Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II Edi Slamet Irianto saat memberikan paparan. (tangkapan layar zoom meeting)
JAKARTA, DDTCNews – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (FEB Unpad) menggelar webinar Padjadjaran Accounting Business Series (PABS) bertajuk ‘Pandemi Covid-19 dan Dampaknya terhadap Perpajakan’ pada hari ini, Senin (18/5/2020).
Ada sejumlah narasumber yang hadir dalam acara tersebut. Salah satunya adalah Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II Edi Slamet Irianto. Dia memaparkan sejumlah langkah yang sudah ditempuh pemerintah sebagai respons adanya pandemi Covid-19.
“Sejumlah kebijakan terutama insentif sudah diberikan pemerintah untuk memitigasi dampak pandemi ini terhadap perekonomian. Selain itu, insentif juga diberikan untuk penanganan pandemi itu sendiri,” jelasnya.
Seperti diketahui, hingga saat ini, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah insentif pajak yang diatur dalam PMK 44/2020 (yang mencabut PMK No.23/2020) dan PMK 28/2020. Pemberian insentif ini menjadi wujud peran pajak sebagai stimulus, tidak hanya penopang pendapatan negara.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan langkah Indonesia dalam merespons pandemi Covid-19 dengan instrumen pajak sejauh ini sudah tepat. Langkah Indonesia sejalan dengan lebih dari 130 negara lain yang juga menawarkan berbagai instrumen pajak untuk memitigasi dampak Covid-19.
Namun demikian, tidak dapat dihindari, relaksasi tersebut akan memberikan efek berupa pelebaran belanja perpajakan (tax expenditure). Kondisi itu akan membuat pertumbuhan penerimaan pajak negatif karena pada saat yang sama tengah terjadi perlambatan ekonomi.
“Dalam konteks ini, relaksasi harus dipertukarkan dengan partisipasi wajib pajak, salah satunya berupa pemberian data dan informasi,” katanya.
Dosen Departemen Akuntansi FEB Unpad Sony Devano memaparkan kebijakan insentif yang dilakukan berbagai negara dalam penanggulangan dampak Covid-19. Menurutnya, kebijakan insentif yang diberikan pemerintah Indonesia tidak kalah proaktif dengan apa yang dilakukan negara lain.
Selain relaksasi administratif, ada pula insentif untuk meningkatkan arus kas perusahaan di tengah menurunnya kegiatan ekonomi saat ada pandemi Covid-19. Oleh karena itu, lahir kebijakan relaksasi seperti diskon angsuran PPh Pasal 25 serta PPh Pasal 21 dan PPh final UMKM ditanggung pemerintah (DTP).
"Kita termasuk proaktif dalam menjalankan kebijakan insentif. Namun, yang perlu dilihat adalah kebijakan ini sifatnya jangka pendek dan bukan kepada jangka menengah," paparnya.
Yan Hardyana selaku partner Deloitte fokus kepada dampak Covid-19 kepada praktik perpajakan internasional. Salah satunya terkait implementasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty. Menurutnya, pembatasan sosial dan karantina wilayah sedikit banyak memengaruhi implementasi tax treaty.
Berkaca kepada laporan OECD terkait penerapan tax treaty dalam masa pandemi, terdapat sejumlah penyesuaian. Salah satunya dalam penentuan bentuk usaha tetap yang karena kondisi pandemi tidak serta merta dapat langsung diterapkan. Hal ini dikarena adanya kebijakan lockdown pada suatu wilayah meskipun telah memenuhi syarat sebagai BUT berdasarkan jangka waktu yang lewat enam bulan.
Terakhir, Kepala Departemen Akuntansi FEB Unpad Memed Sueb memberi paparan mengenai penegasan kembali fungsi pajak. Selain sebagai motor mendorong penerimaan, pajak juga jadi instrumen untuk memberikan stimulus di tengah pandemi Covid-19.
Relaksasi pajak, menurutnya, perlu ditindaklanjuti pascapandemi berlalu. Aspek kepastian dan peningkatan penerimaan negara menjadi hal yang perlu dilakukan pemerintah sebagai kelanjutan kebijakan relaksasi dan insentif yang sudah diberikan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.