NAYPYITAW, DDTCNews – Sektor industri konstruksi di Myanmar tengah menghadapi tekanan berat dari penerapan pajak tinggi. Bila tidak ada koreksi dari pemerintah, bukan tidak mungkin ancaman kebangkrutan menanti di depan mata.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua asosiasi pengusaha konstruksi U Shein Win. Tarif pajak tinggi dan penerapan tingkat suku bunga bank saat ini dinilainya sudah tidak masuk akal.
“Tingginya tarif pajak dan tingkat suku bunga menyebabkan pengusaha konstruksi banyak menerima pukulan. Penjualan dan pembelian properti menjadi sangat lambat. Jika situasi ini berlanjut, sektor konstruksi bisa runtuh dan berhenti beroperasi,” katanya, Senin (29/1).
Seperti yang diketahui, Myanmar mengenal pajak keuntungan atas modal (capital gain) dari penjualan properti sebesar 30%. Aturan ini yang kemudian membuat laju bisnis properti terhambat dan bahkan tertinggal dari negara lain di kawasan Asia Tenggara.
“Undang-Undang yang berlaku saat ini harus diamandemen atau untuk sementara ditangguhkan penerapannya. Negara setidaknya harus mengurangi tarif pajak menjadi 5% untuk memulihkan industri ini,” jelas U Shein Win dilansir Myanmar Times.
Menurutnya, dengan pengurangan atau perombakan aturan maka dapat menguntungkan baik pemerintah maupun sektor swasta. Pasalnya dengan penurunan tarif akan memacu industri untuk kembali bergeliat. Secara langsung pemerintah akan mendapatkan lebih banyak pemasukan pajak dari meningkatnya industri konstruksi.
Dia lantas mencontohkan kebijakan pemerintah di tahun 2015 yang memangkas pajak keuntungan menjadi 15%. Saat itu, penerimaan pajak melonjak menjadi 122 miliar kyat atau US$84 miliar. Namun, setelah tarif pajak kembali pada level 30% terjadi penurunan penerimaan pajak dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2016 sebesar 65 miliar kyat atau US$ 49 miliar dan turun lagi pada 2017 yang hanya sebesar 25 miliar kyat atau US$18 miliar.
“Kami telah mengajukan permohonan banding ke Kementerian Keuangan untuk memotong tarif pajak yang berlaku saat ini. Meski telah mengantongi persetujuan dari kabinet perlu beberapa waktu sebelum aturan ini diimplementasikan karena butuh persetujuan parlemen,” tutupnya. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.