Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Dirjen Pajak Suryo Utomo, dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu saat melihat lini masa reformasi perpajakan dan perkembangan penerimaan pajak dalam acara Spectaxcular: Run for Revenue, Minggu (14/7/2024). (foto: DJP)
TANTANGAN dalam upaya pengamanan target penerimaan pajak menjadi aspek yang cukup disorot dalam momentum Hari Pajak 14 Juli 2024. Hal ini terlihat dari tema yang diusung dalam peringatan kali ini, yakni Tegar Melangkah Walau Tantangan Menghampar.
Dalam acara Spectaxcular: Run for Revenue, Dirjen Pajak Suryo Utomo juga menyampaikan tema tersebut tidak terlepas dari kondisi perekonomian saat ini. Secara khusus, dia menyebut adanya penurunan harga komoditas yang memengaruhi kinerja penerimaan pajak.
Suryo menyampaikan target Rp1.989,9 triliun (naik 6,5% dari realisasi 2023) tidak mustahil untuk dicapai. Namun, di depan DPR, pemerintah juga sudah menyampaikan proyeksi penerimaan pajak tahun ini tidak mencapai target, atau sekitar Rp1.921,9 triliun (naik 2,9% dari realisasi 2023).
Kata kuncinya adalah harga komoditas. Artinya, hat-trick kinerja penerimaan pajak sebelumnya juga ada andil tingginya (booming) harga komoditas dan rendahnya basis realisasi tahun sebelumnya akibat pandemi Covid-19. Dengan kata lain, masih ada kerentanan struktur penerimaan pajak.
Justifikasi tersebut dapat terlihat dari besarnya porsi PPh badan dalam struktur penerimaan. Selain itu, ketidaksesuaian (gap) antara kontribusi suatu sektor terhadap PDB dan sumbangsihnya terhadap penerimaan pajak juga masih menjadi problem.
Hari Pajak pada tahun ini seharusnya menjadi momentum yang baik untuk dengan lebih serius menangani kerentanan struktur penerimaan pajak dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Ketika di tengah jalan muncul blessing harga komoditas lagi, perbaikan harus tetap berjalan.
Salah satu pos penerimaan pajak yang seharusnya cukup ‘tangguh terhadap goncangan’ tetapi belum optimal adalah PPh orang pribadi nonkaryawan. Pada semester I/2024, kontribusinya masih sekitar 1,16%, jauh lebih rendah dibandingkan porsi PPh Pasal 21 karyawan sebesar 15,48%.
Momentum tahun ini menjadi makin relevan dan tepat mengingat adanya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) format baru. Seperti diketahui, untuk wajib pajak orang pribadi, Nomor Induk Kependudukan (NIK) dipakai sebagai NPWP.
Meskipun belum diterapkan penuh pada seluruh layanan, penggunaan NIK sebagai NPWP menjadi babak baru dalam sistem administrasi pajak di Indonesia. Terlebih, pemerintah juga akan menerapkan coretax administration system (CTAS) pada tahun ini.
Adapun penerapan (deployment) CTAS direncanakan pada akhir 2024. Pada saat ini, coretax masuk fase pengujian melalui kegiatan SIT dan functional verification testing (FVT). Simak ‘Perkembangan Coretax DJP, Deployment Direncanakan Akhir 2024’.
Penggunaan NPWP format baru dan penerapan CTAS diharapkan memunculkan aspek keadilan dan ketepatan waktu dalam pengumpulan penerimaan pajak. Keadilan yang dimaksud adalah pemungutan pajak sesuai dengan porsinya.
Ditjen Pajak (DJP) akan mendapatkan beragam data transaksi yang dilakukan wajib pajak. Hal ini seharusnya memberi kemudahan otoritas dalam mengidentifikasi kepatuhan wajib pajak. Dengan compliance risk management (CRM), ketepatan perlakuan harusnya makin presisi.
Hal ini pada akhirnya turut mendorong terwujudnya era baru hubungan antara otoritas dan wajib pajak dengan paradigma kepatuhan kooperatif. Dalam era baru, otoritas dan wajib pajak saling menaruh kepercayaan serta memiliki keinginan saling membantu.
Kepatuhan kooperatif menjadi jawaban untuk menghindarkan wajib pajak dari biaya kepatuhan yang meningkat, menjamin kepastian pada saat lingkungan berubah, serta menjadi mekanisme perlindungan hak-hak wajib pajak.
Selanjutnya, ketepatan waktu yang dimaksud adalah pemungutan pajak dilakukan sesuai dengan waktu yang seharusnya. Kita ambil contoh mengenai restitusi, dengan data yang akurat serta sistem teknologi yang baik, restitusi ke depan seharusnya tidak sering terjadi.
Dalam bahan yang dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Banggar DPR beberapa waktu lalu disampaikan, “Perusahaan tetap membayar pajak ketika terjadi penurunan harga di 2023 sehingga pada 2024 dilakukan restitusi.”
Terkait dengan konteks tersebut, proses penyesuaian setoran pajak – yang sering disebut sebagai dinamisasi – seharusnya bisa lebih cepat dan tepat. Dinamisasi di sini tidak hanya terkait dengan kenaikan setoran, tetapi juga penurunan setoran.
Dengan demikian, nilai yang disetorkan wajib pajak pada suatu tahun pajak memang sesuai atau sangat mendekati dengan nilai yang seharusnya terutang. Semua tepat waktu. Hal ini akan memberikan kepastian baik bagi wajib pajak maupun otoritas pajak.
Kembali lagi, situasi yang terjadi pada saat ini mengingatkan lagi pentingnya untuk terus berbenah dengan tujuan akhir berupa penerimaan pajak berkelanjutan. Penerimaan berkelanjutan diwujudkan dengan sistem yang baik untuk semua pihak.
Pembangunan lewat APBN bergantung pada pengumpulan penerimaan pajak. Penerimaan pajak juga bergantung pada wajib pajak itu sendiri. Oleh karena itu, dalam semua perbaikan, otoritas tetap perlu mendengar dan melibatkan masyarakat wajib pajak melalui stakeholder terkait.
Pada akhirnya, mengutip kalimat yang disampaikan Sri Mulyani, layaknya hidup, dalam pajak juga ada twists and turns. Namun, pada akhirnya, semua harus mencapai finish line. Dalam konteks ini, finish line-nya adalah penerimaan pajak yang berkelanjutan. Selamat Hari Pajak 2024.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.