Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Faktur pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau faktur pajak fiktif menempati posisi terbanyak dalam ruang lingkup modus operandi tindak pidana perpajakan pada 2020. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (20/10/2021).
Dalam Laporan Tahunan 2020 Ditjen Pajak (DJP) disebutkan ada 100 kasus tindak pidana perpajakan pada tahun lalu. Dari jumlah tersebut, modus operandi berupa penerbitan atau penggunaan faktur pajak fiktif menempati posisi terbanyak.
“[Ruang lingkup] faktur pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya [sebanyak] 44 kasus,” demikian data yang disampaikan otoritas dalam laporan tersebut.
Selain itu, ada 6 ruang lingkup lain dari modus operandi tindak pidana perpajakan. Pertama, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan tidak benar pada 27 kasus. Kedua, pajak dipungut tetapi tidak disetor pada 12 kasus.
Ketiga, tidak menyampaikan SPT pada 11 kasus. Keempat, penyalahgunaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) pada 1 kasus. Kelima, tindak pidana pencucian uang pada 2 kasus. Keenam, modus operandi lainnya pada 3 kasus.
Selain mengenai modus operandi tindak pidana perpajakan, ada pula bahasan terkait dengan digitalisasi Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dan beberapa perubahan dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Berdasarkan pada Laporan Tahunan 2020 DJP, pelaksanaan penyidikan diutamakan terhadap penyidikan yang mendekati daluwarsa berdasarkan pada Pasal 40 UU KUP dan Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta memperhatikan jangka waktu penahanan berdasarkan Pasal 24 KUHP.
“Selain itu, DJP juga memprioritaskan pelaksanaan penyidikan terhadap perkara pidana di bidang perpajakan yang telah diketahui keberadaan tersangkanya,” tulis DJP dalam laporan tersebut. (DDTCNews)
Digitalisasi SP2DK pada aplikasi Approweb menjadi salah satu pengembangan yang dilakukan DJP pada tahun lalu. Digitalisasi SP2DK akan menggantikan penerbitan SP2DK di Approweb yang saat ini masih membutuhkan tanda tangan basah kepala kantor. Dengan demikian, SP2DK dibuat secara digital.
“Memiliki kode verifikasi dan tidak memerlukan tanda tangan basah,” tulis DJP dalam Laporan Tahunan 2020.
Dengan adanya digitalisasi tersebut, pengiriman SP2DK akan dilakukan secara online atau daring. SP2DK akan dikirim kepada wajib pajak melalui surat elektronik (surel) resmi DJP. DJP mengatakan SP2DK diterbitkan karena ada dugaan belum terpenuhinya kewajiban pajak. Simak ‘1,49 Juta Wajib Pajak Terima SP2DK pada 2020, Anda Dapat?’. (DDTCNews)
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menambah wewenang penyidik tindak pidana perpajakan untuk melaksanakan penyitaan dan/atau pemblokiran harta kekayaaan tersangka.
Mengutip laman resmi DJP, pemblokiran dan/atau penyitaan harta kekayaan bertujuan untuk mengamankan aset tersangka. Hal ini dilakukan sebagai jaminan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. Aset diharapkan tidak hilang, dialihkan kepemilikannya, atau dipindahtangankan. (DDTCNews)
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 18-19 Oktober 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan keputusan tersebut mempertimbangkan berbagai kondisi ekonomi global maupun domestik. Menurutnya, keputusan itu juga sejalan dengan perlunya menjaga nilai tukar rupiah dan tingkat inflasi yang tetap rendah.
"Keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan di tengah prakiraan inflasi yang rendah dan upaya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi," katanya. (DDTCNews/Kontan/Bisnis Indonesia)
Rencana pengenaan cukai plastik masih menunggu diterbitkannya peraturan pemerintah. Dengan PP tersebut, pemerintah tidak memerlukan persetujuan DPR. Keperluan dengan DPR hanya berkaitan dengan konsultasi.
“[Rencana cukai plastik] masih dibicarakan dengan BKF,” ujar Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan Cukai Nirwala Dwi Heryanto. (Kontan)
Wajib pajak orang pribadi yang akan mengungkapkan harta perolehan 2016-2020 dalam program pengungkapan sukarela (PPS) harus mencabut beberapa permohonan, termasuk keberatan, banding, dan peninjauan kembali.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan PPS menjadi sarana yang memudahkan wajib pajak. Sesuai dengan ketentuan umum, harta pada tahun pajak 2016-2020 dapat dikenai PPh tarif umum ditambah sanksi administrasi.
Dengan adanya PPS, kewajiban tersebut dianggap terpenuhi. Selain itu, sanksi dihapuskan. Wajib pajak juga ikut dalam perhitungan tarif PPh final PPS. Menurut Neilmaldrin, ketentuan pencabutan beberapa permohonan tersebut sudah tepat.
“Karena dengan mengikuti PPS, kewajiban pajak wajib pajak selama tahun pajak 2016—2020 dianggap telah benar dan sesuai ketentuan, kecuali berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat ketidaksesuaian antara harta bersih yang diungkapkan dengan keadaan yang sebenarnya,” jelasnya. Simak ‘Kata DJP Soal Pencabutan Permohonan Keberatan & Banding Saat Ikut PPS’. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.