AGUS SALIM:

'Kebijakan Pajak Ini akan Membunuh'

Redaksi DDTCNews | Kamis, 09 November 2017 | 18:50 WIB
'Kebijakan Pajak Ini akan Membunuh'

Agus Salim

BATAVIA, 14 Juni 1923. Agus Salim berdiri di podium Volksraad. Wakil dari Sarekat Islam ini berpidato menanggapi paket reformasi pajak pemerintah yang sebagian besar agendanya didesakkan Asosiasi Pengusaha di Hindia Belanda (Ondernemersraad voor Nederlands-Indië).

Salim, yang waktu itu masih berumur 39 tahun, mengkritik dengan keras paket kebijakan tersebut. Pasalnya, dalam paket itu pemerintah berencana mengenakan tarif pajak lebih tinggi pada penduduk bumiputera ketimbang warga Eropa di Hindia Belanda.

Pajak yang diskriminatif itu, tegas wartawan, politisi, diplomat, penguasa 9 bahasa sekaligus ahli agama ini, hanya memberikan keuntungan dan manfaat sangat besar bagi para perusahaan besar di Hindia Belanda, tetapi pada saat yang sama, akan kian memiskinkan penduduk bumiputera.

Baca Juga:
Penduduk Mulai Menua, Thailand Kembali Dorong Reformasi Sistem Pajak

“Meski kekuatan bumiputera membuat mereka bertahan dari kebijakan perpajakan masa lalu yang eksesif, tapi dalam jangka panjang, kebijakan pajak ini akan membunuh ke bawah pada mulanya, membunuh ke atas pada akhirnya, dan membunuh Hindia akan kesudahannya," katanya.

Paket kebijakan reformasi pajak yang dikritisi Salim itu sendiri tidak datang dari ruang hampa. Pada 1918, seiring dengan berakhirnya Perang Dunia I, Pemerintah Hindia Belanda berencana menaikkan tarif pajak ekspor, pajak barang, dan pajak penghasilan (PPh) badan.

PPh badan, seperti dikutip dari disertasi Abdul Wahid: From Revenue Farming to State Monopoly: The Political Economy of Taxation in Colonial Indonesia, Java c. 1816-1942, sudah dipungut sejak 1878, seiring diperkenalkannya hak menjalankan usaha (patentrecht) pada penduduk Eropa.

Baca Juga:
Transisi Pemerintahan Berjalan, DJP Fokus Amankan Penerimaan Pajak

Pemerintah Hindia Belanda berharap kenaikan tarif pajak ekspor, pajak barang, dan PPh badan itu dapat mengompensasi penurunan penerimaan pajak yang tergerus akibat absennya pajak hasil keuntungan perang yang berasal dari komoditas, terutama gula, karet, dan minyak.

Kontan saja, perusahaan-perusahaan besar Eropa di Hindia Belanda bereaksi negatif dengan rencana tersebut. Tak hanya menggencarkan lobi, mereka juga menyerang dan menggalang protes. Beberapa perusahaan bahkan sampai mengancam akan menyetop operasinya.

Namun, Kementerian Daerah Koloni Belanda bergeming dengan semua protes tersebut. Akhirnya, efektif sejak 1919, tarif PPh badan di Hindia Belanda diputuskan naik dari semula 4% dan 8% untuk tambahan laba bersih sejak 1913 menjadi masing-masing 6% dan 10%.

Baca Juga:
Reformasi Pajak dalam Transisi Suksesi Pimpinan Nasional

Tak pelak, dengan kebijakan itu, konsolidasi di antara sesama pemilik perusahaan besar di Hindia Belanda pun kian intensif. Akhirnya pada 1921, di The Hague, terbentuklah Asosiasi Pengusaha di Hindia Belanda, yang menghimpun hampir seluruh perusahaan besar Eropa di Hindia Belanda.

Tidak tanggung-tanggung, mantan Menkeu Belanda M. Willem F. Treub pun didapuk para pemilik perusahaan itu sebagai presidennya. Pada saat yang sama, organisasi baru ini juga mendirikan afiliasinya di Batavia, yaitu Asosiasi Pengusaha Hindia Belanda (Indische Ondernemersbond).

Segera setelah asosiasi itu terbentuk, Treub yang dikenal sebagai politisi sayap kanan sejak aktif di parlemen Belanda ini langsung merumuskan usulan paket kebijakan reformasi pajak. Akibat besarnya pengaruh organisasi itu pula, sebagian besar usulan tersebut akhirnya diterima.

Baca Juga:
Fokus Reformasi, Sri Mulyani Ingin Sistem Pajak Lebih Berkepastian

Reformasi pajak usulan Treub yang didukung para pemilik perusahaan di Hindia Belanda inilah yang diprotes keras Agus Salim. Meski, Salim niscaya tahu, Volksraad saat itu belum memiliki hak bujet karena ia masih sebatas lembaga kuasi legislatif. Lalu, berhasilkah Salim?

Sejarah mencatat, berselang 2 tahun setelah pidato Salim di sidang Volksraad itu, Pemerintah Hindia Belanda merilis kebijakan PPh Perseroan (Vennootschapbelasting), disusul PPh orang pribadi (Incomstenbelasting) pada 1932 dan pajak upah (Loonbelasting) pada 1935.

Namun, sejarah juga mencatat, semangat untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dari pidato Salim itulah yang menggumpal dan memberikan pengaruh lebih besar ke Volksraad, hingga pada 1928, lembaga itu secara de facto telah memiliki hak bujet yang menentukan kebijakan fiskal.

“Indonesia harus menjadi tuan di Tanah Airnya sendiri,” kata Salim, si kurus kecil berjenggot yang dijuluki Orang Tua Besar ini—yang kelak jadi Bapak Bangsa yang namanya diabadikan menjadi nama jalan-jalan di Indonesia—dalam Konferensi Buruh Internasional di Jenewa, 1929. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 17 Oktober 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Transisi Pemerintahan Berjalan, DJP Fokus Amankan Penerimaan Pajak

Sabtu, 12 Oktober 2024 | 16:45 WIB CORETAX SYSTEM

Ada Coretax Nanti, WP Tak Perlu ke KPP untuk Ubah Data Perpajakan

Minggu, 29 September 2024 | 11:01 WIB OPINI PAJAK

Reformasi Pajak dalam Transisi Suksesi Pimpinan Nasional

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja