DALAM konteks impor yang dilakukan dengan pihak afiliasi, perusahaan multinasional kerap menghadapi ketidakpastian, terutama pada saat terjadi koreksi atas harga atau nilai wajar yang dilakukan, baik dari sisi transfer pricing maupun kepabeanan.
Perlu dipahami adanya potensi perilaku perusahaan multinasional untuk menghindari beban pungutan dalam rangka impor dari afiliasi. Pada saat impor barang, terdapat kecenderungan menetapkan harga yang rendah bagi importir guna mengurangi bea masuk. Sedangkan untuk tujuan pajak terutama PPh Badan, terdapat kekhawatiran untuk menetapkan harga yang tinggi bagi importir dalam rangka memperbesar biaya (OECD, 2017).
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika otoritas pabean memiliki kecenderungan untuk menilai (valuasi) kewajaran harga barang impor dengan harga yang relatif lebih tinggi dalam rangka mengamankan sumber penerimaan negara dari kepabeanan. Di sisi lain, otoritas pajak berupaya mencegah praktik pengalihan keuntungan (profit shifting) dengan menilai kewajaran transaksi impor dengan harga yang relatif lebih rendah.
Saat ini, konsensus global untuk menilai harga kewajaran sejatinya sudah tersedia. Aturan transfer pricing di banyak negara merujuk pada OECD Transfer Pricing Guidelines, sedangkan aturan penilaian pabean didasarkan pada Pedoman Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang selanjutnya disebut Pedoman WTO.
Kedua dokumen tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa transaksi lintas batas antara berbagai pihak sesuai dengan harga wajar atau nilai wajar serta hubungan afiliasi tidak memengaruhi nilai transaksi.
Sayangnya, isi kedua dokumen tersebut—walau mirip—memiliki beberapa perbedaan. Salah satunya tentang apa yang disebut sebagai ‘hubungan istimewa’. Ketidaksesuaian tersebut tentu menciptakan ketidakpastian bagi wajib pajak atas interaksi kedua area tersebut—transfer pricing dan kepabeanan—di lapangan.
Hubungan Istimewa
RUMUSAN definisi hubungan istimewa dalam ranah transfer pricing diatur dalam Pasal 9 ayat (1) OECD Model yang mencakup pengertian adanya partisipasi dalam manajemen, kontrol, dan modal. Di sisi lain, rumusan konsep pihak berelasi dalam Pedoman WTO disebutkan pada Pasal 15, yang terdiri atas pegawai atau pimpinan pada suatu perusahaan sekaligus pegawai atau pimpinan pada perusahaan lain.
Selain itu, mereka yang dikenal/diketahui secara hukum sebagai rekan dalam perdagangan, pekerja dan pemberi kerja, mereka yang salah satu di antaranya secara langsung atau tidak langsung memiliki, mengendalikan, atau memegang 5% atau lebih saham yang beredar dari salah satu dari mereka.
Selanjutnya, mereka yang salah satu di antaranya secara langsung atau tidak langsung mengendalikan pihak lainnya, mereka yang secara langsung atau tidak langsung dikendalikan oleh pihak ketiga, mereka yang secara bersamaan langsung atau tidak langsung mengendalikan pihak ketiga, atau mereka yang merupakan anggota dari satu keluarga.
Di Indonesia, rumusan pihak hubungan istimewa dalam kaitannya dengan transfer pricing tertuang dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Di sisi lain, dalam kaitannya dengan kepabeanan, sebenarnya tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan) tidak mengatur secara eksplisit mengenai pihak berelasi.
Namun, dalam Paragraf 7 Penjelasan atas UU Kepabeanan memberikan peluang dalam mendefinisikan pihak berelasi berdasarkan pada Pedoman WTO. Hal ini diperkuat dengan beleid pada Pasal 1 ayat (3) PMK Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk yang mendefinisikan ‘pihak berelasi’ serupa dengan apa yang tertuang di dalam Pasal15 Pedoman WTO.
Menurut Cooper, definisi pihak berelasi dalam kepabeanan berkaitan erat dengan kewajaran nilai pabean. Nilai transaksi yang dianggap wajar dan tidak perlu dilakukan penyesuaian adalah apabila nilai transaksi tersebut tidak dipengaruhi oleh kondisi yang tercipta oleh adanya hubungan istimewa.
Prinsip serupa juga sejalan dengan ketentuan transfer pricing dalam menentukan nilai wajar ketika dilakukan oleh dua pihak yang memiliki hubungan istimewa atau berelasi. Oleh karena itu, definisi hubungan istimewa atau pihak berelasi sesungguhnya berperan penting dan sedapat mungkin selaras antaryurisdiksi maupun antararea.
Menurut Dwarkasing (2012), permasalahan definisi hubungan istimewa atau pihak berelasi dapat terjadi dalam dua situasi, pertama, jika suatu negara menerapkan konsep hubungan istimewa berdasarkan partisipasi modal sebesar 20% dan negara lainnya menerapkan konsep associate enterprises berdasarkan partisipasi modal sebesar 51%; dan/atau;
Kedua, jika suatu negara menerapkan berbagai bentuk hubungan istimewa dan negara lainnya tidak menerapkan bentuk hubungan istimewa tersebut dalam ketentuan domestiknya.
Permasalahan ini sejatinya terjadi dalam perumusan definisi pihak hubungan istimewa antara ketentuan transfer pricing dan kepabeanan. Keduanya memiliki perbedaan dalam jumlah partisipasi modal (de jure) dan perbedaan rumusan pengendalian yang timbul secara de facto.
Dalam ketentuan PPh di Indonesia, partisipasi modal yang dianggap menimbulkan suatu pengendalian adalah sebesar 25%, sedangkan sesuai dengan ketentuan Kepabeanan adalah 5%. Selanjutnya, rumusan pengendalian secara de facto yang dirumuskan oleh ketentuan kepabenanan lebih luas dibandingkan dengan ketentuan PPh.
Dengan demikian, potensi pemajakan berganda dapat terjadi sepanjang masih terdapat perbedaan sudut pandang mengenai subjek pihak hubungan istimewa antara ketentuan pajak penghasilan dan kepabeanan.
Sinergi
PERLUNYA sinergi antara definisi pihak hubungan istimewa dalam ketentuan transfer pricing dan kepabeanan di Indonesia. Salah satunya karena didorong oleh adanya kerja sama pertukaran informasi dalam joint audit antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC).
Tujuannya mulai dari mengoptimalkan penerimaan negara dan penegakan hukum di bidang perpajakan dan kepabeanan hingga menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan kepabeanan, baik untuk tahun berjalan maupun untuk tahun-tahun sebelumnya yang ditetapkan oleh Komite Joint audit.
Sepanjang belum ada keselarasan dalam hal mendefinisikan hubungan istimewa, pertukaran informasi dalam rangka melakukan joint audit antara DJP dengan DJBC belum dapat memberikan kepastian bagi wajib pajak.
DJP dan DJBC hendaknya mensyaratkan pertukaran informasi yang disampaikan dalam rangka bertransaksi impor atau ekspor, harus bersifat objektif, otentik, dan akurat dalam meminimalisir tingkat hasil valuasi yang saling bertentangan. Ini terlepas dari sinergi final yang akan sulit diterapkan jika Pedoman OECD dan Pedoman WTO belum memberikan arahan yang sepadan untuk dapat diterapkan.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.