PAJAK PENGHASILAN

Konsep Biaya Pengurang Penghasilan Bruto untuk Tujuan Pajak

Rabu, 29 Januari 2020 | 11:53 WIB
Konsep Biaya Pengurang Penghasilan Bruto untuk Tujuan Pajak
Darussalam,
Managing Partner DDTC

SALAH satu gagasan utama dalam penerapan sistem Pajak Penghasilan (PPh) adalah PPh dikenakan atas penghasilan neto (Ault dan Arnold, 2010). Oleh karena itu, untuk menghitung PPh terutang, wajib pajak perlu mengetahui terlebih dahulu besarnya penghasilan neto yang diperoleh wajib pajak dalam suatu tahun pajak. Penghasilan neto tersebut dapat diperoleh dari penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang berkaitan dengan penghasilan tersebut (Yonah, Satori, dan Marian, 2014). Biaya-biaya ini dikenal dengan istilah biaya pengurang penghasilan bruto atau deductible expense.

Pada dasarnya, biaya pengurang penghasilan bruto seringkali dianggap sebagai biaya yang dibebankan oleh wajib pajak sebagai upaya untuk memperoleh penghasilan. Penetapan biaya apa saja yang dapat dijadikan pengurang pun sarat akan ideologi suatu negara serta pilihan kebijakan yang mempertimbangkan kepentingan ekonomi dari negara tersebut.

Kepentingan ideologi dan ekonomi membuat penerapan gagasan mengenai biaya pengurang penghasilan bruto memiliki bentuk yang berbeda-beda di tiap negara. Ada negara yang sistem PPh-nya menetapkan bahwa semua biaya yang berhubungan dengan penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan, kecuali jika dibatasi. Sementara itu, di beberapa negara lainnya, pengurangan dibatasi untuk biaya-biaya yang lebih spesifik.

Adanya perbedaan ini menimbulkan pertanyaan, yaitu adakah bentuk ideal dari penerapan biaya pengurang penghasilan yang disepakati oleh negara-negara?

Prinsip Umum dan Permasalahan

Meskipun penerapan biaya pengurang penghasilan bruto memiliki bentuk yang berbeda-beda, hampir semua sistem PPh yang dianut negara di dunia telah mengakui bahwa secara umum biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto harus memiliki hubungan dengan kegiatan yang dikenai pajak. Prinsip umum lainnya adalah pengeluaran yang terkait dengan kegiatan atau kepentingan pribadi seharusnya tidak dapat menjadi pengurang dalam menghitung besarnya PPh terutang (Burke, 1989).

Sayangnya, dalam praktik, prinsip umum di atas tidak selalu diterapkan secara utuh. Akibatnya, penentuan biaya apa saja yang boleh menjadi pengurang dan tidak boleh menjadi pengurang terkadang masih mengundang “keambiguan”. Terutama bagi biaya yang memiliki karakter sebagai biaya kegiatan usaha sekaligus kegiatan pribadi atau disebut pula dengan mixed business and personal expenses.

Tidak jarang, respons tiap negara atas permasalahan ini pun berbeda-beda. Ada yang memutuskan untuk menjadikan biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto, ada pula yang tidak memperbolehkan pengurangan tersebut terjadi (Ault dan Arnold, 2010).

Salah satu biaya yang memiliki karakter mixed business and personal expenses adalah biaya perjalanan ke tempat kerja. Berdasarkan perspektif kegiatan usaha, biaya perjalanan ke tempat kerja diperlukan agar wajib pajak dapat melakukan kegiatan untuk mendapatkan penghasilan. Namun, di sisi lain, biaya ini juga terikat dengan kepentingan pribadi, seperti lokasi tempat tinggal dan sarana transportasi yang digunakan wajib pajak.

Adanya “sifat campuran” yang dimiliki biaya ini menimbulkan perdebatan dalam menentukan apakah biaya ini merupakan pengurang penghasilan bruto atau bukan. Namun, jawaban pertanyaan ini bergantung pada masing-masing negara.

Di Amerika Serikat, biaya perjalanan ke tempat kerja, yang didefinisikan sebagai perjalanan dari tempat tinggal pribadi wajib pajak ke tempat kerja, telah sejak lama dianggap sebagai biaya atau pengeluaran pribadi yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan bruto (McCaffery, 2012).

Pendekatan yang berbeda atas biaya perjalanan ke tempat kerja diterapkan oleh beberapa negara di Eropa. Di beberapa negara Eropa, biaya ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Alasannya, pilihan pribadi wajib pajak untuk menentukan di mana ia tinggal tidak semata-mata didasarkan pada kehendak wajib pajak tersebut. Oleh karena itu, beberapa negara memutuskan menjadikan biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan. Sebagai contoh, Jerman dan Swedia (Yonah, Satori, dan Marian, 2014).

Contoh lainnya dari biaya yang memiliki karakter mixed business and personal expenses adalah biaya seragam atau pakaian kerja. Di Amerika Serikat, biaya ini boleh menjadi pengurang hanya jika ditujukan untuk pembuatan seragam yang dipersyaratkan oleh pemberi kerja. Alasannya, pakaian pada umumnya merupakan pilihan pribadi dari masing-masing individu meskipun dalam paktiknya pakaian tersebut tidak akan digunakan di luar pekerjaan. Ketentuan yang sama juga diterapkan oleh Kanada, Prancis, dan Jerman.

Penerapan Biaya Pengurang Penghasilan Bruto di Indonesia

Respons tiap negara terkait biaya yang memiliki karakter sebagai biaya kegiatan usaha sekaligus kegiatan pribadi di atas memperlihatkan bahwa penentuan biaya apa saja yang diperbolehkan untuk menjadi pengurang penghasilan bruto merupakan kewenangan setiap negara. Tidak heran jika jenis-jenis biaya pengurang penghasilan bruto antara satu negara dan negara lainnya bisa berbeda-beda.

Di Australia, misalnya. Negara ini menetapkan dua syarat dalam menentukan apakah suatu pengeluaran atau biaya merupakan biaya pengurang penghasilan bruto. Pertama, pengeluaran atau biaya tersebut timbul ketika memperoleh atau memproduksi penghasilan. Kedua, pengeluaran atau biaya tersebut digunakan dalam menjalankan kegiatan usaha untuk tujuan memperoleh dan memproduksi penghasilan (Deutsch et al, 2013).

Selain itu, Australia, melalui Income Tax Assessment Act 1977, membagi biaya pengurang penghasilan bruto berdasarkan peruntukannya, yaitu biaya pengurang penghasilan bruto untuk individual dan biaya pengurang penghasilan bruto untuk kegiatan usaha (The Australian Government the Treasury, 2011). Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Penerapan biaya pengurang penghasilan bruto di Indonesia telah dimulai sejak masa berlakunya Ordonansi Pajak Pendapatan dan Ordonansi Pajak Perseroan yang merupakan cikal bakal sistem PPh di Indonesia. Pada masa ini, biaya pengurang penghasilan bruto dikenal dengan istilah biaya untuk memperoleh, memungut, dan mempertahankan hasil. Namun, sejak diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 1983, istilah ini kemudian diubah menjadi ”biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.”

Perubahan lainnya yang terjadi sebelum dan sesudah UU Nomor 7 Tahun 1983 berlaku adalah mengenai jenis biaya penghasilan bruto. Sebelum UU Nomor 7 Tahun 1983, jenis biaya penghasilan bruto masih bersifat terbatas. Sementara itu, dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 dan perubahannya, jenis biaya ini lebih luas. Perluasan ini diyakini untuk mengakomodir perubahan kondisi ekonomi dan sosial di tengah masyarakat (Soemitro, 1984).

Meskipun dari masa ke masa terjadi perubahan terkait penerapan biaya pengurang penghasilan bruto di Indonesia, baik perubahan istilah maupun jenis dan contoh biayanya, prinsip umum yang digunakan Indonesia dalam menetapkan biaya pengurang penghasilan bruto tetaplah sama. Pertama, biaya tersebut adalah biaya yang berhubungan dengan kegiatan usaha. Kedua, kegiatan usaha tersebut dilakukan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai pajak. Ketiga, biaya tersebut bukan untuk keperluan atau kepentingan pribadi.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 08:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Tahap Pra-Implementasi Aplikasi Coretax, DJP Imbau WP Soal Ini

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

BERITA PILIHAN