desain bahkan berpotensi menimbulkan biaya dan reaksi yang kontraproduktif dengan upaya meningkatkan kepatuhan.
PENERAPAN legal remittance responsibility di Indonesia dilakukan sehubungan dengan penghasilan, pembayaran, ataupun penyerahan barang dan/atau jasa dengan persentase tertentu yang telah diatur oleh undang-undang, serta menyetorkannya kepada pemerintah.
Besarnya tanggung jawab pemotongan/pemungutan pajak yang diemban oleh wajib pajak sebetulnya dapat tercermin dari kontribusi penerimaan withholding tax dan PPN terhadap total penerimaan pajak di Indonesia.
Sebagai informasi, persentase penerimaan PPh Pasal 21, 22, dan 23 selama 2016-2020 yang berada di kisaran 17%-20%. Angka tersebut belum mengikutsertakan kontribusi jenis pajak yang lain yang disetorkan pihak pemotong/pemungut seperti PPN, PPnBM, ataupun PPh final.
Namun, perlu dipahami bahwa biaya kepatuhan dari pihak ketiga yang diserahkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan pajak pihak lain sebenarnya bertentangan dengan prinsip kesederhanaan.
Dengan demikian, ada baiknya pemerintah meninjau ulang skema legal remittance responsibility dan peran sentral korporasi (perusahaan) dalam sistem pajak. Peninjauan ulang perlu memperhatikan keseimbangan antara tingkat kepatuhan dan biaya kepatuhan yang ditimbulkan.
Sebagai catatan, skenario remittance rule sesungguhnya merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas informasi dan bukan semata-mata berorientasi kepada penerimaan yang bisa diperoleh dari legal remittance responsibility tersebut. Selain itu, peran signifikan dari korporasi dalam skema legal remittance responsibility juga seyogianya dipertukarkan dengan adanya suatu pelayanan prima, kemudahan restitusi, dan penghargaan.
Korporasi seharusnya tidak terlalu dibebani dengan sanksi yang berasal dari ketidakpatuhan wajib pajak lain yang sebagian kewajiban pajaknya telah dibantu olehnya. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi pemerintah meletakkan paradigma hubungan yang setara dan saling percaya (Darussalam, et al., 2019).
Selengkapnya pembahasan mengenai legal remittance responsibility dan hubungannya dengan biaya kepatuhan telah diulas secara komprehensif dalam buku Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Buku setebal 629 halaman ini disusun oleh para periset DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA).
Buku tersebut disunting langsung oleh Managing Partner DDTC Darussalam, Senior Partner DDTC Danny Septriadi, serta Partner of Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji. Tertarik membaca buku ini? Silakan membacanya di Perpajakan ID atau kunjungi langsung DDTC Library!
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.