Partner Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji.
DEPOK, DDTCNews – Reformasi pajak masih terus dilakukan oleh pemerintah. Komitmen politik jadi kunci untuk menuntaskan reformasi yang tengah dijalankan.
Partner Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan hal tersebut saat menjadi pembicara dalam acara bedah buku berjudul 'Pajak dan Pendanaan Peradaban Indonesia'. Menurutnya, komitmen politik menjadi salah satu faktor penting berjalannya program reformasi.
“Sering kali kemauan politik yang menjadi salah satu penyebab agenda reformasi pajak bisa dilakukan atau tidak," katanya dalam acara yang menjadi bagian dari peringatan Dies Natalis ke-5 FIA Universitas Indonesia tersebut, Kamis (5/3/2020).
Menurutnya, ada tiga aspek lain yang menjadi ukuran keberhasilan pemungutan pajak yang dibahas dalam buku karya Gatot Subroto tersebut. Seperti diketahui, buku ini menjadi edisi perdana Seri Pajak dan Pembangunan yang diterbitkan oleh DDTC Fiscal Research.
Pertama, kontraprestasi yang dilakukan negara atas pungutan pajak yang diambil dari masyarakat. Aspek ini berkorelasi kepada kualitas belanja pemerintah yang bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang sudah membayar pajak.
Kedua, bagaimana kontak fiskal antara masyarakat dan negara dijalankan. Ketiga, terkait kondisi masyarakat. Bawono menuturkan aspek kontrak fiskal dan kondisi masyarakat berkaitan erat terhadap optimalisasi pemungutan pajak.
Dia menyebutkan kondisi terkait pajak di tengah masyarakat Indonesia lebih banyak dilandasi oleh situasi yang tidak menyenangkan. Menurutnya, sejak era kerajaan hingga masa penjajahan, instrumen pajak digunakan dengan cara pemaksaan.
Iuran upeti dari era kerajaan menjadi salah satu bentuk tunduknya satu wilayah kepada wilayah lainnya. Kemudian, skema pungutan dengan eksploitasi menjadi trauma masyarakat bila dihadapkan dengan urusan pajak. Sayangnya, stigma yang melekat selama ratusan tahun ikut terbawa pascakemerdekaan Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan restorasi kontrak fiskal yang kemudian dibutuhkan menumbuhkan kelompok masyarakat melek pajak. Dengan demikian, persepsi bahwa pungutan pajak itu menyusahkan seperti warisan masa lalu dapat secara perlahan dikikis dengan menumbuhkan kesadaran pajak.
"Trauma atas pajak dari praktik kolonialisme ini sayangnya terbawa sampai Indonesia merdeka, dan hal itu dapat dilihat dengan indikator tax ratio yang tidak bergerak drastis sejak 1970-an. Untuk menuntaskan agenda reformasi pajak kita dapat belajar dari masa lalu. Kini, penggunaan teknologi akan berperan penting dalam melakukan perbaikan," jelasnya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.