OPINI PAJAK

Fasilitas PPN Jasa Pendidikan Pascaterbitnya UU HPP dan Persoalannya

Rabu, 09 Maret 2022 | 09:05 WIB
Fasilitas PPN Jasa Pendidikan Pascaterbitnya UU HPP dan Persoalannya

Bambang Pratiknyo,
Pemerhati Perpajakan.

PEMBAHASAN mengenai penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa pendidikan merupakan hal krusial. Hal ini mengingat selain dapat dinyatakan sebagai kebutuhan dasar, pendidikan juga bersifat strategis bagi pembangunan nasional.

Oleh karena itu, ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) secara resmi disahkan, persoalan terkait dengan PPN atas jasa pendidikan yang selama ini terjadi diharapkan ikut berakhir.

Berdasarkan pada UU PPN sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU HPP (UU PPN s.t.d.t.d UU HPP), jasa pendidikan dihapus dari daftar jasa tidak kena pajak (JTKP) pada Pasal 4A ayat (3). Namun, jasa ini mendapat perlakuan khusus berupa fasilitas PPN dibebaskan berdasarkan pada Pasal 16B.

Sayangnya, pemberlakuan fasilitas PPN dibebaskan berdasarkan pada UU HPP ini ternyata tidak sepenuhnya terbebas dari persoalan. Beberapa isu, baik terkait dengan hukum maupun administrasi, dinilai masih akan ‘membayangi’ penerapan PPN atas jasa pendidikan di Indonesia.

Lantas, persoalan-persoalan apa saja yang dapat terjadi terkait dengan perlakuan PPN atas jasa pendidikan pascaterbitnya UU HPP? Selain itu, adakah solusi yang dapat ditempuh untuk menanggulangi persoalan yang terjadi?

Berikut penjelasannya.

Persoalan

Pertama, berkenaan dengan aspek hukum, yaitu kejelasan tentang definisi jasa pendidikan. Sebelum berlakunya UU HPP, jasa pendidikan merupakan salah satu jenis JTKP. Dalam penjelasan Pasal 4A ayat (3) huruf ‘g’ UU PPN, definisi jasa pendidikan meliputi dua hal.

Keduanya adalah: (i) jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan professional serta (ii) jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.

Selanjutnya, berdasarkan pada Pasal 3 dan Pasal 4 PMK 223/2014, yang dimaksud dengan jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah adalah jasa penyelenggaraan pendidikan formal. Adapun jasa yang dimaksud meliputi jasa penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Sementara itu, jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah didefinisikan sebagai jasa penyelenggaraan pendidikan nonformal dan jasa penyelenggaraan pendidikan informal. Adapun jasa penyelenggaraan pendidikan nonformal meliputi jasa penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, dan pendidikan kesetaraan.

Sementara jasa penyelenggaraan pendidikan informal meliputi jasa penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Kemudian, dalam PMK 223/2014 juga diatur bahwa jasa penyelenggaraan pendidikan formal dan jasa penyelenggaraan pendidikan nonformal wajib diserahkan oleh satuan pendidikan yang memperoleh izin pendidikan dari instansi pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang berwenang.

Selain mengatur definisi jasa pendidikan yang tidak dikenakan PPN, PMK 223/2014 juga menetapkan jasa pendidikan yang dikenakan PPN. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa tidak semua jasa pendidikan tidak dikenakan PPN.

Jasa-jasa tersebut meliputi jasa penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan formal, pendidikan nonformal, maupun pendidikan informal, yang tidak termasuk dalam perincian jasa penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 PMK 223/2014.

Kemudian, jasa penyelenggaraan pendidikan formal atau jasa penyelenggaraan pendidikan nonformal yang diserahkan satuan pendidikan yang tidak mendapatkan izin pendidikan dari instansi pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang berwenang. Ada pula jasa pendidikan yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan penyerahan barang dan/atau jasa lainnya.

Dalam UU PPN s.t.d.t.d UU HPP, definisi jasa pendidikan tidak mengalami perubahan sedikit pun. Bedanya, jika sebelum berlakunya UU HPP definisi ini diatur dalam Pasal 4A ayat (3) huruf ‘g’, dalam UU PPN s.t.d.t.d UU HPP, definisi ini berpindah ke Pasal 16B ayat (1a) huruf ‘j’ angka 6.

Selain itu, sampai dengan tulisan ini dibuat, PMK 223/2014 juga belum dicabut. Hal ini berarti secara substansi dapat disimpulkan bahwa perincian definisi jasa pendidikan yang dibebaskan dari PPN tetap mengikuti PMK tersebut.

Begitu pula untuk perincian jasa pendidikan yang tidak memperoleh pembebasan PPN, sehingga penyerahannya dikenakan PPN dengan tarif normal. Ketentuannya tetap dapat mengikuti Pasal 6 PMK 223/2014 sebagaimana diuraikan di atas.

Meskipun demikian, jika dilihat dari perspektif legal-formal, kesimpulan di atas masih bisa diperdebatkan. Pasalnya, ketentuan dalam PMK 223/2014 masih merujuk pada UU PPN lama, sehingga apa yang diatur dalam PMK tersebut adalah mengenai kriteria jasa pendidikan yang tidak dikenai PPN dan yang dikenai PPN. Bukan mengenai kriteria jasa pendidikan yang dibebaskan dan yang tidak dibebaskan dari PPN sebagaimana yang diatur dalam UU PPN pasca berlakunya UU HPP.

Akibatnya, timbul pandangan bahwa ketentuan dalam PMK 223/2014 tidak lagi relevan untuk digunakan sebagai acuan dalam mengatur perlakuan PPN atas jasa pendidikan saat ini. Dibutuhkan PMK baru yang secara khusus mengatur perincian jasa pendidikan yang dibebaskan dan, jika ada, yang tidak dibebaskan dari PPN.

Lebih lanjut, persoalan juga menyangkut perlakuan PPN atas beberapa jenis jasa, seperti jasa pendidikan kesenian dan keolahragaan. Sampai saat ini, belum pernah diatur apakah kedua jenis jasa tersebut masuk ke dalam definisi jasa pendidikan atau tidak. Akibatnya, belum terdapat kejelasan terkait perlakuan PPN-nya.

Pada dasarnya, persoalan ini dapat diatasi dengan memasukkan jasa pendidikan kesenian dan keolahragaan sebagai jasa pendidikan informal. Jasa yang dimaksud berupa jasa pendidikan kecakapan hidup atau jasa pendidikan keterampilan yang dibebaskan dari PPN.

Namun, tanpa adanya penegasan dari otoritas pajak, perlakuan PPN atas jasa pendidikan kesenian dan keolahragaan dapat dikatakan masih ‘abu-abu’. Hal ini juga berpotensi memunculkan sengketa dalam praktik karena perbedaan pendapat antara pelaku pemberi jasa dan otoritas pajak.

Selain itu, atas jasa-jasa keterampilan lain yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang belum mendapatkan izin dari pemerintah juga akan menemui persoalan. Misalnya, dalam kasus pemerintah lambat memberikan izin atau apabila jenis pendidikannya tidak terdapat dalam nomenklatur jasa yang dapat diberikan perizinan.

Dalam kasus ini, perlakuan PPN atas jasa pendidikan akan ditentukan dari ada atau tidak adanya perizinan tersebut. Dengan kata lain, perlakuan PPN akan bergantung semata-mata pada hal yang bersifat administrasi.

Kedua, berkenaan dengan beban administratif yang timbul dengan ditetapkannya jasa pendidikan sebagai jasa kena pajak (JKP) yang dibebaskan dari PPN. Hal ini terkait dengan kewajiban pembuatan faktur pajak.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU PPN s.t.d.t.d UU HPP, setiap penyerahan JKP wajib dibuatkan faktur pajak oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan. Satuan pendidikan yang peredaran brutonya telah melebihi kriteria pengusaha kecil, sehingga merupakan PKP, harus siap membuat faktur pajak atas setiap penyerahan serta mengadministrasikannya. Kondisi ini tentu bukan perkara mudah bagi satuan pendidikan tersebut dan yang pasti dapat menyebabkan bertambahnya biaya kepatuhan pajak.

Sejatinya, untuk mengurangi beban administrasi pembuatan faktur pajak ini, satuan pendidikan dapat menggunakan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (5a) UU PPN s.t.d.t.d UU HPP yang mengatur pembuatan faktur pajak bagi PKP pedagang eceran. Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai mengenai hal ini diatur dalam Pasal 79 dan Pasal 80 PMK 18/2021.

Dalam ketentuan-ketentuan tersebut diatur bahwa PKP pedagang eceran yang menyerahkan BKP/JKP kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir, dapat membuat faktur pajak tanpa mencantumkan keterangan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual. PKP pedagang eceran cukup membuat faktur pajak dalam bentuk bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis.

Pengertian PKP pedagang eceran pun disebutkan dalam Pasal 79 ayat (3) PMK 18/2021. PKP yang seluruh atau sebagian kegiatan usahanya melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir.

Kemudian, dalam pasal yang sama, dijabarkan pula mengenai dua karakteristik konsumen akhir. Keduanya adalah: (i) pembeli barang dan/atau penerima jasa mengonsumsi secara langsung barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima dan (ii) pembeli barang dan/atau penerima jasa juga tidak menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima untuk kegiatan usaha.

Selanjutnya, berdasarkan pada Pasal 80 ayat (9) PMK 18/2021, kelonggaran terkait dengan pembuatan faktur pajak bagi PKP pedagang eceran ini juga termasuk faktur pajak untuk penyerahan yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau PPN dibebaskan.

Dengan merujuk kepada ketentuan di atas, sekolah atau satuan pendidikan lainnya dapat digolongkan sebagai PKP pedagang eceran. Hal ini disebabkan peserta didik yang merupakan penerima jasa memiliki karakteristik konsumen akhir. Mereka mengonsumsi jasa pendidikan secara langsung dan tidak menggunakan jasa tersebut untuk kegiatan usaha.

Dengan digolongkannya sekolah atau satuan pendidikan lainnya sebagai PKP pedagang eceran, institusi ini dapat menggunakan kelonggaran pembuatan faktur pajak bagi PKP pedagang eceran. Selain itu, sekolah atau satuan pendidikan juga dapat melaporkan penyerahannya melalui mekanisme pelaporan PPN yang digunggung (tanpa merinci siapa penerima jasanya).

Sayangnya, secara praktik, kelonggaran yang dapat dimanfaatkan oleh sekolah atau satuan pendidikan lainnya dalam pembuatan faktur pajak ini ternyata belum dapat diimplementasikan. Pasalnya, aplikasi e-faktur –yang merupakan sarana pelaporan PPN—belum menampung kemungkinan tersebut.

Sampai dengan versi terakhir (e-faktur versi 3.1), kolom pelaporan PPN yang digunggung (Form 1111 AB I B.2.) masih hanya merupakan sarana pelaporan penyerahan eceran yang terutang PPN. Sebaliknya, sarana pelaporan atas penyerahan yang PPN-nya dibebaskan masih harus melalui kolom Form 1111 AB I.C.4. yang tetap berdasarkan adanya pembuatan faktur pajak dengan kode 08, bukan faktur pajak PKP pedagang eceran.

Dengan kata lain, dalam kasus ini, terjadi ketidaksinkronan antara peraturan dan praktik di lapangan. Secara peraturan, kelonggaran tersebut dapat dimanfaatkan, tetapi sarana administrasinya ternyata belum mendukung.

Seain persoalan mengenai penerbitan faktur, persoalan lain adalah terkait dengan adanya penyerahan barang atau jasa yang cenderung melekat dengan jasa pendidikan formal. Misal, penjualan seragam sekolah dan jasa antarjemput peserta didik.

Memang, secara definisi tekstual (letterlijk) sebagaimana diuraikan di atas, penjualan seragam sekolah dan jasa antarjemput perserta didik bukan lagi penyerahan jasa pendidikan. Akibatnya, penyerahan atas keduanya akan dikenakan PPN.

Adanya pengenaan PPN atas penyerahan seragam sekolah dan jasa antarjemput tersebut tentu dapat menimbulkan persoalan administratif. Sekolah dan satuan pendidikan lainnya harus melakukan pemisahan data PPN masukan antara penyerahan yang terutang PPN dan penyerahan jasa pendidikan yang dibebaskan PPN.

Solusi

Terkait dengan persoalan-persoalan dalam penerapan PPN atas jasa pendidikan pascaditerbitkannya UU HPP sebagaimana dijabarkan di atas, berikut solusi yang dapat ditempuh untuk menanggulanginya.

Pertama, pemerintah diharapkan dapat segera menerbitkan peraturan lebih lanjut yang memberi penegasan secara terperinci mengenai kriteria jasa pendidikan yang dibebaskan dari PPN serta ketentuan lainnya yang dapat memberi kepastian hukum dalam penerapan PPN atas jasa pendidikan.

Kedua, menyesuaikan aplikasi e-faktur agar kelonggaran dalam pembuatan faktur pajak PKP pedagang eceran dapat dimanfaatkan oleh sekolah dan satuan pendidikan lainnya. Dengan demikian, beban administratif terkait pembuatan faktur pajak ini dapat teratasi.

Diharapkan, solusi-solusi di atas dapat segera diwujudkan dan diimplementasikan. Hal ini mengingat berlakunya fasilitas pembebasan PPN atas jasa pendidikan akan mulai diterapkan dalam waktu yang tidak lama lagi, yaitu sejak April 2022.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN