Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) memiliki sekitar 44.000 pegawai di seluruh Indonesia. Dari angka itu, 12.000 di antaranya adalah account representative (AR). Fakta angka ini ternyata cukup menarik perhatian netizen dalam sepekan terakhir.
Dirjen Pajak Suryo Utomo menyebutkan, AR bertugas melakukan pengawasan terhadap wajib pajak. Sesuai dengan PMK 45/2021, AR kini hanya berfokus pada pengawasan dan penggalian potensi pajak.
Selain itu, DJP juga menyiagakan 1.300 pegawai yang bertugas sebagai penilai pajak. Penilai pajak siap bekerja sama dengan pemerintah daerah (pemda), terutama terkait dengan kapabilitas evaluasi nilai jual objek pajak (NJOP).
Sesuai dengan PMK 147/2019, penilai pajak adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan penilaian dan/atau pemetaan. Ada kualifikasi penguasaan ilmu pengetahuan, metodologi, dan teknik analisis pada bidang penilaian dan/atau pemetaan.
Lantas seperti apa tugas dan fungsi AR dan penilai pajak secara terperinci? Baca artikel lengkapnya, 'DJP Punya Sekitar 12.000 AR, Dirjen Pajak: Tugasnya Awasi WP' dan 'Pegawai DJP, Dirjen Pajak: Ada Sekitar 1.300 Penilai'.
Selanjutnya, ada topik tentang keberlanjutan forensik digital oleh otoritas. DJP memastikan kegiatan forensik digital masih akan menjadi salah satu kebijakan teknis yang dijalankan pada 2024.
Mengutip dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2024, kegiatan forensik digital akan menjadi bagian dari penegakan hukum. Pemerintah menjanjikan adanya kegiatan penegakan hukum pajak yang berkeadilan.
“Kegiatan penegakan hukum yang berkeadilan melalui optimalisasi pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dan pemanfaatan kegiatan digital forensics,” bunyi penjelasan pemerintah dalam dokumen tersebut.
Apa dan bagaimana implementasi forensik digital? Simak artikel lengkapnya, 'Forensik Digital Terus Dijalankan Ditjen Pajak Tahun Depan'.
Selain kedua topik di atas, ada juga sejumlah pemberitaan populer dalam sepekan yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, uji materi ketentuan pemeriksaan bukti permulaan (bukper), validasi NIK nasabah, update coretax system, hingga rencana penerbitan aturan turunan UU HPP pada sisa 2023 ini.
Mahkamah Konstitusi (MK) meminta kepada pemohon bernama Surianingsih untuk memperbaiki permohonan pengujian materiil atas Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Hakim Konstitusi meminta kepada pemohon bersama kuasa hukumnya untuk berhati-hati dalam mengajukan permohonan pengujian materiil atas suatu pasal.
Menurut hakim, pemohon dan kuasa hukum perlu memastikan apakah ketentuan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) pada Pasal 43A UU KUP s.t.d.t.d UU HPP memang benar-benar ditujukan untuk wajib pajak secara umum atau hanya untuk petugas Ditjen Pajak.
Bank dalam kedudukannya sebagai lembaga keuangan harus memastikan validitas Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasabah.
Bukan dalam kedudukan sebagai wajib pajak, bank harus melakukan validasi NIK nasabah yang dikelola. Ditjen Pajak (DJP) mengatakan validasi itu sebagai bagian dari proses due diligence sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
“Dalam rangka penyampaian laporan …, lembaga jasa keuangan … wajib melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan,” bunyi pasal tersebut.
Kementerian Keuangan menyatakan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) atau coretax administration system (CTAS) bakal memberikan manfaat bagi wajib pajak.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan sejalan dengan implementasi PSIAP, fitur prepopulated data bakal makin banyak digunakan. Dengan fitur ini, wajib pajak nantinya akan lebih mudah menyampaikan SPT Tahunan.
"Sepanjang datanya bisa masuk, kita bisa membuatkan SPT Bapak-Ibu semuanya. Tinggal dilihat saja, SPT saya cocok atau tidak, kalau cocok tinggal send," katanya.
DJP mengungkapkan PSIAP atau coretax administration system baru akan diimplementasikan pada kuartal I atau kuartal II tahun depan. Sebelumnya, DJP mematok target bisa mengimplementasikan coretax system pada awal 2024.
Dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan saat ini pihaknya sedang melakukan beragam bentuk tes dan uji coba guna memastikan agar coretax administration system bisa terimplementasi dengan baik pada tahun depan.
"Pengenalan kemudahan penggunaan sistem administrasi kepada wajib pajak akan kami lakukan di 2024, paling tidak di kuartal I atau II/2024. Insyaallah pada 2024, kalau semuanya sudah selesai tes-tes pada tahun ini dan awal tahun depan, rolling out akan dilakukan di tahun 2024," ujar Suryo.
Pemerintah mengaku telah menerbitkan 5 aturan turunan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada semester I/2023.
Selanjutnya, pada semester II/2023, pemerintah menargetkan ada 10 aturan turunan UU HPP yang diterbitkan.
"Selanjutnya pada semester II/2023, pemerintah merencanakan untuk menerbitkan 10 aturan turunan UU HPP," ungkap pemerintah dalam Jawaban Pemerintah Atas Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi DPR Terhadap RAPBN 2024. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.