Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Dokumen berupa consignment note (CN) ekspor kini dapat dipersamakan dengan faktur pajak. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (16/10/2023).
Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan ekspor barang kiriman kini telah diatur dalam PMK 96/2023. Sesuai dengan ketentuan dalam PMK tersebut, CN dipersamakan dengan faktur pajak.
“Terkait dengan CN sebagai pemberitahuan pabean ekspor, kami memberikan penegasan bahwa CN kini dipersamakan dengan faktur pajak, yang berfungsi dalam pengurusan restitusi perpajakan," katanya.
Fadjar menuturkan PMK 96/2023 mempertegas CN sebagai dokumen pemberitahuan pabean atas ekspor dengan volume hingga 30 kilogram. Pada CN juga telah tercantum identitas dari pengekspor sehingga juga dapat digunakan untuk mengajukan restitusi pajak.
CN merupakan dokumen dengan kode CN-22/CN-23 atau dokumen sejenis. Dokumen itu berisi perjanjian pengiriman barang antara pengirim barang dan penyelenggara pos untuk mengirimkan barang kiriman kepada penerima barang.
Selain mengenai CN yang dipersamakan dengan faktur pajak, ada pula ulasan terkait dengan rencana pemberian fasilitas PPh final 0% untuk wajib pajak UMKM beromzet hingga Rp50 miliar di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Sesuai dengan ketentuan dalam PMK 96/2023, CN harus memuat beberapa elemen data antara lain nomor dan tanggal identitas barang kiriman; nama sarana pengangkut; nomor voyage/flight; negara tujuan; daerah asal barang kiriman; dan berat kotor.
Kemudian, biaya pengangkutan; asuransi (jika ada); harga barang dalam penyerahan (incoterm) free on board (FOB); cara penyerahan barang (incoterm); mata uang; bea keluar yang harus dibayarkan (jika ada); uraian jumlah dan jenis barang; serta pos tarif/HS code;
Lalu, nomor dan tanggal invoice (jika barang kiriman merupakan hasil transaksi perdagangan; jenis, nomor, dan tanggal dokumen perizinan (jika ada); nama dan alamat pengirim barang; serta nomor telepon pengirim barang (jika ada).
Kemudian, NPWP pengirim barang (jika tidak ada, menggunakan nomor identitas lain berupa NIK untuk WNI, nomor paspor untuk WNA, atau nomor identitas lainnya untuk selain WNI dan WNA); serta nama dan alamat penerima/pembeli.
Lalu, nama dan nomor identitas penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik atau PPMSE (apabila barang kiriman transaksinya melalui PPMSE); serta kantor pabean pemuatan ekspor barang kiriman.
Direktur Teknis Kepabeanan DJBC Fadjar Donny Tjahjadi menyebut CN yang dipersamakan dengan faktur pajak akan memudahkan para UMKM mengajukan restitusi atas pajak masukannya. Melalui kebijakan ini, ia berharap UMKM terdorong melakukan ekspor.
"UMKM kalau melakukan restitusi juga diberikan karena CN ini dipersamakan dengan faktur pajak," ujarnya. (DDTCNews)
Direktur Teknis Kepabeanan DJBC Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan kemitraan PPMSE dan DJBC sebetulnya telah diatur dalam PMK 199/2019 walaupun hanya bersifat pilihan atau sukarela. Melalui PMK 96/2023, kemitraan antara PPMSE dan DJBC kemudian menjadi wajib atau mandatory.
"Beberapa PPMSE sudah melakukan kemitraan dengan DJBC, antara lain Lazada, Sedangkan dalam proses ada Shopee dan juga PPMSE yang lain," katanya.
Fadjar mengatakan kemitraan PPMSE dan DJBC dibutuhkan untuk membuat pelayanan impor barang kiriman makin akurat dan transparan. Selain itu, pelayanan impor juga bisa lebih cepat sehingga menguntungkan bagi PPMSE. Simak pula ‘DJBC Atasi Praktik Under Invoicing Barang Kiriman dengan Ini’. (DDTCNews)
Pemerintah menawarkan fasilitas PPh final 0% atas omzet Rp50 miliar bagi wajib pajak UMKM, baik orang pribadi maupun badan, yang beroperasi di IKN.
Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Purwitohadi mengatakan threshold omzet bebas pajak di IKN jauh lebih besar ketimbang yang berlaku umum. Di luar IKN, omzet yang tidak dikenai pajak adalah hingga Rp500 juta dan hanya berlaku wajib pajak orang pribadi.
"Di IKN, omzet Rp50 miliar pun dia masih bisa mendapatkan rate 0%," ujar Purwito. (DDTCNews)
Yurisdiksi-yurisdiksi yang menandatangani dan meratifikasi multilateral convention (MLC) Pilar 1: Unified Approach tidak diperkenankan mengenakan pajak digital (digital services tax/DST) secara unilateral.
Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), proliferasi DST perlu dihentikan. Tujuannya adalah menciptakan sistem perpajakan internasional yang lebih berkepastian. Amount A Pilar 1 turut memuat klausul penghapusan dan penghentian DST atau pajak yang sejenis.
“Komitmen ini berlaku atas semua perusahaan, tidak terbatas pada perusahaan yang termasuk dalam Amount A Pilar 1," tulis OECD dalam The Multilateral Convention to Implement Amount A of Pillar One. (DDTCNews)
Pemerintah akan melakukan revisi peraturan terkait dengan perpajakan sektor migas. Pertama, PP 27/2017 mengenai biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan PPh di bidang usaha hulu migas. Kedua, PP 53/2017 soal perlakukan perpajakan pada kegiatan usaha hulu migas dengan kontrak gross split.
"Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Keuangan, dan SKK Migas sedang dalam tahap akhir revisi Peraturan Pemerintah 27 dan 53 Tahun 2017. Revisi ini bertujuan untuk meningkatkan kelayakan ekonomi proyek minyak dan gas" kata Menteri ESDM Arifin Tasrif. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.