Ilustrasi.
SETIAP pemilik NIK harus bayar pajak? Begitulah kira-kira respons yang cukup banyak muncul dari publik setelah dimuatnya ketentuan penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Pemerintah sudah menjawab sekaligus meluruskan respons publik tersebut. Pembayaran pajak tetap melihat ketentuan yang berlaku, termasuk adanya batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan aspek lainnya. Terlepas dari itu, respons publik itu menyiratkan masih krusialnya peran edukasi pajak.
Integrasi basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan, sesuai dengan pernyataan pemerintah, ditujukan pada tujuan penyederhanaan administrasi dan kepentingan nasional. Harapannya, wajib pajak orang pribadi lebih mudah memenuhi hak dan kewajiban perpajakan.
Ide integrasi NIK dan NPWP hampir pasti juga dipengaruhi perkembangan teknologi digital. Terlepas dari pro-kontranya, digitalisasi yang mulai masif pada era sekarang memang dapat digunakan untuk memperbaiki berbagai macam urusan administrasi, termasuk dalam bidang pajak.
Tiap penduduk Indonesia sudah terlanjur memiliki banyak nomor identitas dengan penerbit dan keperluan yang berbeda-beda. Untuk meleburnya menjadi satu identitas tunggal tentu bukanlah persoalan mudah. Perlu dilakukan secara bertahap dengan peran digitalisasi.
Forum on Tax Administration OECD dalam Tax Administration 3.0: The Digital Transformation (2020) menyatakan digitalisasi membuat administrasi perpajakan makin terintegrasi dengan keseluruhan urusan pemerintahan. Perpajakan akan lebih banyak digabungkan dengan layanan dan fungsi lainnya.
Adanya satu identitas digital akan mendukung koneksi tanpa batas antara proses dan sumber data. Pembayaran, manfaat, dan pengembalian pajak dicocokkan dan diseimbangkan dari perspektif warga negara dan dunia usaha.
Dengan demikian, kemudahan tidak hanya didapatkan wajib pajak, tetapi juga otoritas. Dalam konteks Indonesia, integrasi data akan memudahkan pengawasan kepatuhan wajib pajak. Dengan sistem self-assessment, keberadaan data penguji menjadi krusial.
Selama ini, Ditjen Pajak (DJP) juga sudah menerima banyak data pihak ketiga sesuai dengan amanat Pasal 35A UU KUP dan Pasal 8 UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
Sampai di sini sebenarnya kita sudah melihat ada benang merah untuk mencapai tujuan baik dari sisi wajib pajak maupun otoritas. Namun, ada beberapa aspek yang tetap perlu dipikirkan pemerintah. Pertama, skema implementasi penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi.
Kedua, implikasi kebijakan ini terhadap ketentuan perpajakan yang selama ini diatur. Salah satunya mengenai adanya beberapa aturan pembayaran pajak yang lebih tinggi untuk orang yang tidak memiliki NPWP.
Ketiga, implikasi kebijakan terhadap isu kerahasiaan data. Dalam aspek ini, pemerintah harus memastikan semua proses tidak menabrak regulasi mengenai kerahasiaan data. Pada saat yang bersamaan, sistem teknologinya juga harus dipastikan aman.
Beberapa aspek itu setidaknya perlu dipikirkan dari sekarang. Apalagi, hingga saat ini, pemerintah mengaku masih menyusun berbagai ketentuan dan infrastruktur pendukung implementasi penggunaan NIK sebagai NPWP orang pribadi. Kita nantikan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.