SEJAK 1997, wajib pajak yang hendak mengajukan banding ke badan peradilan pajak harus melunasi terlebih dahulu 100% pajak terutangnya. Jika tidak melunasi, bandingnya tidak diterima. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 34 UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Peradilan Sengketa Pajak (BPSP).[1]
Lima tahun kemudian, syarat untuk melunasi pajak terutang sebesar 100% itu menyusut setengahnya menjadi 50%. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 36 ayat (4) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dengan UU ini pula, terbentuk suatu badan peradilan pajak bernama Pengadilan Pajak.[2]
Selang lima tahun berikutnya, syarat pengajuan banding berupa pelunasan 50% pajak terutang itu ‘tidak berlaku’ lagi. Jadi sejak 2007, wajib pajak yang hendak mengajukan banding cukup membayar sebesar yang disetujuinya saja, atau kalau tidak setuju semua, ya boleh tidak membayar sama sekali.
Namun, ketentuan itu kali ini bukan diakibatkan oleh berubahnya UU No. 14 Tahun 2002, melainkan oleh berlakunya UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Bagaimana UU KUP bisa serta-merta meniadakan syarat pengajuan banding berupa pelunasan 50% pajak terutang, sementara pada saat yang sama bunyi Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak tidak berubah sama sekali? Jawabannya ada di Pasal 27 ayat (5b) dan (5c) UU KUP.[3]
Dengan ketentuan Pasal 27 ayat (5b), jumlah pajak yang kurang dibayar seperti yang dinyatakan dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP) tidak lagi dinyatakan sebagai pajak terutang. Ia baru dinyatakan terutang, seperti dijelaskan Pasal 27 ayat (5c), setelah ada putusan banding.[4]
Dengan demikian, kalaupun syarat untuk melunasi pajak terutang seperti diatur Pasal 36 UU No. 14 Tahun 2002 dikerek dari 50% menjadi misalnya 500%, wajib pajak tetap boleh tak membayar apapun untuk bisa mengajukan banding, karena pajak terutang itu baru ada setelah putusan banding ada.
Hal itu terjadi karena Pasal 27 ayat (5b) dan (5c) UU KUP memundurkan waktu atau kapan titik persisnya kewajiban pembayaran pajak dikatakan sebagai utang pajak dan dengan demikian pajak terutang, dari semula sejak SKP terbit menjadi sejak putusan banding terbit.[5]
Konstruksi yang sama tentang pemunduran titik waktu terutang ini juga dicangkokkan ke Pasal 25 yang mengatur keberatan.[6] Kesamaan konstruksi ini bisa dipahami, karena memang keberatan dan banding adalah mekanisme yang berurutan, yang secara prinsip tidak bisa dipisahkan.
Konsekuensi dari konstruksi itu adalah hilangnya ketentuan sebelumnya yang mewajibkan berjalannya proses penagihan pajak.[7] Akibat konstruksi itu pula, pasal ini hanya bisa mewajibkan wajib pajak untuk membayar ‘seikhlasnya’ alias boleh tidak membayar sama sekali, sebelum mengajukan keberatan.[8]
Patok Ukur Internasional
JIKA kita bandingkan dengan praktik internasional dan patok ukur (benchmark) dari negara-negara lain, akan segera terlihat betapa hampir semua negara cenderung ‘tidak berani’ untuk membuat ketentuan yang menyebabkan tertundanya penagihan pajak akibat pengajuan keberatan dan banding, meski tingkat kepatuhan pajaknya relatif tinggi.[9]
Memang, kendati demikian, juga akan segera terlihat bagaimana pada saat yang sama negara-negara tersebut memberikan pelayanan maksimal kepada wajib pajak yang mencari keadilan melalui pengajuan keberatan dan banding. Hal ini antara lain terlihat dari mekanisme putusan badan peradilan yang berjenjang serta cepatnya waktu penyelesaian keberatan. (Lihat tabel)
Perbedaan Prosedur Keberatan & Banding di Berbagai Negara
URAIAN
RI
AS
Korsel
Kanada
Australia
Inggris
Filipina
Objek keberatan
SKP
SKP
SKP
SKP
SK*
SKP
SKP
Keberatan diajukan ke
DJP
IRS
NTS
CRA
ATO
HMRC
BIR
Jangka waktu pengajuan
≤30 hari
≤60 hari
≤90 hari
90-365 hari
60-1.460 hari
≤30 hari
≤30 hari
Penyelesaian keberatan
≤365 hari
≤120 hari
≤90 hari
≤60 hari
28-56 hari
≤45 hari
≤60 hari
Pembayaran & Penagihan
Ter-tunda
Tetap Jalan
Tetap Jalan
Tetap Jalan
Tetap Jalan
Ter-tunda**
Tetap Jalan
Banding Tk I diajukan ke
PP
TC
DC
CA
AAT
Tr/ADR
CTA
Jangka waktu pengajuan
≤90 hari
90-150 hari
≤90 hari
≤90 hari
≤60 hari
≤30 hari
≤30 hari
Banding Tk II diajukan ke
-
CA
HC
HC
FC/ FFC
HC
-
Jangka waktu pengajuan
-
90-150 hari
≤90 hari
≤90 hari
≤28 hari
≤30 hari
-
Kasasi/ PK diajukan ke
MA
SC
SC/ CC
SC
HC
SC
SC
Sumber data
pajak. go.id
irs. gov
nts. go.kr
cra-arc. gc.ca
ato.gov.au
gov.uk
bir. gov.ph
Ketr: *Kecuali bunga, penalti, aturan khusus, saran yang mengikat, dan co-contribution; **Dengan permintaan (SKP: Surat Ketetapan Pajak; DJP: Ditjen Pajak; PP: Pengadilan Pajak; MA: Mahkamah Agung; IRS: Internal Revenue Service; TC: Trial Court; CA: Court of Appeals; SC: Supreme Court; NTS: National Tax Service; DC: District Court; HC: High Court; CC: Constitutional Court; CRA: Customs & Revenue Agency; ATO: SK: Surat Keputusan; Australian Tax Office; AAT: Administrative Appeals Tribunal; FC: Federal Court; FFC: Full Federal Court; HMRC: Her Majesty’s Revenue & Customs; Tr: Tribunal; ADR: Alternative Dispute Resolution; BIR: Bureau of Internal Revenue; CTA: Court of Tax Appeal) Sumber: Berbagai sumber, diolah DDTC, 2016
Kalaupun mereka sampai ‘berani’ menunda, waktunya pun sangat terbatas dan beberapa mensyaratkan permintaan khusus yang reasonable. Inggris misalnya, menunda penagihan hanya sampai 60 hari. Itu pun sebenarnya diniatkan lebih untuk memberikan kesempatan kepada pembayar pajak guna melengkapi dokumen pendukung keberatannya.
Keputusan negara-negara tersebut mempertahankan ketentuan bahwa keberatan dan banding tidak menunda penagihan pajak tentu sangat bisa dipahami. Ada risiko besar yang harus mereka tangggung jika pengajuan keberatan bisa menunda penagihan. Dalam kasus Indonesia, yang penundaannya diakibatkan oleh mundurnya titik waktu pajak terutang, risiko itu tidak lain adalah keamanan penerimaan negara. [10]
Untuk memitigasi risiko bagi penerimaan negara itulah, Pasal 27 ayat (5b) dan (5c) kemudian tidak berdiri sendiri. Ada Pasal 27 ayat (5d) yang menyiasati situasi tersebut, yaitu dengan ‘menakut-nakuti’ wajib pajak.[11] Konstruksi yang sama juga terlihat pada Pasal 25 yang membahas tentang keberatan.[12]
Dengan taktik ‘menakut-nakuti’ itu diandaikan, wajib pajak yang hendak mengajukan banding tetap akan membayar dahulu sebagian kewajiban pajaknya alias tidak menunda pembayaran karena kalau bandingnya ditolak atau dikabulkan sebagian, maka ia akan menanggung denda yang besar.[13]
Lalu, apakah taktik menakut-nakuti itu terbukti efektif? Apakah kemudian dengan format serta desain prosedur dan keberatan dan banding tersebut tingkat kepatuhan pajak secara sukarela dapat meningkat, yang sekaligus berarti memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keberlanjutan penerimaan negara?
Keseimbangan Baru
HARUS diakui, Pasal 25 ayat (9) UU No. 28 Tahun 2007 yang memberikan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan bukanlah merupakan pilihan favorit wajib pajak.
Adanya Pasal 25 ayat (10) yang menggugurkan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% tersebut dalam hal WP mengajukan banding, dengan sendirinya mengondisikan WP untuk tetap fight dan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak, dan membuka peluang untuk menang meski dengan risiko terkena denda 100%.[14]
Pasal ini pula yang kemudian ikut menjelaskan menggunungnya berkas, baik banding maupun gugatan, yang masuk ke Pengadilan Pajak, dari hanya 5.162 berkas pada 2006 menjadi 25.045 berkas pada 2015. Sejalan dengan itu, sisa berkas atau tunggakan perkara pun melompat dari 2.752 berkas pada 2006 menjadi 16.013 berkas pada 2015.[15]
Dampak dari menggunungnya berkas permohonan banding dan gugatan berikut tunggakan perkara di Pengadilan Pajak itu tentu tidak bisa diremehkan. Penerimaan pajak yang sebelumnya masuk ke kas negara segera setelah SKP diterbitkan, kini menjadi tertunda 3-5 tahun sampai ada putusan banding.
Kasadaran akan besarnya risiko keamanan penerimaan negara itulah yang agaknya telah memaksa pemerintah menggeser titik imbang atau menyeimbangkan kembali (re-balancing) pasal keberatan dan banding melalui revisi UU KUP, hingga akhirnya terlihat berusaha mengembalikan prinsip business friendly (pro-bisnis) di pasal keberatan dan banding ke prinsip public friendly (pro-negara).[16]
Sejalan dengan itu, draf RUU KUP pun merestorasi kekuatan hukum SKP sebagai sebuah aanslag (ketetapan negara), sehingga SKP dapat secara lebih kuat menopang fungsinya, terutama sebagai sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang kepada wajib pajak, yang sekaligus menandakan dimulainya utang pajak.[17]
Bersamaan dengan re-balancing dalam rangka pengamanan target penerimaan negara itu pula, draf RUU KUP juga menurunkan bunga denda dan imbalan baik yang ditanggung pemerintah maupun WP, dari posisi saat ini 2% menjadi 1% per bulan, tetapi dengan durasi yang sama seperti UU KUP saat ini, paling lama 24 bulan.[18]
Beberapa Perbedaan Pengaturan tentang Keberatan & Banding
POKOK PENGATURAN
UU KUP
DRAF RUU KUP
Saat terutang pajak
Sejak putusan banding
Sejak SKP terbit
Pelaksanaan penagihan
Setelah putusan banding
Setelah SKP terbit
Syarat banding
Membayar sebesar yang disetujuinya
Membayar 50%
Imbalan bunga
2%/ bulan maksimal 24 bulan
1%/ bulan maksimal 24 bulan
Penyampaian keberatan
Hanya secara langsung
Bisa elektronik
Keberatan ditolak/ dikabulkan sebagian
Denda 50%
Tidak ada denda
Banding ditolak/ dikabulkan sebagian
Denda 100%
Tidak ada denda
Sumber: Riset DDTC, 2016
Pertanyaannya sekarang, apakah pengkajian ulang yang dilakukan oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati terhadap draf RUU KUP akan mempertahankan rumusan pasal keberatan dan banding yang cenderung public friendly itu? Atau malah sebaliknya, bakal dibongkar? Apakah kita sedang menunggu datangnya kejutan baru? Mari kita tunggu. (*)
[1] UU BPSP mencabut UU No. 5 Tahun 1959 yang memperkenalkan lembaga penyelesaian sengketa pajak bernama Majelis Pertimbangan Pajak. Pasal 34 UU BPSP: “Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar lunas.”
[2] Draf awal UU ini menghapuskan syarat melunasi 100% dari pajak terutang tadi karena bertentangan dengan prinsip umum peradilan yang murah, cepat, dan sederhana. Syarat melunasi 50% disepakati dalam pembahasan di DPR untuk mengantisipasi risiko dimanfaatkannya syarat 0% tadi oleh wajib pajak nakal. Akhirnya, muncul Pasal 36 ayat (4): “Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).” (Hukumonline, 1 Februari 2002).
[3] Pasal 27 tentang banding ini adalah pasal yang terakhir kali disepakati Pansus Pajak DPR bersamaan dengan Pasal 25 tentang keberatan. Itu pun setelah melalui satu kali lobi. Baru pada lobi kedua, ketentuan banding itu bisa disepakati. Beberapa anggota Pansus menolak pasal tersebut karena khawatir dampaknya terhadap penerimaan pajak ke depan. (Kliping Liputan RUU KUP 2005-2007, Bisnis Indonesia)
[4] Pasal 27 ayat (5b): “Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).” Pasal 27 ayat (5c): “Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.”
[5] Konstruksi pasal ini dengan sendirinya mengoreksi kekuatan hukum SKP terkait dengan fungsinya sebagai beschikking (ketetapan/ penetapan), mulai dari sebagai sarana untuk melakukan koreksi fiskal, mengenakan sanksi administrasi perpajakan, melakukan penagihan pajak, mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar, atau untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.
[6] Pasal 25 ayat (8) UU KUP: “Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).”
[7] Pasal 25 ayat (7) UU KUP No. 16 Tahun 2000: “Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak” dan Pasal 27 ayat (5): “Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.”
[8] Pasal 25 ayat (3a): “Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.”
[9] Perbandingan prosedur banding di berbagai negara ini diuraikan secara lebih lengkap dalam Kedudukan Pengadilan Pajak di Berbagai Negara (Darussalam, 2009)
[10] Pasal 25 dan Pasal 27 pada semua UU KUP sebelumnya, mulai dari UU No. 6 Tahun 1983, UU No. 9 Tahun 1994, dan UU KUP No. 16 Tahun 2000, selalu memiliki ayat yang menyebut bahwa pengajuan keberatan atau banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Khusus UU No. 6 Tahun 1983 hanya menyebutkan frasa ‘tidak menunda kewajiban membayar pajak’ tanpa frasa ‘pelaksanaan penagihan pajak’. Ayat itu dicantumkan untuk mencegah terganggunya penerimaan negara, seperti dalam Penjelasan Pasal 25 Ayat (7) UU No. 16 Tahun 2000: “Untuk mencegah usaha penghindaran atau penundaan pembayaran pajak melalui pengajuan surat keberatan, maka pengajuan keberatan tidak menghalangi tindakan penagihan sampai dengan pelaksanaan lelang. Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak dengan dalih mengajukan keberatan, untuk tidak melakukan kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan negara.” Atas alasan mengamankan penerimaan itu pula, Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Kebangkitan Bangsa menyampaikan minderheidsnota terhadap prosedur keberatan dan banding tersebut saat pengesahan RUU KUP di DPR, 19 Juni 2007. Menkeu Sri Mulyani waktu itu juga mengakui adanya penundaan pembayaran pajak. Namun, dia meyakini perubahan prosedur itu bakal meningkatkan kepatuhan pajak sukarela. (Hukumonline, 20 Juni 2007)
[11] Pasal 27 ayat (5d): “Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.” Posisi pemerintah untuk denda pada tahap banding ini semula 200%, dan denda pada tahap keberatan 100%, tetapi kemudian disepakati bersama DPR menjadi masing-masing 100% dan 50%. Selengkapnya tentang taktik menakut-nakuti ini lihat Menimbang Lagi Scare Tactics dalam UU KUP, Danny Septriadi (DDTCNews, 5 Juni 2016)
[12] Pasal 25 ayat (9): “Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.” Pasal 25 ayat (10): “Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.”
[13] Setelah UU No. 28 Tahun 2007 disahkan, Menkeu Sri Mulyani menyatakan dengan UU KUP itu, kecil kemungkinan wajib pajak mencoba menunda pembayaran dengan cara mengajukan keberatan atau banding karena ada risiko sanksi administrasi berupa denda 50% dalam hal keberatan ditolak dan 100% jika permohonan banding ditolak. (Kliping Liputan RUU KUP 2005-2007, Bisnis Indonesia)
[14] Hingga kini belum ada survei yang mengungkapkan kenapa WP cenderung mengajukan banding dan mengambil risiko terkena denda 100%, ketimbang membayar denda 50% di tahap keberatan. Akan tetapi, data Pengadilan Pajak periode 2011-2015 yang menyebutkan 46% permohonan banding diterima seluruhnya sementara yang ditolak 24% dan yang dikabulkan sebagian 13%, jelas menawarkan ekspektasi kemenangan lebih besar bagi wajib pajak, di luar adanya tambahan waktu (value of time) yang diperoleh wajib pajak akibat lamanya proses pengajuan banding hingga terbit putusan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengompensasi denda 100% tadi.
[15] Dengan banyaknya tunggakan perkara itu, sesuai dengan data Pengadilan Pajak, produktivitas Pengadilan Pajak pun turun dari 61,7% pada 2006 menjadi 36,1% pada 2015 (Inside Tax Edisi Khusus, Desember 2015)
[16] Rebalancing yang dimaksud adalah rebalancing antara kepentingan negara untuk mengamankan penerimaan, dan untuk memudahkan pelayanan wajib pajak termasuk mendapatkan keadilan. Dalam draf RUU KUP, upaya rebalancing ini terlihat antara lain di Pasal 68, yang bunyinya sama persis dengan pasal yang dihilangkan di UU No. 28 Tahun 2007: “Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.” Niat rebalancing ini kali pertama diungkapkan Wakil Menkeu Mardiasmo. “Intinya, RUU KUP nanti akan ada kejelasan hak dan kewajiban baik fiskus dan WP. Bandulnya kita bikin tidak condong ke salah satu pihak. Karena kalau seperti sekarang, sama sekali tidak melakukan pembayaran banding, maka semua akan banding.” (Bisnis Indonesia, 11 Mei 2015)
[17] Konfirmasi atas kembalinya kekuatan SKP ini datang dari Pasal 1 ayat (23) draf RUU KUP, yang dengan lugas, bahkan lebih lugas dari definisi di UU KUP sebelumnya, menyatakan: “Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya penghasilan kena pajak atau dasar pengenaan pajak, Pajak Terutang, jumlah Kredit Pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pembayaran pajak, jumlah sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar, lebih dibayar, atau nihil.”
[18] Imbalan 2% yang diatur di Pasal 27A UU No. 28 Tahun 2007 akan diturunkan menjadi 1% melalui Pasal 73 ayat (1) draf RUU KUP. Berikut selengkapnya bunyi Pasal73 ayat (1): “Dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau dikabulkan seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran pajak dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dan bagian bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Untuk Surat Ketetapan Pajak yang menyatakan kurang bayar dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Mahkamah Agung; atau b) Untuk Surat Ketetapan Pajak yang menyatakan nihil atau lebih bayar dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Mahkamah Agung.”
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.