Gedung Mahkamah Konstitusi (foto: Antara)
JAKARTA, DDTCNews - Mahkamah Konstitusi bakal menggelar sidang atas permohonan pengujian materiil terhadap ketentuan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) pada Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Pemohon bernama Surianingsih dengan kuasa hukum Cuaca Teger dan Shinta Donna Tarigan. Menurut pemohon, dirinya berpotensi mengalami kerugian akibat Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP. Sebab, bukper dilakukan dengan cara upaya paksa dan pemohon wajib mengikuti upaya paksa tersebut tanpa bisa menggugat apabila terdapat kesalahan prosedur dalam pemeriksaan bukper.
"Tidak ada jaminan posisi seimbang dalam prosedur pemeriksaan bukper pidana perpajakan yang dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap pemohon," tulis pemohon dalam permohonannya, dikutip pada Kamis (24/8/2023).
Rencananya, sidang pemeriksaan pendahuluan akan digelar pada 28 Agustus 2023. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 43A ayat (1) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, dirjen pajak memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan.
Dalam ayat penjelasnya, ditegaskan pemeriksaan bukper memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana.
Menurut pemohon, pemeriksaan bukper tidak dapat dipersamakan dengan penyelidikan. Apabila dibandingkan, terdapat perbedaan pengertiaan yang signifikan antara pemeriksaan bukper dalam UU KUP dan penyelidikan menurut KUHAP.
Pemohon menyatakan tujuan pemeriksaan bukper ialah untuk mendapatkan bukper tentang dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan, sedangkan tujuan penyelidikan adalah untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.
Menurut pemohon, pengertian pemeriksaan bukper justru identik dengan pengertian penyidikan. Pemohon menilai pemeriksaan bukper dan penyidikan memiliki tujuan yang sama yaitu mendapatkan bukti terkait dugaan tindak pidana yang terjadi.
Selanjutnya, apabila meninjau kewenangan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dalam melakukan pemeriksaan bukper sebagaimana diatur dalam PMK 177/2022, kewenangan PPNS dalam pemeriksaan bukper memiliki kemiripan dengan kewenangan dalam rangka penyidikan.
"Terlihat telah ada upaya paksa yang dilakukan dalam proses pemeriksaan bukper. Bahkan sebagian besar kewenangan pemeriksa dalam pemeriksaan bukper merupakan kewenangan yang bersifat memaksa (pihak lain)," tulis pemohon.
Upaya-upaya paksa tersebut contohnya meminjam dan memeriksa dokumen wajib pajak, mengakses data wajib pajak, memeriksa tempat tertentu yang diduga menjadi tempat penyimpanan dokumen, menyegel ruangan tertentu, hingga meminta keterangan atau bukti dari pihak ketiga.
Menurut pemohon, kewenangan-kewenangan ini justru merupakan kewenangan dalam rangka penyidikan, bukan penyelidikan.
"Ditinjau dari kewenangan apa saja yang dapat dilakukan saat pemeriksaan bukper, menunjukkan bahwa pemeriksaan bukper merupakan bagian dari penyidikan. Pemeriksaan bukper merupakan satu kesatuan dengan penyidikan, bukan dua hal yang terpisah," jelas pemohon.
Walau terdapat upaya paksa yang dilakukan oleh PPNS dalam rangka pemeriksaan bukper, upaya paksa tersebut tidak dapat digugat melalui praperadilan di pengadilan negeri ataupun pengadilan tata usaha negara (TUN).
"Hal ini menunjukkan tidak ada keseimbangan hukum dan perlindungan hak asasi manusia bagi wajib pajak yang diperiksa dalam pemeriksaan bukper tindak pidana perpajakan," sebut pemohon.
Pemohon lantas meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyatakan frasa pemeriksaan bukper sebelum penyidikan pada Pasal 43A ayat (1) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai pemeriksaan bukper yang merupakan bagian dari penyidikan.
Pemohon juga meminta MK untuk menyatakan frasa tata cara pemeriksaan bukper tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan PMK dalam Pasal 43A ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.