MYANMAR

Kena Pajak Tinggi, Industri Konstruksi Terancam Gulung Tikar

Redaksi DDTCNews | Kamis, 01 Februari 2018 | 15:15 WIB
Kena Pajak Tinggi, Industri Konstruksi Terancam Gulung Tikar

NAYPYITAW, DDTCNews – Sektor industri konstruksi di Myanmar tengah menghadapi tekanan berat dari penerapan pajak tinggi. Bila tidak ada koreksi dari pemerintah, bukan tidak mungkin ancaman kebangkrutan menanti di depan mata.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua asosiasi pengusaha konstruksi U Shein Win. Tarif pajak tinggi dan penerapan tingkat suku bunga bank saat ini dinilainya sudah tidak masuk akal.

“Tingginya tarif pajak dan tingkat suku bunga menyebabkan pengusaha konstruksi banyak menerima pukulan. Penjualan dan pembelian properti menjadi sangat lambat. Jika situasi ini berlanjut, sektor konstruksi bisa runtuh dan berhenti beroperasi,” katanya, Senin (29/1).

Baca Juga:
Pacu Ekonomi, Wamenkeu Harap PPN Rumah DTP Makin Banyak Dimanfaatkan

Seperti yang diketahui, Myanmar mengenal pajak keuntungan atas modal (capital gain) dari penjualan properti sebesar 30%. Aturan ini yang kemudian membuat laju bisnis properti terhambat dan bahkan tertinggal dari negara lain di kawasan Asia Tenggara.

“Undang-Undang yang berlaku saat ini harus diamandemen atau untuk sementara ditangguhkan penerapannya. Negara setidaknya harus mengurangi tarif pajak menjadi 5% untuk memulihkan industri ini,” jelas U Shein Win dilansir Myanmar Times.

Menurutnya, dengan pengurangan atau perombakan aturan maka dapat menguntungkan baik pemerintah maupun sektor swasta. Pasalnya dengan penurunan tarif akan memacu industri untuk kembali bergeliat. Secara langsung pemerintah akan mendapatkan lebih banyak pemasukan pajak dari meningkatnya industri konstruksi.

Baca Juga:
Belanja Pajak Sektor Konstruksi dan Real Estate Negatif, Apa Artinya?

Dia lantas mencontohkan kebijakan pemerintah di tahun 2015 yang memangkas pajak keuntungan menjadi 15%. Saat itu, penerimaan pajak melonjak menjadi 122 miliar kyat atau US$84 miliar. Namun, setelah tarif pajak kembali pada level 30% terjadi penurunan penerimaan pajak dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2016 sebesar 65 miliar kyat atau US$ 49 miliar dan turun lagi pada 2017 yang hanya sebesar 25 miliar kyat atau US$18 miliar.

“Kami telah mengajukan permohonan banding ke Kementerian Keuangan untuk memotong tarif pajak yang berlaku saat ini. Meski telah mengantongi persetujuan dari kabinet perlu beberapa waktu sebelum aturan ini diimplementasikan karena butuh persetujuan parlemen,” tutupnya. (Amu)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?